Jalanan basah karena hujan yang baru saja mengguyur. Mobil melaju dengan kencang menggilas genangan air di aspal, menciptakan cipratan di sekitarnya. Di kiri dan kanan hanya terdapat pepohonan yang berjejer rapi dengan satu jenis pohon yang sama dengan dedaunan kering yang mulai ditumbuhi kembali oleh pucuk-pucuk hijau.
Alicia menatap ke luar dengan pandangan kosong. Pikirannya berkecamuk, tapi dia tidak tahu cara untuk menelaahnya satu per satu. Aroma parfum ayahnya yang tertinggal di mobil ini terasa begitu menyiksa sehingga Alicia harap dia bisa keluar dari sini sesegera mungkin.
Mobil kemudian berhenti melaju di depan sebuah hotel berbintang yang sangat mewah. Alicia tidak memperhatikan sekitarnya, bergerak seperti boneka yang patuh ke mana pun utusan ayahnya membawanya pergi, untuk menemui seseorang itu.
Kencan buta yang setiap seminggu sekali Alarick atur untuk Alicia selalu berakhir dengan tidak baik. Tidak ada satu pun yang berhasil dan tertarik padanya. Walau Alarick adalah seorang pengusaha sukses dan memiliki banyak harta, dan secara terang-terangan telah mengakui Alicia sebagai putrinya, tapi kondisi Alicia yang tengah hamil besar membuat setiap pria yang ditemuinya terkejut dan bahkan beberapa tampak begitu tersinggung juga marah sampai tidak sempat saling menyapa.
Alicia tidak peduli. Dia tidak lagi peduli dengan apa pun.
Itu karena Alicia sudah terlalu lelah melawan kehendak Alarick. Kalau Alicia berulah, anak dalam kandungannya ini akan berada dalam bahaya, sampai opsi kabur pun tidak ada dalam daftarnya.
Lucius juga sudah tidak ada, pikir Alicia.
Rasa-rasanya, sudah tidak ada lagi alasannya hidup di dunia ini.
Kalau saja bukan karena bayi di dalam kandungannya, Alicia tidak mungkin bisa bertahan.
Walau telah menjadi putri yang penurut, Alicia berharap kencan buta malam ini adalah untuk yang terakhir kalinya. Cepat atau lambat, Alarick juga pasti akan menyerah mencarikan suami untuk putrinya yang baginya adalah aib keluarga.
Kalau memang aib, kenapa pria itu membawanya pergi dan bahkan mengumumkan kepada orang-orang bahwa Alicia adalah putri kandungnya.
Di dalam restoran tempat pertemuan itu, semuanya telah diatur sedemikian rupa sehingga mudah bagi Alicia untuk mengetahui bahwa seluruh restoran ini telah disewa hanya untuknya.
Seorang pelayan membawa Alicia masuk, lalu meninggalkannya berdua di sebuah ruangan tertutup di mana seorang pria tengah duduk seorang diri, mengenakan pakaian serba hitam serta topi yang menutupi wajahnya dalam bayang-bayang. Alicia tidak merasakan debaran gugup atau apa pun itu, dia duduk dengan tenang di hadapan sang pria.
"Selamat malam," gumamnya.
Alarick telah menyuruh seseorang untuk mengajarkan pada Alicia bagaimana cara melakukan ini dengan benar, setelah dia mengacaukan kencan buta pertamanya yang berakhir penyiksaan dari Alarick. Dan Alicia tidak berniat untuk mengulangi kesalahan yang sama, tahu bahwa dirinya kini tidak seorang diri, melainkan ada satu lagi kehidupan yang tumbuh dalam tubuhnya. Jadi lebih baik menurut, untuk sementara ini saja.
Karena pria di hadapannya ini justru hanya bergeming saja, Alicia pun menyapanya kembali, berpikir mungkin suaranya sebelumnya terlalu pelan untuk didengar.
"Selamat malam, Tuan Alexander."
Alexander Gregory, dari perusahaan AlG di Inggris. Pria ini datang jauh-jauh ke Jepang hanya untuk melakukan kencan buta ini. Alicia tidak sabar menantikan akan bagaimana kecewanya dia kalau melihat secara langsung wanita yang akan dinikahinya tengah mengandung. Itu membuat Alicia dengan refleks mengusap perutnya dan merasakan perasaan hangat yang kemudian menjalar ke hati dan menenangkannya.
"Alicia Lucero," ucap suara yang lebih berat, yang lantas membuat Alicia mengernyit.
Kenapa dia merasa tidak asing dengan suara tersebut?
"Ya, Tuan Alexander," sahut Alicia. Mendongak untuk menatap wajah si pria yang tersembunyi dalam bayang-bayang topinya.
Saat akhirnya pria itu mendongak, mata birunya yang cerah dengan rambut pirang yang pucat membuat Alicia membelalakkan mata, tertegun.
