"Jangan galak-galak, nanti lo semakin lucu. Ya, takutnya gue jadi suka sama lo."
-Radikta Prayoga-
****
Airsya terpilih menjadi salah satu perwakilan sekolahnya untuk mengikuti turnamen bela diri, antar sekolah nasional. Nantinya, jika Airsya menang ia akan menjadi perwakilan indonesia di ajang turnamen bela diri internasional. Itu sebabnya saat ini ia sedang gencar latihan, karena beberapa hari lagi acara akan di mulai.
Dari luar ruangan toewekondo terdangar suara beberapa langkah kaki yang bergemuruh, ternyata itu adalah Senna, Febby dan Rena.
"Ca, lo udah lihat video viral tentang lo belum?" tanya Senna dengan nafas yang berderu.
Ya, Senna langsung menghampiri Airsya, ia bersama Febby dan juga Rena yang ikut berlari.
"Sumpah, ini parah banget asli!" Febby ikut meramaikan suasana.
Rena juga ikut berbicara. "Gila sih, lo harus liat!"
Airsya menghentikan latihannya, lalu mendekat terhadap ketiga sahabatnya itu. "Emang ada apaan sih?"
Senna menunjukan ponselnya yang berisi potongan Video Airsya yang saat itu sedang bersama Dikta di atas rooftop. Airsya terus melihat video itu sampai selesai, ia mengepalkan kedua tanganya.
Airsya menghembuskan nafasnya dengan kasar, sungguh ia bingung harus bagaimana. Kenapa bisa ada yang vidion seperti ini? Dan kenapa videonya terpotong, kenapa potongan video itu seperti sengaja mengarah terhadapnya.
"Ca, lo gapapa?" tanya Senna.
"Kalian tahu siapa yang nyebarin?" tanya Airsya balik.
Mereka bertiga dengan kompak menggelengkan kepalanya, karena memang mereka tidak ada yang tahu sama sekali.
"Gue tahu dari grup sekolah, kayaknya juga udah nyebar." Senna menggantungkan kalimatnya. "Tapi lo tenang aja, kalau nantinya beasiswa lo di cabut gara-gara ini, gue yang akan ngomong sama bokap buat tetep pertahanin lo." Senna mencoba menenangkan Airsya.
Airsya mengucek matanya, ia semakin bingung dan takut jika hal ini benar-benar akan berpengaruh terhadap beasiswanya. Apa yang harus ia katakan terhadap kakek dan neneknya, jika memang ia di pecat dengan tidak hormat? Sungguh, kejadian ini tidak pernah terlintas dikepalanya.
"Ca, tapi emang benar ya, lo itu pecandu--" ucapan Rena terpotong.
Febby langsung menginjak kakinya Rena.
"Awsss! Sakit pea kaki gue." rintih Rena, sambil memegang kakinya sebelah.
"Lo tuh ya! Kalau punya mulut rem, bisa nggak, sih?!" Kesal Febby.
Ya, Febby memang sengaja menginjak kakinya Rena, mulutnya Rena memang tidak bisa terkontrol. Walaupun sebenarnya Febby juga penasaran akan kebenaran dari video Airsya itu.
Senna menepuk pundak Airsya. "Ca, nggak usah difikirin. Pokonya lo fokus aja sama turnamen, lagian gue yakin semua yang ada di video ini nggak bener, kan?"
Airsya mencoba mengatur nafasnya. "Gue gatau."
Kalaupun Airsya harus menjelaskan semuanya, ketiga temannya itu tidak akan pernah mengerti. Mereka tidak mengerti, karena mereka tidak tahu dan tidak kenal sosok Airsya yang sebenarnya.
Mereka hanya tahu Airsya yang pintar, berprestasi di bidang toewekondo, walaupun sering buat masalah tapi mereka tidak mengenal ia sejauh itu. Mungkin Hanya Dikta, Gerri dan Juno yang benar-benar tahu akan dirinya.
"Ca, lo benaran gapapa?" Senna mengelus pundak Airsya.
Febby juga ikut merangkul Airsya. "Iya, Ca. Lo seriusan gak kenapa-napa?"
"Kalia bedua kenapa sih ngulang pertanyaan yang sama? Gue jadi pusing." Rena menggaruk kepalaya yang tak gatal.
Febby mendengus kesal. "Lo tuh ya, kebiasaan lemotnya kambuh!"
Lagi situasi seperti ini kelemotan Rena tiba-tiba kambuh, rasanya Febby ingin menjedotkan kepala Rena ke tembok, setidaknya biar tingkat kelemotannya berkurang.
"Udah-udah, gue gapapa kok." Airsya mencoba tersenyum. "Gue ganti baju dulu ya, sekalian gue mau ke UKS aja."
"Kenapa? Lo sakit, Ca?" Senna terlihat panik.
Airsya terkekeh pelan. "Nggak, gue cuma kecapean aja. Lo tahu sendiri Sen, gue terlalu ngepush buat pertandingan ini."
"Yaudah. Mau gue, Febby, Rena anterin gak?"
Airsya menggelengkan kepalanya. "Nggak usah, lagian gue bisa sendiri kok."
"Seriusan?" tanya Senna lagi memastikan.
"Iya ish! Kayak nggak kenal gue aja." Airsya cengengesan. "Gue cabut ya," lanjutnya.
Airsya langsung keluar dari ruangan, sebenarnya ia bukannya tidak enak badan ia hanya ingin menenangkan pikirannya yang buntu.
"Gara-gara lo sih!" Febby menyalahkan Rena yang tidak bisa diandalkan otaknya.
Rena menyipitkan matanya yang bulat. "Kok gue? Salah gue dimana Febby Oktrabiani? Gue rasa lo yang lemot!" Ia menyalahkan Febby balik.
"Gue?" Febby menunjuk dirinya sendiri. "Salahin otak lo yang kapasitasnya tidak mencukupi!"
Senna menutup kedua telinganya, kedua temannya ini jika beradu mulut memang tidak akan ada yang mau kalah, sampai ada yang ngalah.
"Terserah lo berdua, berantem terus sampai si Sindy masuk geng kita!"
Rena membulatkan matanya. "Serius lo Sen, Sindy mau masuk geng kita? Gak kebayang sih gue, makin fames geng kita. Secara gitu, Sindy kan populer sama kepintaran dan kerajinannya."
"Bisa-bisa ngomong sama lo gue jadi ikut lemot, gak jelas!" ungkap Febby, ia mengelengkan kepalanya.
"Perasaan gue salah mulu deh, jadi ini maksudnya gimana, sih? Sindy jadi masuk geng kita kan, Sen?"
Senna menghembuskan nafasnya dengan pelan. "Iya, sama keluarganya gue ajakin masuk biar rame."
"Wah asik dong, geng kita jadi lebih banyak gengrenya ibu-ibu, bapak-bapak,kakek-kakek, nenek-nenek. Jadi, Familily gengs dong namanya?" tanya Rena.
"Serah lo, udah nyerah gue debat sama lo!" kata Febby.
Senna menggelengkan kepalanya, kemudian melangkahkan kakinya pergi dari ruangan itu, meninggalkan kedua temannya yang sepertinya masih berdebat.
****
"Lagi baca apa, sih? Serius banget." Dikta duduk di sebelah Sindy.
Jam istirahat Sindy memang suka mengabiskan waktunya di perpustakaan, seperti saat ini. Tapi kali ini ia tidak sendirian, Dikta mengikutinya dan menemaninya.
"Kamu kenapa ngikutin saya mulu, gak cape?" Sindy menatap Dikta yang duduk disampingnya.
Dikta tersenyum kecil. "Lo lupa ya? gue kan udah jadi sahabat lo. Berati kemanapun lo pergi, gue harus ikut." Ia menaik turunkan alisnya.
"Posesif banget baru jadi sahabat," lirih Sindy.
"Kan, takut lo kenapa-napa. Kalau nanti ada yang gangguin lo di perpus, jadinya gue orang pertama yang ada buat lo." Dikta merangkul Sindy.
"Bisa nggak usah rangkul, gak?" tanya Sindy dengan sedikit ketus.
"Jangan galak-galak, nanti lo semakin lucu." Dikta terkekeh pelan. "Takutnya gue jadi suka sama lo."
Sindy diam, hatinya seakan terbawa suasana dengan kata-kata yang dilontarkan oleh Dikta, yang sudah dipastikan hanya becandaan.
"Kenapa, baper ya?" Dikta menahan tawanya melihat Sindy yang tiba-tiba diam. "Jangan baper sama gue, soalnya gue nggak jualan lemper. Adanya keroket, mau?"
"Receh!" umpat Sindy.
Dikta bersandar di pundak Sindy. "Gue emang gini orangnya suka nggak jelas, tapi lo jangan pernah bosen ya, dengerin gue ngomong."
Sindy tidak menjawab, ia malah melanjutkan kembali aktivasnya, membaca buku fisika. Padahal pikirannya sedang melayang, perkataan Dikta seolah membuatnya terbang seketika. Apa sudah dipastikan Sindy sudah jatuh hati dengan Dikta? Tetap saja Sindy menolak dengan keras.
Dikta melirik wajah Sindy. "Senyum dong, gue lagi nggak semangat, nih." Kepalanya masih tenggelam dalam pundak Sindy yang ternyata membuatnya nyaman.
"Jagan ganggu coba, Dik. Saya lagi baca," ujar Sindy tanpa melihat Dikta.
"Sekali aja, senyum ya buat gue?" pinta Dikta dengan lembut.
Sindy menarik nafas panjangnya, lalu menghembuskannya dengan pelan. Ia tersenyum, manatap Dikta. "Iya, nih. Saya senyum, puas?"
"Makasih, senyum lo bikin hati gue tenang. Bisa gue beli nggak?"
"Nggak!"
"Kalau dipinjem boleh?"
"Nggak!"
"Terus bolehnya apa?"
"Kamu diem, saya lagi baca."
"Kalau gue diem, nanti lo kangen denger suara gue."
"Dikta, saya lagi baca."
"Gue juga lagi baca."
"Baca apaan?"
"Baca masa depan kita, gue yakin masa depan lo cerah kalau sama gue."
"Terserah kamu."
"Kalau terserah, berati lo setuju sama gue? ciye, udah mulai ada perasaan ya sama gue?" Ledek Dikta. "Kan, gue udah bilang jangan baper sama gue."
"Kepedean banget sih kamu?" Sindy melirik Dikta, "Udah sana, ganggu mulu. Nempel-nempel lagi di pundak saya."
"Kenapa? nggak boleh?" tanya Dikta, masih dengan bersandar di pundaknya Sindy.
Sindy yang melirik Dikta langsung memutar bola matanya, berbica dengan Dikta memang selalu tidak pernah ada ujungnya. Walaupun sebenarnya ada perasaan aneh ketika Sindy berada di dekat Dikta, sejujurnya ia nyaman dengan posisi Dikta bersandar di pundaknya, tetapi tentu saja ia tidak ingin menunjukan rasa nyamannya.
Airsya tidak sengaja melewati perpus, dari luar jendela ia melihat pemandangan yang membuat hati dan pemikirannya semakin kacau. Ya, Dikta sudah sedekat itu dengan Sindy, pantas saja Dikta berubah dan tidak pernah memperdulikannya lagi.
"Dik, gue butuh lo. Tapi, lo malah sebahagia itu sama orang lain." Airsya meneteskan air matanya.
Bersambung...
Semalam aku ketiduran lagi, jadi baru sempet upload sekarang. Mon maaf yaa😣
(Senyum ke paksa Sindy, tapi tetep lucu ya? Pantesan Dikta selalu nggak pernah absen bilang kalau Sindy itu lucu😍)
With Love, Holipehh💛