Part 27: Ketakutan

445 106 99
                                    

•|FRASA|•

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

•|FRASA|•

Aksara menatap kosong kotak musik di hadapannya. Seharusnya, tadi Aksa mengiyakan tawaran Mbak Seva untuk menginap di panti. Entah kenapa, di kamar gelap ini, Aksa menjadi ketakutan. Melodi-melodi dari kotak musik terus saja terngiang di kepalanya. Serasa ingin pecah.

Melodi pilu itu terlalu mengerikan.

Mata Aksa beralih pada lipatan kertas berisi surat peringatan yang baru dia terima beberapa jam lalu.

Sebenarnya, ini ada apa?

"Kapan ini semua selesai?" gumam Aksa pedih. Ia bahkan tidak berani untuk sekedar membaringkan badan di kasur.

Beberapa menit lalu ia sempat menghubungi Leon. Karena sudah kepalang takut, Aksa ingin meminta Leon mengantarnya ke panti. Tapi ketika ingat betapa marahnya Frans beberapa waktu lalu, urung sudah niatnya memanggil Leon.

Aksara meraih jaket tebal yang tergeletak di nakas samping tempat tidurnya. Mengambil paper bag, dan membungkus kotak musik tadi. Tak lupa dia menyambar kunci mobil, lalu bergegas turun ke garasi.

Sudah jam 10 malam, dan Aksa benar benar nekat untuk pergi ke panti asuhan seorang diri.

Tidak. Aksa tidak boleh sendirian sementara waktu. Aksara benar benar ketakutan. Surat dan musik itu benar benar menyiksa. Ia bahkan sama sekali tak ingin tau tentang arti ataupun sekedar judul dari lagu mellow tersebut.

Di sinilah seorang Aksara Aurellin Pradikta. Di sudut garasi dengan mobil putih menjadi objek pandangan utama. Seluruh lampu rumah ia nyalakan.

Pelan, perempuan dengan piama bermotif jam weker dan rambut berbandana hiu itu melangkah mendekati pintu mobil. Jangan tanya kemana jaket tebal tadi. Aksa bahkan tidak peduli sudah menjatuhkannya dimana.

Tangan kanan Aksa gemetar hendak membuka pintu. Seketika, memorinya mengulang suatu hal di masa lalu.

"Jangan bawa mobil sendirian lagi. Kalaupun mau nyetir, harus ada gue."

Aksara menggeleng frustasi. Luka itu masih sama. Bahkan efeknya berlanjut hingga saat ini. Semua terlalu tiba tiba dan selama ini, Aksa hanya pura pura tegar menerimanya.

Sayangnya, semua kejadian ini adalah salah Aksara sendiri. Dan Aksara Aurellin Pradikta layak menerima semua.

Selepas berkutat beberapa menit dengan memori, Aksa mengurungkan niat pergi ke panti. Ia memilih keluar rumah dan pergi ke rumah sebelah. Masih dengan paper bag berisi kotak musik.

"Non Aksa? Mau kemana malem-malem? Mau saya anterin?"

"Enggak, ke rumah Frans doang kok, Pak."

"Mau nginep?"

"Iya," kata Aksa jujur. "Eumm, Kak Sya ada, ngga?"

"Non Risya kayaknya di rumah temennya atuh, non. Kenapa emangnya?"

FRASA [✓]Where stories live. Discover now