Part 44: Tanda pengenal

Mulai dari awal
                                    

Lagi, Frans tidak berkomentar. Menanggapi kakaknya yang gila akan membuatnya gila juga. Pemuda itu menurut dan melangkah hati-hati ke sofa di luar kamar.

"Udah puas tidurnya? Kenapa nggak sekalian dilanjutin sampe pagi?"

"Pagi?"

"Kamu pingsan empat jam."

Pantas saja Risya menyebutnya mati tadi. Frans bahkan tidak sadar kalau diluar sudah gelap.

"Gimana, Frans?"

"Masih pusing, Dok." Frans mengambil duduk di singgle soffa yang terletak di sebelah pembatas tangga.

"Kamu tadi mikir apa?"

Ah Frans paling tidak suka bagian ini. Berhadapan dengan seorang psikolog selama beberapa bulan ternyata masih saja tidak membuatnya terbiasa.

"Cuma bad mood aja."

"Lo tadi maksa inget apa? Biasanya dibilangin malah ngeyel. Sekarang maksa buat inget. Aneh!" Risya tak henti-hentinya mencibir.

"Gue nggak maksa." Frans mengelak. Tak mau kalah.

"Tapi Dokter Airin bilangnya lo maksa."

"Apa yang coba kamu inget, Frans?"

Frans memaki dalam hati. Bisa-bisanya Risya memanggil dokter Airin hanya karena dirinya pingsan. Atau... Bundanya yang memanggil? Entahlah. Frans hanya tau bahwa dia sedang tidak nafsu menjawab pertanyaan apapun tentang dirinya ataupun apa yang ada di pikirannya. Privasi yang terlalu menyebalkan untuk dibahas.

"Aksara."

Kejujuran Frans membuat senyum licik Risya terbit. "Udah beli otak, lo?" sindirnya.

"Wajar, Risya. Ini bisa terjadi ketika Frans maksa buat manggil ulang semua memorinya dalam satu waktu."

"Aku enggak maksa, Dok," bantah Frans tak terima. Memang itulah yang dia lakukan. Frans sama sekali tidak memaksakan otaknya.

Bukankah ini semua terjadi hanya karena valentine bodoh itu? Frans tidak macam-macam. Jadi jangan salahkan dirinya.

"Tapi, Dok? Bukannya Frans udah biasa ngelakuin ini?" Fransisca turut penasaran.

"Terapi yang Frans lakuin cuma bisa ngebantu otak Frans kerja buat nginget-nginget poin poin peristiwa. Bukan ngembaliin ingatannya." Dokter muda itu beralih menatap Frans. "Tapi kamu inget sesuatu kan sebelum pingsan?"

"Kayaknya sih inget, Dok. Tapi sekarang lupa lagi."

"Gimana sih, lo?! Katanya tadi Aksara?" Risya geram. Maklum saja. Risya adalah satu dari beberapa orang yang sangat gemas akan tingkah menyebalkan yang Frans miliki sejak amnesia.

"Gue ingetnya Ra doang."

"Bego kok dipelihara."

"Risya..." Fransisca memberi peringatan

"Apa lagi, Frans?"

Frans diam sejenak. Apa lagi? Hanya valentine yang Frans ingat. Jadi dirinya harus menjawab apa atas pertanyaan dokter Airin ini? Dan lagi, ini adalah pertanyaan yang membuat Frans selalu malas melakukan terapi. Apa lagi? Memangnya Dokter ini tau apa saja yang ada di otak Frans? Bercerita sekalipun dirinya tidak akan paham. Kurang lebih seperti itulah yang Frans pikirkan setiap mendengar pertanyaan tersebut.

"Nggak ada, Dok. Cuma inget sama anak kecil itu lagi."

"Ra?"

"Iya." Frans menoleh pada kakak semata wayangnya. "HP gue mana?"

FRASA [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang