Extra Part 3

560 36 40
                                    

Akibat main hujan kemaren, tubuh Raden terasa panas dingin sampai tidak bisa bangkit dari tempat tidur.

Mencoba tidur pun juga sangat sulit dilakukan. Saat memejamkan mata, rasanya panas dan tidak nyaman, tapi tubuhnya dingin.

Luvia melongo melihat kondisi Raden yang jauh dari kata baik baik saja. Cowok itu menyadari keberadaannya, obat yang dia inginkan sudah datang.

Kaki kecil Luvia melangkah menuju samping ranjang, tatapan Raden masih mengikuti sampai gadis itu duduk disamping tubuhnya.

"Kalau dibilangin itu nurut! Jangan keras kepala! Demam 'kan?!"

Bukannya menayakan kondisinya? Sudah makan atau belum? Atau perhatian yang sering seorang cewek katakan pada cowoknya. Tidak, tidak dengan Luvia yang langsung memarai Raden.

"Kenapa kamu gak mau diobati?!" Tanya Luvia tanpa basa basi.

Dia mendapat laporan oleh Bik Suti kalau Raden deman dan tidak mau diobati, itu membuat Luvia semakin marah.

"Kamu."

"Aku?" Luvia bingung.

Raden mengangguk, "Iya kamu. Aku hanya ingin kamu yang merawatku!"

Sebelum Luvia membuka suara, Raden sudah lebih dulu berkata, "Aku ingin egois!"

Luvia terdiam, pertanyaannya sudah ditebak beserta jawabannya. Tubuh Raden mengisut memeluk perut Luvia

"Aku kedinginan." Keluh Raden disela pelukannya.

Luvia membelai rambut Raden serta dahinya. Dahinya sangat panas, pacarnya ini harus segera di obati.

Tangan Luvia melepas pelukan Raden, cowok itu tidak mau dan terus mempererat pelukannya.

"Raden. Tubuhmu panas sekali." Kata Luvia menahan tangan Raden dipinggangnya.

"Tapi aku kedinginan." Keluh Raden kembali.

"Lepas dulu. Aku akan mengobatimu." Kata Luvia lembut.

Akhirnya Raden mau melepas pelukannya dengan mimik tidak suka. Dia menyandarkan punggungnya pada pinggiran ranjang.

"Berbaring Raden. Aku akan mengompresmu." Perintah Luvia membaringkan tubuh Raden.

"Kompres saja."

"Iya. Tapi kamu harus berbaring. Mana ada orang yang dikompres duduk? Adanya itu berbaring."

"Duduk saja."

"Tidak Raden!"

"Aku mau duduk." Luvia jangah dengan perdebatan ini.

"Dasarnya keras kepala dibilangin." Sindir Luvia menatap kearah lain.

Tidak ada yang menang kalau berdebat dengan Raden. Luvia mengalah dan menuruti kata cowok keras kepala itu.

Luvia menumpuk dua bantal lalu menempatkannya dibelakang punggung Raden.

Cowok itu menatap saat Luvia berusaha menciptakan tempat yang nyaman. "Agar kamu nyaman, Raden."

"Kenapa? Gak mau?!" Jutek Luvia menebak tatapan Raden.

"Galak amat! Aku belum membuka suara." Raden membenarkan punggungnya bersandar pada tumpukan bantal.

Luvia melirik sekilas lalu beralih dengan semangkuk kaca berisi air serta handuk kecil. Luvia memeras handuk itu setelah dia celupkan pada air lalu meletakannya pada dahi Raden.

"Tetap seperti itu. Jangan bergerak! Badanmu sangan panas." Raden mendonggakan kepala ke atas agar kompresnya tidak terjatuh.

"Iya, Sayang." Kata Raden menutup mata.

"Jangan merayuku atau aku akan memarahimu." Ancam Luvia membenarkan selimut Raden.

Setelah beberapa saat, Luvia mengambil handuk itu yang sudah menjadi hangat.

"Via." Panggil Raden tanpa membuka mata.

Luvia mencelupkan handuk itu kedalam air, "Hm."

