"Jangan sirik!" Andrew meninju pelan lengan Julia.

"What? Gue? Sirik? Najis! Yang bener aja, Ndrew. Gue malah geli. Tapi, masuk akal sih. Danu nggak pernah pacaran Dara pun sama. Makanya mereka lebay begitu."

"Lebay dari mana? Mereka nggak ngapa-ngapain, cuma gandengan tangan. Aneh lo!"

"Lo nggak paham. Hal itu justru kekanakan dan norak. Seolah mereka mau pamer kalau mereka itu pasangan manis yang saling cinta. Bullshit banget."

"Ih, apaan. Menurut Tante, gimana?" Andrew bertanya pada ibu Danu yang sedari tadi diam.

"Tante akui, Danu biasanya tidak begitu."

"Ya ... artinya berlebihan atau enggak?"

"Untuk Danu yang biasanya, iya."

Andrew memasang wajah kaget dan menggeleng. "Bukan gitu, Tante, maksudnya. Berlebihan di sini ke arah norak, buat ilfeel, bikin jijik."

"Aduh ... nggak paham deh. Udah, Tante mau ke kamar aja. Kasihan Nina sendiri di kamar." Ibu Danu langsung meraih pegangan tasnya dan melenggang pergi. 

"Lo sih!" Andrew menuduh Julia.

"Apa? Gue? Please deh. Bahkan Tante lebih berpihak sama gue dibanding sama Danu. Kenapa lo berani nyalahin gue? Mungkin lo belum tau siapa gue bagi Tante Firly!" Julia mengibaskan rambutnya lalu berdiri. "Gue ke kamar dulu."

"Kamar atau ke sebelah?" Andrew merujuk ke club yang merupakan satu bagian dengan hotel tempat mereka menginap sekarang ini.

"Bukan urusan lo!"

Julia berjalan dengan dagu sedikit terangkat. Dia bisa melihat keluarga Dara melihat ke arahnya. Mungkin mereka berharap Julia akan berpamitan atau setidaknya melambaikan tangan. Sesuatu yang tidak akan pernah terjadi. Mereka perlu paham posisi mereka yang sebenarnya di keluarga Danu, yang tidak akan pernah sejajar dengan posisi Julia, atau bahkan lebih tinggi.

***

"Kecuali aku yang membuatmu begadang, maka kamu harus tidur di bawah jam 10. Dan paling lama jam 9, susu harus sudah diminum. Jika itu dilanggar, aku akan marah. Paham?" Danu yang baru saja keluar dari kamar mandi memberi ultimaltum.

Dara yang sedang duduk dengan punggung melengkung beralaskan bantal pun mengangguk.

"Biasanya memang begitu, kok," jawab wanita itu.

"Jadi, bagaimana perasaanmu?" Danu bertanya sambil melangkah mendekat. Dia berdiri di sebelah ranjang bagian sisi Dara sedang duduk. Dara menggeser sedikit tubuhnya sehingga Danu bisa duduk.

"Sedikit gugup, tapi nggak segugup waktu resepsi."

Danu tersenyum miring. "Tidak ada yang lebih mengejutkan dibanding mendadak menikah secara resmi dengan pria yang sedari awal dianggap sebagai ... pelanggan, bukan?"

Wajah Dara merona dan Danu bisa melihat pancaran rendah diri. Yang tidak bisa dia pahami adalah seringnya manusia mengartikan ucapan seseorang secara negatif. Berasumsi seolah kata-kata itu dilontarkan untuk menyudutkan. Bahkan saat diucapkan dengan bahasa yang tidak kasar dan intonasi yang tidak keras. Banyak orang yang Danu temui seperti itu, dan mayoritas perempuan.

