"Mungkin, Tuhan sengaja ngasih gue buat selalu lindungin lo. Tinggal di lo nya aja, mau gue lindungin atau Nggak."
-Radikta Prayoga-
****
Saat ini Sindy berada di kelas seorang diri, seperti biasanya saat jam istirahat Sindy lebih memilih diam di kelas dari pada harus ke kantin atau taman yang ramai, lagi pula ia bawa bekal dari rumah.
Sindy yang baru saja selesai mengerjakan tugas, tiba-tiba di hampiri oleh Airsya, Senna, Febby dan Rena.
Senna merangkul Sindy, ia membisikan sesuatu tepat di telinganya Sindy. "Lo sengaja buat nilai gue turun, Hah?!"
Pasalnya nilai PR mereka yang dikerjakan oleh Sindy itu kurang dari lima, sedangkan nilai Sindy sendiri sembilan. Bagaimana Senna tidak naik pitam?
"Dendam lo sama kita?!" Bentak Febby menarik rambut Sindy.
"Sa--sa-kit," lirih Sindy.
"Ya, itu sih resiko ngelawan kita." Rena melirik Senna, "Enaknya di apain nih, Sen?"
"Gimana, Sya?" tanya Senna terhadap Airsya.
Airsya yang sedang memainkan ponselnya, langsung melirik Sindy sekilas. Sebetulnya ini bukan urusan Airsya, lagipula yang membutuhkan jasa Sindy itu mereka bertiga bukan dia.
Airsya bisa mendapatkan nilai sembilan tanpa harus meminta bantuan kepada Sindy. Tapi, karena Senna memaksanya untuk ikut melabrak Sindy, akhirnya Airsya terpaksa mengikuti.
"Terserah lo pada, gue ngikut aja," jawab Airsya dengan santai, lalu kembali memainkan ponselnya.
"Jangan gitu dong, Ca. Apain nih?"
Airsya menghembuskan nafasnya, ia menaruh ponselnya di kantung baju sekolahnya. Ia tersenyum jahil, sepertinya Airsya punya rencana untuk mengerjai Sindy.
Airsya mengambil spidol warna merah permanen di tasnya, "Diem lo!" Airsya mulai menggambar Angka sembilan di sekujur wajahnya Sindy.
Senna, Febby, Rena yang melihatnya tidak berhenti tertawa, kalau mainan soal bully membully Airsya memang jagonya, bahkan beberapa siswa ada yang mengundurkan diri keluar dari sekolah, karena ulahnya.
"Nah, kalau gini kan lo lebih cantik. Biar semua orang tahu kalau lo itu pinter, tapi tetep aja gue lebih pinter dari lo!" ujar Airsya.
Senna menarik rahang Sindy dengan paksa, "Lo emang pinter, tapi kalau lo dibandingi sama temen gue, lo itu bodoh!"
"Kalau saya bodoh, kenapa kalian masih minta bantuan saya? Kenapa kalian nggak minta sama temen kalian yang katanya pinter itu?" Sindy mencoba melawan.
Senna menggebrak meja. "Lo ngatain gue bodoh?! Lo gatau gue siapa, hah?!" Bentak Senna.
"Maaf." Sindy menundukan kepalanya, ia sadar kalau ia tidak bisa melawan Senna and geng apalagi ia tidak punya teman.
Senna menjambak rambut Sindy, "Sekali lagi lo ngatain gue bodoh, gue depak lo dari SMA Gunadarma!" ancam Senna.
Sindy tidak lupa kalau Senna adalah anak kepala sekolah disini, itu sebabnya ia tidak pernah berani untuk memberontak atau melawan Senna ataupun Senna dan Geng.
"Lihat gue, gue lagi ngomong sama lo!" Senna semakin mempererat jambakannya, membuat Sindy meringis kesakitan.
"WOY, ANJING!" Dikta melepaskan jambakan tangan Senna dari rambutnya Sindy.
Airsya yang bingung akan kedatangan Dikta yang secara tiba-tiba langsung mengerutkan kedua alisnya, "Bukannya lo Futsal?"
Memang, tadinya Dikta akan latihan futsal. Tetapi karena ia tidak enak badan, ia lebih mimilih untuk kembali ke kelas. Nah, di saat mau masuk kelas ia melihat Sindy di perlakukan tidak wajar oleh Airsya dan teman-temannya, menurut Dikta ini sangatlah keterlaluan.
"Gue rasa lo semua punya otak! Lo perlakuin Sindy seoalah dia binatang, lo semua sehat?!" Dikta tersenyum sinis sekilas.
"Tapi, Dik dia buat nilai pr gue jelak, kalau gue di--" ucapan Senna terpotong.
Dikta tertawa sinis, "Gue yang buat nilai pr kalian dibawah lima! Kalau lo mau marah, sini sama gue aja!"
Senna, Febby dan Rena seakan tak percaya kalau ini kelakuan Dikta, kalaupun benar apa motif Dikta?
"Lo yang nuker buku pr kita?" tanya Febby memastikan.
"Iya, gue. Kenapa? Gue nggak suka aja sama orang yang suka ngandelin otak orang lain, padahal dia masih punya otak! Atau otak kalian udah rusak? Sana gih service, biar bisa mikir!" ujar Dikta dengan nada tinggi.
"Guys cabut," perintah Senna, ia langsung keluar dari kelasnya Sindy.
"Tapi, gimana pr kita Sen?" tanya Rena.
Febby menarik tangan Rena, "Udah ayo, Ren." Mereka ikut keluar kelas.
Namun, saat Airsya melangkahkan kakinya Dikta menahan pergelangan tangannya. "Ca, lo juga minta bantuan Sindy?"
