42. Bukit

815 39 40
                                    


"Seberapa besar tenaga cowok itu, kuat sekali dan apa yang dia lakukan itu sangat romantis."

>Luvia<

***

Warning!
Adegan 17+
Terbesit adegan dewasa!

.
.
Beberapa lama berkendara, Raden menghentikan motor di suatu tempat.

Ketinggian sekitar 200 MDPL sudah membuat kagum para penikmatnya. Dilihat pemandangan hijau masih asri di atas Bukit.

Luvia turun dari atas motor, baru kali ini dia melihat pemandangan hijau secara langsung, biasanya hanya sebuah gambar atau video.

"Raden. Ini dimana?" Kata Luvia menatap pemandangan, sangat indah.

Raden mengikuti Luvia dari belakang, "Bukit."

Luvia menoleh cepat, "Bukit? Kita sampai Bukit?"

"Hm. Bagus 'kan?" Kata Raden memutar pundak Luvia 180 derajat.

Sekelompok burung Dara berterbangan membuat pemandangan semakin indah.

Kedua ujung bibir Luvia terangkat, menampilkan senyum manis. Raden melihatnya juga terbawa tersenyum.

Cowok itu membawa Luvia duduk di atas batu besar menghadap ke arah pemandangan hijau.

Mereka duduk berdua dengan tangan Raden yang merangkuh pinggang Luvia. Dia masih tersenyum dengan mata berbinar.

"Jadi ini tempatnya?" Tanya Luvia menatap Raden.

Raden tersenyum dan mengangguk menjawab pertanyaan Luvia. Gadis itu semakin tersenyum dengan kedatangan rona merah di pipi.

"Kamu suka?"

"Suka banget. Ini yang aku impikan sejak dulu. Tapi," Kata Luvia menggantung.

"Tapi apa?"

Luvia menatap Raden, "Tidak ada yang mengajakku."

Raden tertawa, "Kasihan."

"Kenapa tertawa? Ada yang lucu?" Luvia kesel kenapa cowok ini tertawa apa ada yang aneh dia rasa baik baik saja.

"Kalau aku tidak tahan, aku cium!" Ancam Raden.

Tangannya terulur mencubit pipi merah Luvia, sangat menggemaskan.

"Sakit Raden!" Rintih Luvia melepas cubitan Raden.

"Tumben bilang. Biasanya langsung."

Cup!

Raden mencium singkat bibir cerewat itu. Geram akan kelakuan Luvia yang semakin lama semakin menggemaskan dan imannya tergoda.

"Kenapa melakukannya?" Tanya Luvia menentang berkelahi.

"Hanya kecupan?" Raden nampak santai padahal bahaya sudah di depan mata.

"Hanya kamu bilang? Itu untuk suamiku nanti!"

"Kelamaan! Nanti juga aku yang cium tiap hari." Jawab Raden asal seakan dia yang menjadi suami Luvia.

"Emang kamu yang akan menjadi suamiku?" Raden tidak menjawab.

Digantikan dengan menatap Luvia lekat, menaikkan alisnya ke atas seperti mengatakan, 'Harus itu, sudah jelas!'

Luvia terdiam tanpa kata kata, pipinya kembali merona membayangkan masa depannya bersama Raden.

"Kenapa pipimu selalu merah? Aku gak tahan melihatnya."

"Gak Boleh!" Kata Luvia jutek.

"Kamu masih marah?" Kata Raden melihat logat Luvia.

Taruhan [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang