Mau 200 votes dong untuk next chapter, please! 🥺🙏❤
***
ABLAZE 08 - Memory
Alicia tidak akan menyerah begitu saja. Dia mengabaikan ucapan Lucius yang begitu menusuk; mengusirnya dan sekaligus mengatainya orang asing. Alicia butuh penjelasan untuk itu, untuk semua ini. Apa yang terjadi pada Lucius? Luka-luka di wajahnya? Dan ucapannya? Alicia menyusul Lucius masuk kembali ke dalam rumah persinggahan, mengabaikan rasa takutnya.
Tampak Lucius tengah menaiki tangga dan berbelok ke sebelah kiri.
"Tunggu!" seru Alicia, tapi pria itu tidak menghentikan langkahnya.
Dengan cepat Alicia berlari mengejarnya, melihat Lucius masuk ke dalam kamar di sebelah kamar yang sebelumnya Alicia periksa.
Pantas saja dia tidak menemukan barang apa pun di kamar yang tadi. Dan sekarang, dia akan benar-benar masuk ke kamar Lucius dan memastikan bahwa pria itu memang nyata.
Alicia membuka pintu, lebih keras dari yang dia duga sehingga menimbulkan suara debaman yang mengejutkannya sendiri.
Di dekat jendela, Lucius berdiri sedikit membungkuk pada sebuah vas bunga di atas meja yang diletakkan di sana. Dia memasukkan tiga tangkai bunga mawar ke dalam vas itu, aromanya memuhi ruangan, membuat mata Alicia semakin memanas karena air mata yang mendesak keluar.
Aroma ini sangat mengingatkannya dengan kamarnya sendiri di mansion Denovan. Kerinduan yang membludak tidak bisa lagi Alicia tahan. Dia berjalan cepat menghampiri pria itu, memeluknya dari belakang, dengan sangat erat sampai dadanya sendiri terasa sesak.
Mata Alicia terpejam, merasakan panas yang begitu nyata dari tubuh yang dipeluknya, yang semakin membuatnya yakin bahwa Lucius masih hidup dan di sinilah pria itu berada, di dalam rengkuhannya.
"Lucius," lirih Alicia. "Ya, Tuhan! Aku begitu merindukanmu, Lucius. Kau ...!" Alicia tercekat oleh tangisannya. "Aku tahu bahwa selama ini kau masih hidup. Kau tidak mungkin pergi begitu saja. Lucius ..., maafkan aku, karena sejenak telah menyerah untuk mengharapkanmu." Alicia terisak-isak, sementara pria yang dipeluknya bergeming.
"Kau memang makhluk menyusahkan dan tidak tahu terima kasih," ucap Lucius tiba-tiba, yang sedetik setelah itu melepas pelukan Alicia dan mendorongnya dengan keras sehingga Alicia terjatuh ke lantai dengan keterkejutan di wajahnya yang berlinang air mata.
Lucius berbalik. Matanya yang merah menunduk pada Alicia, menatapnya tajam. Alis tebalnya mengerut dengan ekspresi masam, nyaris tampak jijik, seolah Alicia adalah makhluk hina.
"Lucius ...."
Tatapan Lucius beralih dari wajah ke perut Alicia yang membuncit, tapi itu tidak lantas melembutkan tatapannya yang tampak semakin bengis. Dia menarik Alicia bangun, dalam sepersekian detik itu Alicia berharap bahwa mungkin Lucius akan memeluknya karena tahu bahwa dia tengah mengandung anak pria itu, tapi lagi-lagi harapan Alicia dipatahkan. Lucius mencengkeram lengannya dengan sangat kencang sampai membuat Alicia meringis kesakitan.
"Cepat pergi dari sini sekarang kalau kau tidak mau aku melakukan sesuatu padamu ... atau pada janin yang tengah kau kandung!"
Ketakutan tampak di kedua mata Alicia yang bermanik hijau indah. Tapi itu bukan rasa takut pada Lucius, melainkan pada kenyataan yang sekali lagi akan menamparnya dengan begitu keras.
"Kau tidak mengingatku?" bisik Alicia dengan suara parau.
Lucius bergeming, tapi alisnya berkerut-kerut dalam seolah dia juga tengah berpikir.
Tatapan Alicia kemudian tertuju pada dahi Lucius, pada luka bakar yang merusak kulitnya. Kebencian Alicia pada Alarick semakin bertambah saat itu juga, dia benci memikirkan bagaimana Lucius menahan rasa sakit saat terjebak di mansion yang dipenuhi oleh api yang membara itu. Alicia tidak akan pernah memaafkan Alarick karenanya.
Menyadari tatapan dalam Alicia yang tertuju pada lukanya, Lucius langsung melepaskan wanita itu dan menjauh.
Alicia menyentuh tangannya yang sakit dan memerah bekas cengkeraman Lucius. "Aku tidak akan pergi," katanya.
"...."
"Aku tidak akan pergi sebelum kau mengingat siapa aku!" Alicia melanjutkan dengan nada penuh tekad yang tidak terbantahkan.
Lucius justru tersenyum miring, dia mendekati Alicia lagi, menunduk menatapnya dengan cemoohan gelap di kedua manik mata yang merah. "Kau memiliki nyali yang besar karena telah mengusikku," katanya, "tapi aku tidak butuh seorang wanita dari rumah bordil yang tengah mengandung anak haram tinggal satu atap denganku."
***
Setelah kata-kata Lucius yang terlampau tajam itu menusuk ulu hati Alicia, Alicia nyaris tidak bisa merasakan apa pun lagi setelahnya selain rasa sakit. Dia pingsan untuk kedua kalinya. Dan ketika bangun, dia berada di kamar yang sama, kamar Lucius.
Aroma lezat makanan tercium samar di indra penciumannya.
Alicia bangun, terduduk di atas ranjang dalam suasana yang begitu sunyi. Dia mengedarkan pandang, mencari pria itu hanya untuk mendapati bahwa dia sendirian. Di atas meja dekat jendela, Alicia melihat tiga tangkai bunga mawar merah yang tadi Lucius letakkan. Lalu pandangannya menoleh ke samping, ke nakas dekat tempat tidur. Di sana, terletak bunga dari buket bunga yang dua hari lalu Alicia letakkan di makam pria itu-yang ternyata hanyalah kebohongan.
Alicia menatap bunga-bunga tersebut dalam diam, bergeming cukup lama. Dan kemudian perkataan Lucius sebelumnya kembali terngiang di kepala.
Rasa sakit itu pun kembali. Alicia menggigit bibir, menahan dirinya agar tidak mulai menangis.
"Dia tidak butuh wanita murahan sepertiku. Dia ... dia bahkan bilang anak yang kukandung ini ...." Alicia tidak sanggup melanjutkan ucapannya, tercekat oleh air mata yang tidak berhasil dia tahan. Tangisannya terdengar begitu pilu.
Setelah semua pengharapan yang dia gantung begitu tinggi, berpikir bahwa pria itu masih hidup, tapi sengaja menyembunyikan diri dan suatu hari nanti dia akan menjemput Alicia dan mereka akan hidup bahagia ... bertiga.
Tapi kenyataannya, Lucius bersikap seolah mereka tidak saling kenal dan bahkan menghinanya dengan kata-kata kasar.
Ini terlalu menyakitkan untuk diri Alicia tanggung. Dadanya tidak berhenti terasa sakit. Dan semakin banyak air mata yang dia tumpahkan, semakin sakit rasanya.
Alicia bergelung lagi di dalam selimut, di atas bantal yang telah basah oleh air matanya.
Apa yang harus aku lakukan sekarang? pikir Alicia, menatap dengan tatapan kosong ke dinding.
Sesuatu telah terjadi yang telah membuat Lucius berubah seperti ini. Dan Alicia harus tahu apa.
Dia curiga, bahwa karena insiden kebakaran itu, Lucius tidak hanya mendapat luka-luka bakar itu saja, tapi juga telah kehilangan ingatannya.
Lucius tidak mengenal siapa Alicia dan alasannya berada di sini sekarang.
Namun, sesakit apa pun kenyataannya, yang terpenting bagi Alicia sekarang adalah fakta bahwa Lucius masih hidup. Pria itu ada di dunia ini dan bernapas.
Dengan begitu, Alicia tidak butuh apa pun lagi untuk menguatkan dirinya selain fakta tersebut.
Alicia pun bangun, mengusap air matanya dan pergi membersihkan diri di kamar mandi. Tidak ada apa pun di sana selain air, tapi Alicia merasa jauh lebih baik setelah membasuh tubuhnya dengan air dingin. Setelah itu, dia makan makanan yang telah disiapkan, mungkin oleh pelayan yang sama yang mengantar makanan ke kamar Lucius kemarin.
Alicia tersenyum samar. Ternyata apa yang dilihatnya bukanlah halusinasi semata. Semua ini nyata. Tapi yang membuatnya berpikir sebaliknya adalah London.
London berbohong padanya selama ini.
Mengingat tentang pria itu, Alicia berharap dia selamat dari kejaran anak buah Alarick dan datang ke sini secepatnya. Alicia tahu bahwa London pasti tahu bahwa Alicia ada di rumah persinggahan ini. Dan saat mereka bertemu nanti, Alicia akan menuntut penjelasan panjang darinya tentang semua yang telah pria itu sembunyikan.
Menghabiskan makanannya dengan cepat, Alicia keluar membawa piring kotor tersebut dan mengedarkan pandang ke rumah yang sepi.
Dia sampai di dapur dan melihat seorang pelayan wanita tengah mencuci piring. Alicia berdeham. Pelayan wanita itu berjengit kemudian berbalik menatap Alicia.
"No-nona!" serunya terkejut.
Respon yang begitu berlebihan bagi Alicia.
"Ada yang bisa saya bantu?" tanyanya dengan ekspresi takut. Dia adalah pelayan yang sama yang kemarin Alicia lihat mengantar makanan ke kamar Lucius. Tapi, Alicia tidak mengatakan apa pun tentang itu. Alih-alih, dia tersenyum.
"Aku hanya hendak menaruh ini," ucapnya, menunjuk pada piring kotor yang dia bawa.
"Biar saya!" kata pelayan tersebut, buru-buru mengambil alih piring yang Alicia bawa.
"Sebentar lagi waktu makan malam akan tiba, kapan Tuan akan makan? Biar aku yang mengantar makanannya ke kamar."
Si pelayan wanita itu bergeming di tempatnya, kemudian dengan ekspresi yang menujukkan kelegaan, dia mengangguk. "Baik, Nona. Kalau itu yang Nona mau."
"...."
"Biasanya Tuan makan malam pada pukul lima. Saya akan memberi tahu Nona kalau makanannya sudah siap."
Walau terasa aneh kenapa pelayan ini tampak begitu ketakutan, tapi Alicia memasang senyum cerah. "Terima kasih," katanya.
"Ya, Nona."
"Oh, apa kau tahu di mana Tuan sekarang? Apakah dia di kamarnya?"
Si pelayan menggeleng. "Saya tidak tahu tepatnya, Nona. Tuan naik ke lantai atas bersama temannya beberapa saat lalu."
"Temannya?"
Si pelayan melirik Alicia takut-takut. "Pria yang kemarin datang bersama Anda," jawabnya.
London?!
*to be continued*
Pengumuman!
Bagi readers yang penasaran sama POV Lucius, Asia ada buat hidden chapter Ablaze khusus dari sudut pandang Lucius seorang.
Hidden chapter-nya eksklusif dan hanya ada di Karyakarsa, di Wattpad gak ada soalnya ini part spesial dan gak bakal ngaruh banyak juga ke alur ceritanya. 😌👍
Bab 9, 10, hidden chapter, sudah tersedia di Karyakarsa.
Terima kasih sudah baca dan vote! 🥰❤❤❤