"L—"
Belum sempat Alicia selesai menyebut nama yang langsung tercetus di dalam benaknya, pria itu memotongnya dengan gelengan. "Jangan," peringatnya.
Alicia pun menutup mulutnya kembali, menggigit bibirnya dengan kuat untuk menahan diri melakukan hal-hal yang tidak dia inginkan, seperti langsung memberondong pria itu dengan berbagai pertanyaan yang mendadak muncul di kepalanya.
Pria itu hadapannya tersenyum lembut. "Apa kabar, Alicia?" tanyanya.
"...." Alicia bergeming. Bagaimana dia bisa menjawab? Suaranya pasti akan terbata-bata, bahkan sekarang tangannya gemetar, dan sebentar lagi air matanya akan mengalir tanpa bisa dia kontrol lagi.
"Kau tampak ... lebih kurus dari terakhir aku melihatmu."
Alicia ingin menjawab, bahwa ada banyak hal yang telah terjadi selama lima bulan ini. Tapi tidak satu pun kata yang berhasil dia ucapkan.
"Tapi aku lega mengetahui bahwa kau baik-baik saja." Mata biru yang indah itu menatap Alicia dengan kelembutan yang hangat.
Sampai detik ini, Alicia yakin bahwa anak buah ayahnya tidak mungkin ikut campur sampai menguntit apa yang Alicia bicarakan dengan pria di kencan butanya.
Dan karena itu, Alicia tidak lagi menahan diri.
"London," ucapnya.
"...."
"Bagaimana ... Lucius?" Bibir Alicia gemetar saat mengucapkan nama itu. Dia tidak bisa melihat London tepat di mata. Sesuatu dalam diri London Denovan, mengingatkannya dengan pria yang begitu dia cintai, yang kini dia telah kehilangannya.
"Alicia ...."
Alicia menggeleng. Menunduk menutupi matanya yang berkaca-kaca. "Tidak, katakan saja," ucapnya lirih.
"...."
"Apakah pria itu ... apakah dia ...." Alicia merasakan napasnya tercekat di tenggorokan. Tangannya tergenggam erat di paha sampai buku-buku jarinya memutih. "Apakah dia benar-benar sudah tidak ada?" ucapnya kemudian, dalam satu tarikan napas.
London Denovan, yang telah bersumpah pada sepupunya bahwa dia akan menjaga wanita ini, mengembuskan napas berat.
"Maafkan aku, Alicia."
"...!"
"Ma-maaf?" Air mata sudah tidak dapat Alicia bendungkan. "Tidak. Dia ... Lucius—hiks!"
"Lucius sudah tidak ada. Dia sudah pergi."
Alicia tahu fakta itu. Dan dia pikir bahwa dia sudah bisa menerima takdir ini dengan baik. Tapi tidak dia sangka bahwa rasa sakitnya masih terasa sesakit ini. Dan penyangkalan itu masih tetap ada.
Mengesampingkan perasaannya, Alicia bertanya lagi, "Lantas ... kenapa kau menemuiku?"
London menatap Alicia lama. Wanita yang tengah menghindari tatapannya itu tampak sangat berbeda, dengan rambut pendek sebahu yang terlihat lebih tipis. Wajahnya masih semenawan itu, tapi kesedihan seolah menutupi parasnya.
"Aku tidak punya waktu untuk ini," kata Alicia, tiba-tiba bangkit dari duduknya.
Mendengar itu London dengan segera mencegahnya. "Alicia, dengarkan aku dulu!"
"Apa? Lucius sudah tidak ada. Aku sudah tidak ada hubungannya lagi dengan kalian. Entah apa tujuanmu untuk menemuiku, bahkan sampai bertindak sejauh ini dengan menggunakan identitas palsu untuk mengelabui Alarick. Tapi, London, kehilangan Lucius sudah cukup menyakitkan bagiku. Aku hanya ingin hidup dengan damai sembari mengenangnya dalam ingatanku. Jadi apa pun yang—"
"Alicia, kau hamil!"
Ucapan Alicia terpotong mendengar itu, serta menyadari tatapan yang London berikan padanya. Mata biru cerah London, tertuju ke arah perut Alicia. Sontak Alicia pun tertegun.
Dia teringat pada ucapan Alarick sebelumnya, "Sulit untuk menemukan seorang pria yang mau dengan wanita yang sudah ternodai oleh pria lain sepertimu."
Kalau sebelumnya Alarick sengaja menutup-nutupi fakta kehamilan Alicia ini, bukankah aneh bagaimana dia bisa menemukan seseorang yang bersedia padahal sudah tahu mengenai kondisinya?
"Ah, seperti yang aku duga," gumam Alicia dengan pahit. "Bahwa kau datang untuk anak ini." Dia merasakan buliran air matanya yang telah berhasil dia hentikan, kembali mengalir ke pipinya.
