"Dibebasin? Kok, bisa? Jadi sekarang gimana?" tanyaku bertubi-tubi saking terkejutnya.
"Bokapnya Dipa itu ternyata salah satu pemilik perusahaan besar, Ram. Dia punya koneksi sama polisi yang pangkatnya lebih tinggi dari bokap gua," jawab David lesu.
"Walaupun pangkatnya lebih tinggi, bukannya buktinya itu udah jelas buat penjarain mereka?" tanyaku.
"Buktinya ga begitu kuat, Ram. Soalnya itu hanya dari perkataan aja. Ga ada pengakuan yang jelas dari korban. Tuduhannya jadi dianggap gak valid," jawab David.
Aku terdiam seketika.
"Kira-kira lo ada rencana lagi gak, Ram?" tanya David pelan tak bersemangat. "Pasti habis ini mereka bakal nyoba nyebarin aib adik gua."
"Sebentar ya, gua coba tenangin diri sama mikir dulu," ucapku lalu menarik nafas dalam-dalam.
"Ok," jawab David singkat.
Sesaat kemudian, setelah perasaanku mulai bisa cukup tenang, aku pun mencoba mengajukan rencanaku.
"Foto bugil dari Dipa dan Yudha, lo jadiin senjata buat ngancam mereka lagi, supaya mereka gak bakal nyebarin tentang adik lo," ucapku secara perlahan. "Soalnya untuk saat ini, kita butuh ngulur waktu buat nyusun rencana."
"Ok, tapi cuma itu aja?" tanya David.
Aku memejamkan mataku, berusaha memikirkan apa saja yang penting dilakukan untuk saat ini, "Hmmm ... kabarnya Bagas gimana?" tanyaku balik.
"Dia lagi coba menghindar dari Dipa sama Yudha, Ram. Soalnya mereka udah curiga sama si Bagas, karena yang rekomendasiin dukun ke mereka kan si Bagas awalnya," jelas David.
Aku pun menjadi bingung, sebab orang yang bertugas sebagai mata-mata telah ketahuan. Jika tidak ada Bagas, otomatis masalah ini akan semakin sulit untuk dipecahkan.
"Lo punya temen yang dekat sama Dipa gak?" tanyaku penuh harap.
"Hmmm ... kalau temen nongkrong sih ada, tapi kalau masalah deket atau nggaknya, gua kurang tau," jawab David perlahan.
Melihat jawaban David yang tampak ragu membuat otakku harus bekerja lebih keras untuk mendapatkan rencana yang baru. Aku yakin, bahwa pasti muncul kesempatan di setiap usaha yang dilakukan dengan tulus.
Menuntaskan masalah ini dengan metode gaib bukanlah pilihan yang bijak. Karena aku sadar, sekalipun aku sampai membunuh Dipa dan Yudha, para korban tidak akan bisa mendapatkan rasa keadilan dan ketenangan di dalam batinnya.
Mentok-mentok, aku hanya akan menggunakan metode gaib untuk menyerang sisi mental mereka, agar emosi dan tindakan mereka lebih mudah kuprediksi.
Jadi, aku harus tetap memilih untuk mencari solusi melalui hukum manusia, sanksi sosial harus diterapkan agar para korban bisa menyaksikan langsung, hukuman dan penderitaan yang akan dialami oleh Dipa dan Yudha.
Mumpung mereka tidak mengetahui eksistensiku yang bekerja dibalik layar. Aku terpaksa harus turun ke lapangan, untuk menjalankan rencana baruku.
"Sementara ini lo alihin perhatian mereka dulu aja. Nanti kabarin semua perkembangannya," ucapku.
"Oke," balas David.
Panggilan itu pun kami sudahi. Aku mulai membuka kontak yang berada di ponselku, lalu mengetikkan nama Nadia di sana. Kutekan nama itu, lalu kutatap dalam beberapa saat.
13.00 - Rama : Hai ... ini gua Rama, yang pernah ketemu sama lo di cafe A*****.
13.01 - Nadia : Hai juga, kok baru hubunginnya sekarang? haha.
13.02 - Rama : Sorry, lagi sibuk kemarin.
13.03 - Nadia : Kok sorry sih, santai aja kali.
13.04 - Rama : Iya hehe ... omong-omong, lo lagi ngapain nih?
13.06 - Nadia : Lagi ga ngapa-ngapain sih, cuma diam di rumah doang, soalnya kakak gua baru pulang.
13.08 - Rama : Kaki lo lagi sakit?
13.09 - Nadia : Nggak kok.
13.10 - Rama : Bisa jalan berarti?
13.10 - Nadia : Bisa ...
13.11 - Rama : Mau kapan?
13.11 - Nadia : Maksudnya?
13.12 - Nadia : Eh bentar ... bentar .... Ini lo lagi ngajak jalan ya?
13.13 - Rama : Hahaha... kalo lo mau aja sih.
13.15 - Nadia : Haha ... bisa aja deh lo, tapi emangnya mau ketemuan di mana?
