Dengan Langkah terburu-buru Airsya berlari di koridor sekolah, sesekali Airsya melihat jam tangannya, waktu sudah menunjukan hampir pukul Delapan, gara-gara Dikta tidak menjemputnya Airsya menjadi kesiangan seperti ini.
BRUK
Airsya menabrak Sindy yang tengah membawa tumpukan buku pelajaran, hingga berserakan di lantai karena berjatuhan. Sindy langsung berjongkok, dan mengambil buku-buku itu.
Dengan wajah kesalnya Airsya melihat ke arah Sindy, "KALAU JALAN PAKAI MATA DONG!"
Bukannya membantu Airsya malah membentak Sindy.
"Maaf, saya gak sengaja," ucap Sindy.
"Diri lo!" pinta Airsya.
Sindy berdiri, sambil memegang Kembali tumpukan buku tersebut.
"Maaf, Sya."
Airsya menaikan satu alisnya, "Siswi paling rajin di sekolah, tahu nama gue?"
Airsya tertawa, lagi pula memang tidak ada satupun siswa yang tidak mengenalinya. Karena, reputasi Airsya yang nakal tetapi pintar dalam bidang akademi maupun olahraga sudah tersebar luas ke seluruh penjuru sekolah.
"Hey, calon masa depan." Entah dari mana asalnya, Dikta langsung menghampiri Airsya dan Sindy.
Dikta merangkul Sindy, dengan tersenyum lebar.
"Lebay lo!" cibir Airsya.
"Dih sirik aja lo!" Kata Dikta, tangannya masih merangkul Sindy.
Karena Sindy risi, Sindy langsung menyingkirkan tangan Dikta yang berada di pundaknya.
"Jangan pegang-pegang saya," ujar Sindy, lalu melangkah pergi meninggalkan Dikta yang terdiam.
Airsya tertawa dengan puas, sungguh ini tontonan yang wajib diabadikan.
"Kenapa ketawa lo, Ca?"
Airsya tidak menjawab, ia terus saja tidak berhenti tertawa.
Dikta melipat kedua tanganya di dada, "Mungkin sekarang Sindy nolak gue, tapi gue yakin dua atau tiga hari lagi, dia yang ngejar-ngejar gue."
Mendengar ucapan Dikta Airsya semakin keras tertawa, Dikta memang terlalu percaya diri. Mana mungkin, Sindy siswi paling rajin jatuh hati begitu saja dengan Dikta yang brandalan, dekat saja mungkin Sindy masih mikir-mikir.
"Wah ngeledek lo ya?" Dikta tersenyum tipis dengan sinis.
Airsya menghentikan tawanya, "Katanya cowok paling ganteng di SMA Gunadarma, banyak yang ngantri, mau macarin seluruh penghuni sekolah, tapi deketin satu cewek aja langsung di tolak. Gak kena mental lo, Dik?"
"Dih, emang gue ganteng. Sindy nya aja yang matanya ketutupan sama buku, jadi gantengnya gue gak kelihatan."
"Mangkanya, jangan kepedean! Pacarin aja tuh bu susi." Ledek Airsya.
Dikta tertawa sambil menggelengkan kepalanya, "Wah gila sih lo, masa iya gue suruh jadian sama orang gila."
Airsya tertawa lalu berlari menghindari Dikta, karena habis ini Dikta pasti akan mengelitikin tubuhnya, Airsya paling gatahan kalau sudah di gelitikin Dikta.
Benar saja, Dikta mengejar Airsya. Mereka main kejar-kejaran sampai ke lapangan sekolah, hingga keduanya cape sendiri.
"Dik, udah ya cape," kata Airsya sambil menghembuskan nafasnya dengan cepat.
Dikta tertawa, "Ngaku kalah kan lo sama gue?"
Airsya tidak menjawab pertanyaan Dikta, ia malah tiduran di lapangan. Dikta tersenyum, lalu mengikuti Airsya tiduran di lapangan. Keduanya menatap langit yang mulai terik, matahari mulai memancarkan panasnya.
"Dik, lo beneran suka sama Sindy?" tanya Airsya.
Dikta terkekeh, "Lo cemburu?"
Dikta menatap Airsya sekilas, lalu Kembali memalingkan wajahnya ke atas langit.
"Dik gue serius!"
"Gatau, gue suka aja lihat dia kalau udah marah lucu menggemaskan. Nggak kayak lo, macem singa!" Dikta tertawa dengan puas meledek Airsya diakhir.
Airsya melempar pandangan ke arah Dikta, "Berati lo suka dia?"
"Gatau."
"Ko gatau?" Airsya bertanya lagi.
"Ya, kalau gue gatau jawabannya gimana?"
"Lo jangan baperin anak orang!"
Dikta tertawa, "Gue gak pernah baperin anak orang, anak orang yang baperin gue."
"Dih, sejak kapan lo baperan?"
"Gatau."
"Kenapa sih jawabannya gatau mulu?"
"Kenapa sih lo nanya mulu?" Dikta bertanya balik.
"Dikta!"
"Airsya!"
"Dik!"
"Ca!"
Airsya bangun dari tidurannya, duduk menatap Dikta yang masih tiduran di lapangan.
"Lo kenapa sih suka bikin orang marah?" tanya Airsya dengan nada kesalnya.
"Berati tandanya, gue ganteng." Dikta ikut terbangun.
"Kalau lo segini ganteng, jeleknya kayak gimana?"
"Wah, secara gak langsung ngatain gue jelek nih."
Airsya terkekeh, "Becanda, serus mulu lo mah."
"Oh becanda lo ya?" Dikta tersenyum jahil.
"Dik, plese jangan geli!"
Airsya tahu, pasti Dikta akan menghukumnya dengan mengelitikin tubuhnya.
Dikta tertawa, "Gada ampun buat lo."
Namun saat tangan Dikta mau menyentuh pinggang Airsya, guru BP menghampiri mereka berdua.
"DIKTAAAA! AIRSYAAAA!" Teriak pak Samir, guru BP SMA Gunadarma.
Mereka berdua langsung melihat ke arah sumber suara.
Dikta menggaruk kepalanya yang tak gatal, "Eh, ada pak Samir. Sehat pak?"
"Kalian berdua yang sehat! Bukannya masuk kelas, malah pacarann dilapangan!" kata pak Samir dengan nada yang tinggi.
"Engga pak, kita gak pacaran!" kata Dikta dan Airsya berbarengan.
"Kalian berdua bapak hukum! Bersihin lapangan ini, sama tempat sampah depan bersihin sampai kinclong!" Perintah Pak Samir.
Airsya terkejut, "Hah, tempat sampah pak?"
"Iya, keberatan?!" tanya pak Samir, dengan ketus.
"Tapi, kan itu tugas pak Ali," timpal Dikta.
"Kalau gitu saya tambahin, halama belakang sekolah juga kalihan bersihin. Kalau masih ada satu biji sampah, saya tambahin hukuman kalian!"
Setelah memberi hukuman kepada Dikta dan Airsya, pak Samir langsung meninggalkan mereka berdua.
"Gara-gara lo sih!" kata Dikta.
"Kok gue? Ya, lo lah! Coba, lo jemput gue. Mungkin, gue udah ada di kelas sekarang!" Ujar Airsya tak mau kalah.
"Tetap lo yang salah!"
"Salah gue dimana?" tanya Airsya.
"Salah lo banyak, jadi gue bingung nyebutinnya yang mana."
"Kayak pak Samir aja lo, nyari-nyari kesalahan orang."
"Enak aja lo samain gue sama si botak!"
Airsya tertawa, karena memang pak Samir tidak ada rambutnya.
"Eh, tapi gimana ya kalau pak Samir punya rambut?" tanya Airsya.
Belum menjawab Dikta sudah tertawa terlebih dahulu, "Upin ipin kalah sih."
"KERJAIN, JANGAN NGOBROL MULU!" Teriak pak Samir dari kejauhan.
Airsya terkekeh, "Telinganya lebih tajem dari pisau nenek gue kayaknya."
"Kan di semir mulu tiap hari."
Airsya dan Dikta tertawa bersamaan, sambil mengerjakan tugas yang diberikan oleh pak Samir.
Bersambung..