"Kau keliru, Alicia!" bantah London. "Aku datang karena janjiku pada Lucius. Bahwa aku akan menjagamu, apa pun yang terjadi. Dan sampai dia pergi pun, janji itu tidak akan aku ingkari begitu saja."
Alicia menatapnya berang, dengan air mata yang mengalir deras di wajahnya. "Katakan saja yang sebenarnya, London. Kau datang ke sini untuk mengambilnya dariku, kan? Anak ini ...." Alicia memeluk protektif daerah perutnya.
Alih-alih menjawab dengan jujur atau membantahnya lagi, London justru bergeming. "...."
"Iya, kan?"
"Sebenarnya aku ... aku benar-benar tidak pandai untuk berbohong." London mendongak dengan frustrasi sebelum menatap Alicia lagi, dengan lebih tegas. Dia lantas menjawab, "Ya. Aku bertindak sejauh ini setelah mengetahui mengenai kondisimu."
"...!"
"Bukan hanya kehamilanmu, Alicia, tapi ... tapi seluruh dirimu. Kau tampak tidak bahagia sama sekali. Apakah ini yang kau inginkan? Apakah ini yang kau sebut hidup dengan damai itu? Kau jelas tampak tengah tidak baik-baik saja. Aku yakin Alarick juga pasti sedang merencanakan sesuatu, yang entah apa. Dan aku takut kau akan dilibatkan di dalamnya yang mana sudah pasti bahwa itu akan menyakitimu. Jadi aku berniat untuk membawamu. Ah, tidak, maksudku membawa kalian berdua!"
"L-London ...!"
"Jauh dari sini."
Alicia kehabisan kata-kata.
"Bebas dari kekangan si bajingan yang mengaku-ngaku sebagai ayahmu itu."
Setelah keheningan yang tercipta setelahnya, Alicia pun mengerti. Dia mendekati London, mendongak pada wajahnya yang terpahat sempurna, dengan garis rahang yang tegas dan mata birunya yang indah. Dalam hampir semua hal, London sama sekali tidak memiliki kemiripan dengan Lucius. Sehingga orang lain mungkin tidak akan menyangka bahwa mereka adalah sepupu.
"Terima kasih, London," kata Alicia. "Aku tahu saat pertama kali melihatmu, bahwa kau adalah seseorang yang begitu baik, itu kenapa Lucius juga sangat mempercayaimu. Tapi kali ini, tidak, aku tidak bisa ikut denganmu dan kembali ke dunia yang mengingatkanku padanya. Itu ... terlalu menyakitkan. Aku berhasil bertahan sejauh ini, aku tidak ingin goyah dan ...."
"Alicia."
"Juga, apa pun rencana Alarick, aku tidak lagi menjadi bagian di dalamnya. Percayalah padaku. Aku akan baik-baik saja. Begitu pun juga dengan anak ini."
Kelembutan dalam suara Alicia, dan kesedihan di matanya, membuat London tidak bisa berkata-kata.
Dia menyentuh tangan Alicia, ngeri akan seberapa rapuhnya jemari itu terasa, kemudian menghela napas. "Baiklah, kalau ini yang kau inginkan. Untuk sekarang, aku akan memilih untuk mengalah. Tapi suatu hari nanti, aku sudah pasti akan menghancurkan keluarga Lucero, dan membalaskan dendam Lucius sepenuhnya."
***
Dendam dibalas dendam. Apakah akan ada akhirnya?
Tentu saja tidak ada.
Alicia tengah berada di dalam mobil untuk pulang setelah kencan buta yang berakhir dengan sangat tidak terduga itu.
Dan kini, sekalipun tahu bahwa membalas dendam itu adalah keputusan yang buruk, tapi membayangkan Alarick dan semua bawahannya yang turut serta dalam rencana pembunuhan Lucius itu, mati dengan cara mengenaskan, terasa begitu menenangkan bagi Alicia.
Dia menutup mata, dan membiarkan kesedihannya mengalir begitu saja.
"Aku memiliki satu permintaan padamu, London."
Percakapan terakhirnya dengan London tadi kembali terngiang dalam benaknya.
"Apa itu?"
Alicia merasa ragu-ragu pada awalnya. Dia mengusap perutnya dengan lembut, sebelum akhirnya menjawab, "Bawa aku ke tempat Lucius berada sekarang."
London tampak tertegun, tapi arti dari permintaan Alicia itu segera dipahaminya.
"Aku akan membawamu ke sana, ke tempat pemakamannya."
London sudah berjanji. Dan Alicia berpikir bahwa mungkin dengan melihat langsung makam pria itu, barulah dia benar-benar yakin bahwa pria yang dicintainya tersebut telah benar-benar pergi untuk selama-lamanya.
***
Luciuuusssss!!!!!!!! 😭🙌