Airsya melipat kedua tangannya di dada, "Gue nggak sebodoh itu, otak gue masih normal."
Dikta menganggukan kepalanya. "Tapi, kenapa lo diem aja lihat Sindy di perlakuin seperti itu sama temen-temen lo?"
"Gue cuma mau bantuin temen gue," balas Airsya.
Dikta menggelengkan kepalanya. "Seperti ini lo bilang bantu temen?" Dikta menunjuk keadaan Sindy yang rambutnya acak-acakan serta wajahnya penuh dengan coretan angka sembilan.
"Gue nggak--"
"Gue rasa otak lo udah nggak sehat!" Timpal Dikta.
Airsya yang merasa dirinya terpojokan, langsung beranjak pergi dari kelas itu, lagi pula Dikta tidak akan pernah mendengar penjelasannya.
Dikta memang seperti itu, ia selalu percaya sama apa yang ia lihat, padahal belum tentu kejadiannya seperti itu. Tapi, bukannya memang Airsya yang salah?
Dikta duduk disebelas Sindy merapihkan rambutnya Sindy yang bentukannya sudah tidak jelas. "Lo bahkan masih terlihat lucu."
Sindy melirik Dikta sekilas. "Kamu nggak seharusnya ngebentak Airsya, dia kan sahabat kamu."
"Dia emang sahabat gue. Tapi kalau dia salah, seharusnya dia minta maaf dan nggak ngulangin kesalahan yang sama," jelas Dikta.
Sindy mengangguk. "Kenapa kamu selalu nolongin saya?"
"Mungkin, Tuhan sengaja ngasih gue buat selalu lindungi lo. Tinggal di lo nya aja, mau gue lindungi atau Nggak." Dikta tersenyum dengan lebar, hingga barisan gigi putihnya kelihatan.
Sindy membalas dengan tersenyum tipis, hanya sekilas tapi Dikta melihatnya.
"Saya bisa jaga diri saya sendiri," ujar Sindy.
"Makhluk hidup itu sudah seharusnya bersosialisasi, mereka tidak bisa hidup sendirian. Lo mau jadi sahabat gue? Biar lo nggak sendirian terus."
Sindy mengangguk, sepertinya berteman dengan Dikta bukanlah hal yang buruk.
Dikta memegang pergelangan tangan Sindy. "Oke, mulai sekarang lo jadi sahabat gue dan gue jadi sahabat lo. Kalau lo ada apa-apa masalah atau apapun itu, lo bisa cari gue dan cerita sama gue."
Sindy tersenyum. "Makasih Dik, saya seneng punya sahabat seperti kamu."
"Jagan bilang saya dong, tapi kalau sayang boleh kok." Dikta terkekeh pelan.
Sindy mencubit pinggang Dikta. Membuat Dikta meringis kesakitan, cubitan Sindy lumayan kencang.
"Awsss!" rintih Dikta.
"Peraturan pertama kamu jadi sahabat saya, kamu nggak boleh gombalin saya."
"Yah, nggak bisa."
"Kenapa nggak bisa?" tanya Sindy bingung.
"Nggak ada alasannya sih, tapi ya gue pengennya ngeombalin lo aja tiap hari. Kayak sarapan aja gitu buat gue."
Sindy kembali mencubit pinggang Dikta. "Tuh, kan. Pokonya jangan gombalin saya!"
Dikta tersenyum, ia mencubit kedua pipi Sindy walau tidak sechubby Airsya. "Lucu banget sih lo."
"Sakit Dikta!"
"Biarin, siapa suruh lo cubit-cubit pinggang gue."
Sindy mendengus. "Dasar Dikta nyebelin!"
Dikta merangkul Sindy. "Gapapa gue nyebelin, yang penting gue ganteng."
"Emang kalau sahabatan harus ngerangkul ya?"
Dikta menggaruk rambutnya yang tak gatal, "Haruslah. Kan, saling rangkul satu sama lain biar kalau lagi susah saling membantu."
Sindy hanya menganggukan kepalanya, sebenarnya ia tak paham maksud Dikta. Namun, sepertinya Dikta beneran tulus.
Dikta menatap wajah Sindy, "Lo punya spidol?"
"Punya, Buat apa?" tanya Sindy.
"Mana sini gue pinjem."
Sindy memberikan spidolnya terhadap Dikta. "Nih."
Dikta mulai mencorat coret wajahnya dengan angka satu, tak lupa ia juga mengacak-ngacak rambutnya. Sindy tertawa melihat Dikta seperti orang gila, sebenarnya Dikta ini kenapa?
"Biar penampilan gue sekarang sama kayak lo, kalau lo di bully gue juga harus bully."
Sindy menggelengkan kepalanya. "Emang ini juga tugas sebagai sahabat?" Sindy tertawa pelan.
"Bahkan, ketawa lo juga lucu. Jangan diem terus ya? Gue seneng ngelihat lo ketawa. Boleh nggak jadi hobby baru gue?"
"Apaan sih, Dik. Jangan becanda mulu."
Dikta terkekeh, ia mengacak-ngacak rambutnya Sindy. "Mangkannya jangan lucu-lucu, nanti gue naksir sama lo."
Sindy tersenyum, kenapa tiba-tiba ia menjadi salah tingkah diperlakukan seperti ini oleh Dikta? Semoga Dikta hanya seperti ini terhadapnya, tidak dengan yang lain.
Bersambung...
Sampai bertemu selasa depan😉 Btw, kalau update setiap hari pada mau nggak? Nanya aja ini mah😅
Btw , aku ganti cover buat DIKTAIR. Kira-kira bagusan yang ini apa yang lama?
With Love, Holipehh💛