"Saat ... sesuatu yang buruk tentang kita, atau setidaknya kita anggap buruk, diucapkan oleh orang lain, aku rasa kita tidak boleh marah bukan? Apalagi tersinggung. Itu fakta. Aku sering membiarkan orang lain mengucapkan daftar keburukanku dan aku hanya mendengarkan dengan wajah penuh senyuman. Saat mereka melihat aku tidak terpengaruh, mereka pasti tidak akan menggunakan daftar itu untuk membuatku terpojok. Hanya akan menjadi candaan. Berbeda saat mereka melihat itu bisa mempengaruhi suasana hatiku. Mereka akan menggunakannya sebagai alat untuk menyerangku. Percayalah, setiap hari itu ujian di mana seseorang akan melakukan berbagai hal hanya untuk mempelajari orang lain. Apa yang membuat seseorang senang, sedih, marah, takut, terancam, mereka terus mencari jawaban dan memanfaatkan informasi yang mereka peroleh demi keuntungan mereka. Contohnya, para penjilat."

"Mas ... pertama kali aku mengenal kamu, yang tergambar di kepalaku itu lelaki menyeramkan yang bersikap tegas bahkan kejam, bukannya sangat realistis seperti sekarang ini. Kenapa Mas nggak kerja jadi dosen aja sih? Atau psikolog?"

Danu tertawa pelan lalu memukul paha Dara pelan. "Aku memang tegas dan kejam, saat aku harus bersikap seperti itu. Jangan lupakan kejadian Lucy," ucapnya.

"Iya, aku ingat." Wajah Dara berubah masam sejenak. "Tapi, makasih ya, Mas, akhirnya kamu ngebolehin aku ngundang dia. Meski dia begitu, dia satu-satunya teman dekatku. Bahkan aku rela kalau undanganku jadi dibatasi hanya satu asal undangan yang satu itu dia."

"Suatu saat matamu akan terbuka," ucap Danu. "Dan yang tadi ...."

"Mas ... aku paham ucapan kamu. Tapi, aku nggak paham intinya. Mungkin otakku nggak sampai ke sana. Mending Mas langsung aja, tujuan ucapan itu apa?"

Tangan Danu terangkat untuk menjepit hidung Dara. "Ya intinya memang yang tadi. Saat aku membahas pelanggan, ekspresi kamu berubah. Kamu terganggu dengan fakta hubungan kita diawali dengan cara seperti itu padahal itu memang bagian dari masa lalu kita. Kamu mungkin belum terbiasa, tapi memang harus dibiasakan. Itu bagian dari masa lalu. Mungkin bagi kamu buruk, tapi tidak harus disesali. Ada banyak masa lalu orang lain yang lebih buruk. Kamu istriku. Sejauh yang kutau, selama ini, orang mempelajari aku. Sebagian berusaha meraih, sebagian berusaha melenyapkan. Dan itu akan terjadi padamu juga. Masalahnya adalah tekanan yang kamu alami akan berpengaruh pada bayiku. Aku tidak ingin itu terjadi. Besok kita akan bertemu banyak orang. Berbagai bisikan, ekspresi, dan sikap mereka akan kamu dapati. Aku tidak mau itu berpengaruh pada kamu. Sedikit pun. Paham?"

Dara mengangguk. Berusaha mengerti meski sekarang ini, setelah mendengar ceramah Danu panjang lebar, dia malah mengantuk.

"Kupikir aku siap memperkenalkanmu pada dunia. Ternyata, memperlihatkanmu pada sebagian orang saja, aku sudah diliputi perasaan ragu," ucap Danu yang samar-samar terdengar di telinga Dara.

Hari ini berlangsung panjang. Banyak hal yang dia lakukan. Makannya pun lebih banyak dari biasanya, karena selera Dara yang terpancing. Biasanya di rumah sang ibu mertua akan membatasi makanan Dara dan hari ini wanita tua itu luput mengawasinya. Surga bagi Dara. Selain itu, suhu ruangan yang dingin dan tangan Danu yang mengelus-elus perutnya sangat membuatnya nyaman. Dara terlelap bahkan tanpa sempat mencuci wajah dan menggosok giginya.

NB

DaraWhere stories live. Discover now