13.17 - Rama : Di mana-mana hatiku senang.
13.18 - Nadia : Hahahaha ... becanda mulu deh lo.
13.20 - Rama : Gimana kalau ketemuan di cafe kemarin lagi?
13.22 - Nadia : Boleh juga tuh, tapi besok sore aja, ya.
13.24 - Rama : Oke... nanti kabarin lagi aja.
13.25 - Nadia : Ok... see you tomorrow.
13.26 - Rama : See you too.
Aku tak menyangka, ternyata teknik modus yang diajarkan oleh Steven manjur juga. Setidaknya selama ini dia tidak sia-sia menjuluki dirinya Dewa Cinta. Walau sebenarnya, aku merasa geli sendiri saat mengetik pesan itu.
Tetapi sebenarnya, aku juga merasa deg-degan karena aku tahu bahwa diriku bukanlah tipe pria yang agresif. Aku bingung harus bertingkah bagaimana jika bertemu dengan Nadia besok. Demi rencana dapat berjalan dengan sukses, sepertinya aku harus memasang muka tembok.
<><><>
Keesokan harinya, aku meminjam motor teman kosku lalu pergi menuju cafe yang telah kami tentukan sebelumnya. Saat aku sampai di sana, ternyata Nadia sudah terlebih dahulu datang.
"Halo ... udah lama nunggunya, ya?" ucapku sambil tersenyum dan melambaikan tangan.
"Hai ... baru nyampe juga, kok," balas Nadia sambil tersenyum kecil.
"Boleh duduk gak, nih?" tanyaku canggung.
"Duduk dong," ucap Nadia dengan akrab. "Lagian kok lo kaku amat sih, santai aja kali, Ram."
Baru saja duduk di kursi, tiba-tiba Nadia langsung bertanya, "Emangnya ada apaan ya, Ram? Sampe harus ketemuan gini."
"Cuman lagi bosen aja, sih. Lagi ga ada temen buat jalan," ucapku canggung berusaha menyamarkan alasanku yang sebenarnya.
"Jadi gue hanya pelampiasan kalau lo lagi bosen aja, ya?" tanya Nadia sambil memicingkan matanya.
Aku langsung panik saat mendengar ucapannya, "Eh... maksud gua bukan gitu, kok."
"Hahaha ... becanda doang kok, Ram. Kok lo langsung panik gitu deh," ucap Nadia sambil tertawa jahil.
"Gua kirain lo serius," ucapku lalu menghela nafas.
"Hahahaha ... respon lo lucu deh," balasnya sambil tertawa terbahak-bahak.
Sesaat kemudian, kami pun memesan makanan dan minuman masing-masing. Lalu melanjutkan obrolan selagi menunggu pesanan kami tiba.
"Rasanya lo beda banget deh, Ram. Dibandingin sama waktu lagi chattingan," ucap Nadia sambil menatapku dalam-dalam.
"Beda apaan emangnya?" tanyaku penasaran.
"Kalo lewat chat sih lo keliatannya asik dan humoris, tapi kalo ketemu langsung ternyata kaku dan awkward banget, hahaha," jawabnya sambil menopang dagunya dengan telapak tangannya.
Sebenarnya tanpa perlu dikatakannya, aku juga sadar akan hal itu. Karena pada dasarnya aku sulit berkomunikasi dengan orang yang tidak kukenal, terutama para wanita.
"Keliatan aneh, ya?" tanyaku sambil menggaruk rambutku dengan pelan.
"Lebih tepatnya unik, sih. Soalnya gue baru pertama kali ketemu orang kayak lo," jawab Nadia.
Aku tersenyum mendengar ucapannya, sebab aku juga baru pertama kali mendengar penilaian seperti itu tentang diriku.
Setelah itu kami berbincang-bincang panjang membahas tentang umur, kampus, hobby, dan kehidupan kami masing-masing. Semakin lama berinteraksi dengannya, aku mulai merasa semakin nyaman.
Dari percakapan itu, aku bisa menilai Nadia adalah orang yang humoris dan easy going. Aku tak merasa bosan saat membahas topik jenis apa pun dengannya. Aku merasa senang, sebab jarang-jarang ada orang yang pembicaraannya bisa satu frekuensi denganku.
Saking menikmati pembicaraan itu, aku sampai melupakan waktu yang terus berjalan. Saat aku mengecek jam di ponselku, ternyata jam sudah menunjukkan pukul delapan malam.
"Gak kerasa udah malam aja nih, balik yuk ...," ajakku.
"Iya, nih. Entar kakak gua ngomel-ngomel mulu kalo gue pulangnya kemaleman," balas Nadia sambil tertawa kecil.
"Baliknya bareng aja, yuk. Gua ngerasa ga enak, udah ngajakin tapi ga nganterin balik," ucapku.
"Serius, nih? Ga bakal ngerepotin, kan?" tanya Nadia sambil tersenyum.
"Iya ... santai aja," jawabku sambil membalas senyumannya.
Kami pun keluar dari cafe lalu pergi pulang menggunakan motor. Selama di perjalanan, kami masih lanjut mengobrol, sekaligus Nadia memberi tahu arah jalan menuju rumahnya. Aku pun akting berpura-pura tidak tahu, karena sebenarnya aku sudah pernah datang ke sana.
Nadia menepuk bahuku sembari berkata, "Berhenti di sini aja, Ram."
"Oke," balasku lalu berhenti tepat di depan rumah Nadia.
Nadia pun mulai turun, "Makasih banyak ya, Ram. Mau mampir masuk ke dalam gak?" tawarnya dengan ramah.
"Emangnya ada siapa aja di dalam?" tanyaku penasaran.
Nadia lalu menjawab, "Cuma kakak gua doang, kok."
"Hmmm ...." Aku pun bergumam karena merasa ragu.
Tiba-tiba Nadia langsung menarik lenganku, "Masuk aja, Ram. Gua juga ga enak kalo lo langsung pulang gitu aja," ucapnya. "Bentaran doang kok, cuma sekedar minum teh atau kopi aja."
"Oke deh," ucapku lalu memarkirkan motor di depan rumahnya.
Saat aku selesai memarkirkan motor, Nadia masih mengetuk-ngetuk pintu rumahnya.
"Duh, kok gak dibuka-buka, sih," gumam Nadia kesal. "Bentar ya, Ram. Gue telpon kakak gue dulu."
Sesaat kemudian, telpon Nadia pun diangkat oleh kakaknya.
"Kak, cepet bukain pintunya. Dari tadi aku gedor-gedor kok gak didengerin sih," ucap Nadia dengan nada kesal.
Terdengar balasan Suara Yudha dari ponsel Nadia, "Iya ...iya ... bentar, ya."
Tak lama kemudian, pintu rumah pun mulai terbuka. Yudha muncul dari balik pintu lalu menatapku kaget. Sepertinya, dia masih mengingat wajahku.
Nadia lantas mempersilakanku dengan ramah. "Yuk masuk, Ram."
Aku mengangguk pelan. "Iya, Nad."
Sementara itu Yudha masih terdiam, melihatku dengan ekspresi bengongnya. Aku hanya bisa tertawa dalam hati, sepertinya dia bisa mati jantungan bila aibnya kubongkar saat itu juga.
"Kak, kenapa, sih. Kok bengong gitu?" tanya Nadia heran.
Yudha kembali sadar lalu membalas pelan, "Gapapa kok ..."
Nadia tampak tak terlalu memperdulikan respon dari Yudha, lalu dia pun membimbingku masuk ke dalam rumahnya.
"Duduk gih, Ram," ucap Nadia sambil mengarahkanku ke sofa yang ada di ruang tengah. "Lo mau minum kopi apa teh?"
"Teh aja, Nad," balasku singkat.
"Oke, deh. Tunggu bentar ya." Nadia lalu pergi meninggalkanku di ruang tamu sendirian.
Tiba-tiba Yudha muncul lalu duduk di sofa yang berada di seberangku.
"Lo siapanya Adek gua?" tanya Yudha tanpa basa-basi.
"Menurut lo?" tanyaku balik sambil tersenyum.
"Gw nanya serius, woi!" bentak Yudha.
"Sekarang cuman temen doang kok, tapi ga tau kalo nanti," balasku sambil tersenyum jahil.
"Lo maunya apa?" tanya Yudha yang tampak sudah mulai emosi.
"Hmmmm ... apa, ya?" ucapku sambil mengusap-usap daguku. "Gimana kalo gua nyebarin aib lo ke Nadia?"
Yudha tampak panik seketika lalu berkata, "Lo bisa hancurin gua, tapi jangan sampe bawa-bawa keluarga gw bangsat!"
"Yakin, nih? Lo berani pegang omongan lo gak?" tanyaku dengan serius.
"Yakin!" jawabnya dengan percaya diri.
"Gimana kalo gua suruh lo buat bunuh diri sekarang," ucapku dengan santai.
Yudha langsung meraih kerah bajuku, "Bangsat lo ya! Lo datang ke sini cuman buat ngancam gua doang ya!"
"Terus lo bisa apa sekarang?" tanyaku dengan nada yang datar.
Yudha pun langsung mengarahkan tinjunya ke wajahku. Tetapi sebelum tinjunya berhasil mendarat dengan sukses, tiba-tiba muncul suara Nadia dari belakang Yudha.
"Kalian pada kenapa, nih?" tanya Nadia dengan nada yang bingung.
Yudha pun spontan menurunkan tangannya yang hampir melayang ke wajahku.
Nadia tampak mulai mengernyitkan dahinya lalu bertanya, "Kakak mau mukulin Rama, ya?"
Yudha pun seketika tampak panik setelah mendengar pertanyaan yang diluncurkan oleh Nadia. Keringat dingin pun mulai muncul dan menetes dari dahinya.
"Nggak kok, Kakak cuma mau ngecek merek bajunya doang." Dengan terpaksa, Yudha memasang senyuman lebar di bibirnya.
Bersambung ...