[7] Ambisi Berdarah

3.9K 697 37
                                    

Suasana kelas hening seketika. Untuk pertama kalinya, Angel berbicara pada Lily seolah-olah ada jarak yang lebar di antara mereka. Angel menatap Lily penuh intimidasi lalu berjalan mendekati sahabatnya itu.

"Apa kita perlu metode baru?" tanya Angel masih dengan tatapan yang tak kunjung terputus dari netra Lily. Angel sadar bahwa ia terlalu egois untuk terlihat 'memaksa' Lily agar bisa merebut posisinya, akan tetapi bukankah itu untuk kebaikan Lily juga?

Bibir Lily bergetar, ia tak ingin terlihat seperti pecundang di hadapan teman-temannya. "Se--serahkan kertas itu." Lily mengulurkan tangannya hendak meraih kertas itu, akan tetapi Angel tidak mengindahkan uluran itu dan malah meletakkannya di atas meja.

"Lihat baik-baik, padahal tinggal selangkah lagi. Harusnya ini mudah bagimu." Angel melipat tangannya di depan dada. Lily menatap Angel dengan tatapan canggung, lalu membaca isi kertasnya.

"Ada apa dengan kalian?" Mecca berjalan mendekati keduanya, terlebih lagi Angel. Gadis genius itu tidak biasanya bersikap demikian pada sahabatnya sendiri.

"Kalian bersaing?" Bastian turut menanyai keduanya lalu tertawa remeh.

"Tutup mulutmu." Angel menimpali namun matanya masih lekat menatap Lily.

Lily terperangah, apa yang terbaca di depannya sungguh memuakkan. Tangannya lagi-lagi mengalami tremor, ingin rasanya meluapkan emosi saat itu juga tetapi gengsi langsung menahannya. Ia tak percaya, tetapi selisih nilai mereka sungguh memalukan.

"Hanya selisih 0,5. Begitu pun kamu tak mampu?" Angel mengguncang pundak Lily untuk meminta perhatian. Ia benar-benar merasa sudah menyalurkan apa yang ada di otaknya agar Lily mampu mengalahkannya, tetapi ternyata semua tidak semudah seperti yang ia kira.

Lily mendongak, matanya berkaca-kaca. Apa yang harus ia lakukan? Mungkin teman-temannya yang lain tidak akan mempermasalahkan hal ini. Lalu, bagaimana dengan orangtuanya? Pak Brian? Apa mereka masih akan tetap membandingkan dirinya dengan Angel?

"A--aku tak tahu .... " Tatapan Lily menjadi kosong. Ia benar-benar seperti kehilangan keseimbangan.

"Coba sini aku lihat!" Lidya merebut kertas itu lalu membaca isinya. Siswa lainnya juga turut melakukan hal yang sama, namun mereka merasa aneh.

"Kurasa tidak ada yang perlu diperdebatkan." Lidya menyerahkan kertas itu pada Mecca lalu melipat tangan di dada. Angel hanya diam, sebab tak mungkin ia menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Gadis berkacamata itu masih menatap Lily, menanti keputusan darinya.

Lily menghela napas panjang lalu menelan ludah kuat-kuat. "Aku harus pergi. Tinggalkan aku sendiri." Tanpa membalas tatapan Angel, gadis itu melangkahkan kaki cepat keluar kelas.

Semua pasang mata menatapnya iba, kecuali Angel. Ia merasa gagal, segagal-gagalnya meraih apa yang diinginkannya. Perjuangan terakhir akan dimulai dan lagi-lagi harus mempertahankannya hingga titik darah penghabisan. Angel sadar, bahwa ia membenci hal itu.

"Apa yang harus kuperbuat? Aku sudah teramat lelah .... " gumam gadis itu. Tangan kanannya terkepal penuh ambisi. Beberapa meter dari posisinya berdiri, seseorang malah menatapnya dengan seringai mencurigakan. Tak ada yang tahu dan tak ada yang pernah tahu.

***

"Aku masih belum memahaminya."

Dua orang manusia itu kini tengah berdiri sejajar. Roftop sekolah selalu jadi lokasi terbaik saat ingin sendiri. Keduanya menghadap ke arah lapangan sekolah yang luas, memperhatikan para siswa yang tengah berlatih basket. Di tribunnya banyak gadis-gadis cantik nan modis memberi sorak-sorak tanda penyemangat.

THE CLASS [END]Where stories live. Discover now