"Lo tahu sendiri, keluarga gue yakin banget sama kepercayaan yang kita peluk. Gue juga percaya, keluarga lo juga begitu. Bukan gue yang Nggak ngerestuin, tapi Tuhan dan mungkin orang tua gue sama lo juga Nggak setuju. Tapi, lo jangan takut sama yang Namanya jodoh."
-Arjuna Robertino Abraham-
****
Setelah pulang sekolah hal yang dilakukan Dikta kalau tidak nongkrong di jalan atau warung kopi, ia pasti nongkrong di basecamp, yaitu rumahnya Juno.
Dikta tidak sendiri ia Bersama dengan Gerri, karena memang rumah Juno pantas untuk dijadikan basecamp, karena selain besar dan luas rumah ini juga sepi. Kedua orang tuanya jarang ada di rumah, jadi mereka bebas melakukan apapun termasuk ngerokok, ngopi, bahkan minum alcohol sekalipun.
"Ah, kenapa gue kalah mulu ya?" kata Juno kesal, karena sedari tadi ia kalah bermain playstasion game balap motor dengan Dikta.
Dikta hanya tertawa puas, ia memang tidak pernah terkalahkan dalam bermain game seperti ini, "Mau ulang lagi? Lima kali gue menang nih."
Juno berdecak, "Ulang pokonya, gue yakin kali ini gue yang menang."
"Oke," kata Dikta sambil menghisap rokoknya.
Mendegar ocehan Juno dan Dikta, Gerri hanya terkekeh pelan sambil memainkan ponselnya. Bukannya Gerri tidak ingin ikut bermain, tapi ia memang kurang mahir dan tidak terlalu hobby bermain game.
Seorang perempuan cantik, adik dari Juno yang Bernama Gladis keluar dari kamarnya. Ia Menghampiri Juno, Dikta dan Gerri dengan wajah yang cemberut.
"Kak, bisa pelanin dikit, Ngga sih?" tanya Gladis, karena suara mereka bertiga sangat menggangu indra pendengarannya.
"Kalau gamau ke ganggu tinggalnya di hutan aja, Dis." Dikta meledek Gladis.
"Kak Dikta aja sono, sekalian nikahin orang utan biar kelakuannya tambah mirip," ledek balik Gladis.
Dikta tertawa, "Kalau kak Dikta mirip orang utan, Gladis apanya?"
"Gladis mah orang!"
"Iya, Orang Utan, kan?" Dikta terkekeh.
"Ish, Kak Dikta! Gladis serius, jangan berisik. Gladis lagi banyak tugas," pinta Gladis dengan wajahnya yang serius.
Gerri yang sedari tadi menyimak percakapan mereka, langsung berdiri menyamakan tingginya dengan Gadis itu. "Gladis, maafin temen-temen kak Gerri, ya?" Gerri tersenyum.
Dikta tertawa dan bahkan Juno yang tengah serius bermain game, langsung ikut tertawa mendengar apa yang Gerri katakan. Intonasinya lembut, seperti bukan Gerri yang mereka kenal.
"Emang ya, Cuma kak Gerri aja yang waras disini," ujar Gladis.
"Berati kamu juga nggak waras dong, Dis?" tanya Dikta disertai tawanya.
"Enak aja lo ngatain ade gue gak waras!" Juno menyenggol Dikta, "Tapi, ade gue emang gak waras sih, ngomel terus marah-marah mulu kerjaannya. Depresi kali, ya dia?"
Gladis melempar Handphone yang ia genggam tepat di wajah Juno, "Kakak sialan! Aku kutuk jadi batu baru tahu rasa."
"Sakit de, anjirt lo! Kalau pala gue ilang ingatan, atau gagar otak mau tanggung jawab? Hah?"
"Terus Gladis harus kasihan? Nggak banget! Pokonya, ganti rugi Hp Gladis sama Iphone 13 terbaru."
"Gagaga! Enak aja, suruh siapa lempar-lempar hp, di kira belinya pake daun!" umpat Juno.
"Bodo amat! Kalau Kak Juno Nggak beliin Gladis Hp baru, Gladis bakal ngadu kelakuan kak Juno sama papa mama. Kak Juno itu Suka ngeroko, suka minum alcohol, suka—"
"Iya bawael! Udah sono lo, ganggu gue mulu." Timpal Juno.
Bukannya Ke kamar, Gladis malah mendekat terhadap Gerri. "Kak Gerri yang paling baik, makasih yah udah belain Gladis. Jangan kayak kak Dikta sama Kak Juno yang nyebelin, ya?"
