Segment 2. Black Jacket

1.6K 184 41
                                    

"Tidak ada mimpi karena tidak pernah bermimpi, seperti itulah aku."

>Raden<

***

Terjun dari atas sini mungkin akan menyengkan, Raden memanjat pagar, "Baiklah. Dengan ini semuanya akan berakhir."

.

"Walaupun hidup seperti apa pun rasanya, teh. Kita harus tetap menjalaninya, atuh. Tuhan tidak akan memberikan sesutu jika tidak ada manfaatnya!"
.

Raden teringat perkataan Bik Suti waktu itu, dia mulai tenang akan situai seperti ini kalau ada sesuatu yang baik dibalik semua ini.

Perlahan dia turun dari pagar dan menjauh dari sana. Raden mengusap serta mengacak-acak rambut frustasi. Disaat seperti ini, Raden merasakan bagaimana memeluk gadis penakut itu. Dulu dia memeluknya untuk menenangkan dan sekarang dia membutuhkan pelukan itu darinya.

"Ah! Siapa lo sebenarnya?! Kenapa lo selalu berada dipikiran gue?!" Raden berteriak, bingung dengan semua pikiran tentang gadis itu.

Bagaimana pun juga. Raden harus mencari keberadaannya dan dia tidak mau tahu kalau gadis itu harus menjadi pacarnya.

Kejadian dua tahun lalu masih banyak meninggalkan keganjilan yang harus dia selesaikan sama seperti kejadian 12 tahun yang lalu dimana keluarganya kecelakan menyebabkan Ibunya meninggal.

Ternyata masih banyak yang harus dia lakukan sebelum meninggalkan dunia penuh kebosanan ini, hanya itu yang menjadi alasan Raden untuk tetap hidup.

Tidak ada mimpi karena dia tidak pernah bermimpi, seperti itulah Raden.

Dia kembali ke rumah, Raden melihat asap dari halaman belakang, pikirannya sudah tidak karuan, dia berlari kesana. Seseorang yang dari tadi dia cari sedang berdiri didepan tong menyala.

"Jangan dibakar, Bik!" Cegah Raden.

Bik Suti terkejut membuatnya menjatuhkan sobekan surat itu ke dalam tong dan dengan kejejap api melahapnya.

"Aden! Kunaon atuh jangan?! Aduh! Gimana ini teh?" Panik Bik Suti melihat surat itu sudah menjadi abu.

"Hampura Aden! Maap! Bibik kira teh surat itu sudah tidak penting lagi jadi bibik bakar, hanya ini yang tersisa." Bik Suti menyerahkan potongan surat yang belum terbakar sepenuhnya.

Raden mengambil potongan surat itu, "Bukan salah Bibik! Raden yang ceroboh."

"Memangnya itu teh surat naon isi nyak? Sangat penting?" Tanya Bi Suti.

Raden menatap sedih, "Sekarang memang tidak penting. Tapi suatu saat pasti berguna."

"Kata Bibik suatu kejadian tidak akan terjadi jika tidak ada manfaatnya 'kan? Sebab itu Raden menyimpan surat-surat ini." Lanjut Raden.

Bik Suti menatap Raden, "Ini teh bukan kali pertama Aden mendapat surat ancaman itu?"

Raden menoleh cepat, "Bibik membacanya?"

"Hanya sekilas dan itu sangat menakutkan, menurut Bibik teh gitu." Kata Bik Suti menatap takut.

"Surat ini sudah kesekian kalinya Raden terima. Awalnya Raden tidak perduli, kelamaan membuat Raden kesal dan marah." Gerutu Raden selama ini hanya dia pendam.

Taruhan [END]Where stories live. Discover now