Gerri tersenyum, "Iya, Gladis. Sama-sama ya, belajarnya jangan sampai begadang, Nggak baik buat Kesehatan."
"Iya, Kak Gerri." Gladis tersenyum, lalu beranjak melangkahkan kakinya berlari menuju kamarnya.
Memang, setiap bertemu dengan Gladis, Gerri tidak pernah bisa mengontrol hati dan perasaanya. Ya, Gerri sudah sejak lama mengagumi sosok Gladis. Tapi, Gerri tidak punya keberanian untuk mengatakannya, bukan karena Gladis adiknya Juno. Melainkan, karena restu yang mungkin nantinya tidak berpihak padanya.
Gerri tidak pesimis, Hanya saja ia begitu yakin akan opininya, menyatakan cinta terhadap Gladis sama saja seperti mengajak perang keluarganya yang begitu yakin memegang teguh kepercayaanya. Ya, Gerri dan Gladis selain beda kasta sekaligus drajat, mereka juga beda keyakinan. Gerri yang muslim dan Gladis yang Nasrani atau umat kristiani (Non Muslim).
Juno menyenggol Gerri yang tiba-tiba melamun, "Kenapa lo, naksir sama ade gue?"
Gerri membuyarkan lamunanya, "Nggak lah, ngaco!" tepis Gerri.
Dikta tertawa, "Ger, gue juga bisa bedain kali orang yang lagi jatuh cinta itu kayak gimana."
"Kayak lo?" Gerri menunjuk Dikta
"Kok gue? Jatuh cinta sama siapa gue? Jomblo akut gue mah, Gerr."
"Gue juga Nggak bego kali, Dik. Lo sayangkan sama Eca?" tanya Gerri lagi.
Dikta terkekeh pelan, "Sayanglah! Eca, kan sahabat gue."
"Maksudnya lebih dari seorang sahabat?"
Dikta Diam, bukannya ia tidak bisa menjawab. Terkadang abu-abu terus memenuhi pikirannya, sehingga ia tidak menemukan jawabannya. Namun, ia paham bagaimana keharusan untuk menjaga dan melindungi Airsya. Tapi, apa itu sudah cukup untuk dijadikan jawaban?
Juno merangkul Dikta dan Gerri, ia tidak ingin terjadi adu mulut diantara keduanya.
"Sesungguhnya, yang tahu perasaan kita itu hanya diri kita sendiri. Walaupun kita terus mengatakan Ngga, kalau hati kecil kita bilang Iya, kita bisa apa? Percuma untuk melawan, bukan rasa lega yang kita temui. Namun, yang ada perasaan sesal terus-terusan yang menghantui kita," kata Juno.
Dikta dan Gerri tertawa bersamaan Ketika Juno selesai berbicara, itu seperti bukan Juno.
"Tumben lo bijak? Nyontek dimana lo?" tanya Dikta sambil tak behenti tertawa.
"Yaelah Dik, pake ditanya. Mbah google langganan Juno mah, iya nggak Jun?" Gerri ikut meledek Juno.
"Ye, gini-gini gue juga berpengalaman soal cinta!" umpat Juno.
"Oh iya, gue lupa." Dikta menepuk jidatnya, "Lo, kan playboy sekolah ya? Yang rekor punya mantan seratus dalam satu tahun itu, kan?"
"Nah, itu lo tahu." Juno membanggakan dirinya, "Arjuna Robertino Abraham, kalau soal percintaan mah udah bosen."
Gerri melempar bantal terhadap Juno, "Tai lo! Pacaran noh sama bantal, kalau udah bosen sama manusia mah!"
Dikta tertawa begitu juga dengan Gerri dan Juno, terkadang hal kecil seperti ini yang membuat Bahagia. Dikta selalu berdoa, semoga persahabatannya dengan kedua temannya yang konyol ini tidak selesai dengan singkat.
Terkadang Dikta ingin menjadi siswa abadi Bersama Juno dan Gerri, agar mereka tidak terpisahkan dan masih sama-sama, walaupun kenyataanya sekolah yang mempertemukan dan sekolah juga yang akan memisahkan.
Tawa Dikta berhenti Ketika mendapati ponselnya yang bergetar, ia langsung mengangkat panggilan suara dari Airsya.
'Dik, lo lagi dimana?'
"Gue lagi di Home Juno,"
'Bisa jemput gue dulu?'
"Lo, dimana?"
'Basecamp gengnya Agas, Singaschool.'
"Lo, gapapa?"
'Please... jangan banyak nanya, jemput gue sekarang'
"Oke, gue Otewe. Lo jangan kemana-mana."
Dikta langsung mematikan panggilannya dan Kembali mamasukan ponselnya ke dalam saku hoodynya. Dikta melempar stick gamenya kepada Gerri, dengan lihai Gerri menangkapnya.
"Gue cabut dulu jemput Eca, lo main sama Juno dulu. Kalau kalah kepala lo gue penggal!"
"Ampun bang jago," ujar Gerri, ia tahu Dikta hanya becanda. Karena, Dikta mengetahui kalau Gerri tidak terlalu pandai bermain game playstaysion seperti ini.
"Gue serius, kepala lo mau gue umpanin ke singaschool biar nurut sama gue mereka."
"Anjrit lo! Btw, emang lo mau kemana?" tanya Gerri.
"Biasa Singaschool buat masalah, minta di jadiin daging cingcang mereka sama gue."
Gerri tertawa, "Kalau udah dijadiini daging cincang, jangan lupa Dik, di bikin bakso. Terus di jual, nah suruh nih si Juno jadi abang tukang bakso."
Juno yang tengah serius main game merasa terpanggil, "Enak aja lo, gue ganteng, anak sultan gini suruh jualan bakso. Bisa turun jiwa kesultanan gue." Juno melempar stick game playstasionya tepat diwajah Gerri.
Gerri merintih, "Gak kira-kira lo bedua lempar ginian ke muka gue, kalau muka gue lecet, gue bingung permak muka guenya dimana."
"Gampang oplas aja, tenang gue biayayain. Tapi, pake muka kakek umur delapan puluh tahun, ya?" Tawar Juno.
Gerri melempar kemabli stick playstasion gamenya kepada Juno, namun tidak mengenai Juno maupun Dikta. "Enak aja lo, meding muka gue burik kalau gitu mah!"
Tentu saja Juno dan Dikta tertawa dengan puas.
"Gue cabut dulu, ya?" Dikta berdiri lalu berjalan melangkahkan kakinya.
"Kalau ada apa-apa langsung kabarin kita, Dik!" ujar Juno dengan sedikit nada tinggi.
"Yoi," balas Dikta.
Setelah Dikta pergi dari hadapan mereka, Juno dan Gerri tetap melanjutkan permainannya. Namun, lama-lama Juno geram, Gerri tidak cekatan dan terlalu lemot bermain.
"Lo bisa main nggak sih, Gerr?"
Gerri cengengesan, "Lo lupa, gue dirumah Nggak ada PS? Jadi, wajarin ya gue kayak keong."
Juno menghembuskan nafasnya dengan kasar, ia memilih untuk tidak melanjutkan permainan gamenya. Juno membiarkan Gerri bermain sendiri, lalu ia keluar dari permainan itu.
"Lo, percaya Nggak Dikta gak punya perasaan sama Airsya?" tanya Juno tiba-tiba.
"Kan, tadi lo yang bilang. Kalau yang tahu perasaan kita ya diri kita sendiri. Jadi, kalau lo tanya perasaan Dikta, ya gue gatau. Karena gue bukan Dikta," jelas Gerri.
Juno mengangguk, "Oke, tapi kalau perasaan lo sama ade gue? Gladis, gimana?"
Gerri terdiam.
Pertanyaan Juno, menggantung. Gerri tidak menjawabnya, ia pura-pura focus terhadap game yang sedang ia mainkan.
Juno merangkul Gerri, "Lo tahu sendiri, keluarga gue yakin banget sama kepercayaan yang kita peluk. Gue juga percaya, keluarga lo juga begitu. Bukan gue yang Nggak ngerestuin, tapi Tuhan dan mungkin orang tua gue sama lo juga Nggak setuju. Tapi, lo jangan takut sama yang Namanya jodoh. Kalau lo udah di takdirkan berjodoh dengan Gladis, gue yakin sesulit apapun itu pasti kalian akan Bersatu dalam ikatan cinta."
Gerri tersenyum, semoga perasaanya dengan sesegera mungkin menghilang. Ia tidak ingin melawan apa yang bukan menjadi takdirnya, ia juga tidak mungkin mengecewakan keluarmya, lagipula belum tentu Gladis memiliki perasaan yang sama terhadapnya. Tapi jika Gladis juga memiliki perasaan yang sama, bagaimana sikap Gerri selanjutnya?"
Bersambung...
Ada salam dari Gerri, katanya Assalamualaikum:)
Btw, Spil komentar dong di bab ini:)
With Love, Holipehh💛