"Mengenang masa kecil itu menyengkan." Kata Raden saat Luvia meletakan kembali handuk itu kedahi Raden.

Luvia menyadarinya, "Sangat menyenangkan."

"Terkadang, aku ingin mengulanginnya. Aku ingin kembali ke masa kecilku."

"Mengingat Papi dan Mami sangat sayang padaku. Dulu meraka tidak sesibuk sekarang, itu yang membutku ingin terus menjadi anak kecil."

"Anggap saja seperti kamu. Sampai demam karena main hujan." Luvia tertawa akan itu.

Dalam tutupan mata, Raden tersenyum mendengar perkataan Luvia. Gadis itu tahu karena tiba saatnya dia mengambil handuk kembali.

"Kenapa senyum?" Tanya Luvia aneh.

"Tidak. Aku sedang mengenang masa kecilku saja." Jawab Raden enggan membuka mata.

Luvia menempelkan handuk dingin ke dahi Raden, "Ceritakan. Aku juga ingin tahu bagaimana kamu waktu kecil."

"Pasti sangat nakal dan susah dibilangin. Besarnnya saja susah apalagi waktu kecil."

Raden tertawa kecil, "Kamu tidak salah. Dulu aku sangat nakal sampai Mama memanggilku anak nakal."

"Sudah kutebak." Luvia semakin gemes dengan Raden waktu kecil seperti apa.

"Mama memanggilku untuk mandi dan aku menurutinua. Ah! Aku memang nakal tapi aku sedikit penurut." Cerita Raden berhenti.

Luvia mengambil handuk dengan tatapan curiga, "Mencurigakan."

Raden bangkit dari sandarannya lalu menatap Luvia yang sedang memeras handuk. "Aku gak bohong. Waktu itu aku langsung mandi."

Luvia menyandarkan tubuh Raden kembali dan terua mengompresnya, "Mandi hujan 'kan?"

Raden tidak bisa mengelak, "Diluar hujan deras dan aku berlari ke taman belakang."

"Setelah itu kamu akan deman seperti ini?" Tambah Luvia akan cerita selanjutnya.

Raden melepas handuk itu lalu duduk dengan tegak menatap Luvia, "Anehnya nafsu makanku bertambah."

"Karena hujan hujan membuat perutku lapar." Luvia tertawa dengan akhir cerita Raden.

Gadis itu mengambil handuk di tangan Raden, "Lalu kenapa besarnya bisa demam?"

"Mungkin besarnya sudah ada yang memperhatikan." Ucap Raden menarik tangan Luvia lalu menggenggamnya.

"Walaupun ceweknya galak dan sangat jutek terbesit perhatian yang gak ada duanya." Luvia merunduk dikala itu, pipinya bersemi seperti biasa.

Raden tersenyum dan semakin menggenggam tangan Luvia.

"Terimakasih." Luvia menatap lembut

"Terima kasih sudah hadir dalam hidupku. Kamu itu bagikan pensil warna yang mewarnai hidupku yang suram. Terimakasih, Via." Ucap Raden lembut disetiap katanya.

Luvia tersenyum dan menggeleng pelan, "Jangan katakan itu. Dibandingkan dengan usaha kamu, ini tidak ada apa apanya."

"Aku yang justru berterimakasih padamu, Raden. Dari dulu sampai sekarang kamu selalu menolongku, bahkan sampai melukai dirimu sendiri." Tangan gadis itu mencangkup pipi Raden.

"Maaf." Kata Luvia pelan.

Gadis itu menatap kerah lain menyembunyikan kebodohonnya selama ini.

"Kedua kata itu berbeda maknanya. Pilih salah satu." Kata Raden menatap punggung Luvia yang membelakanginya.

"Kamu itu kebiasaan. Dari awal kamu sering mengatakan terimakasih lalu meminta maaf."

"Terkadang aku pusing menelaah perkataanmu." Raden menyandarkan kepalanya dipunggung Luvia.

Vialivi_Wdh





.
.
Uuuhhh...
Posisi yang romantis...

Pengen gak?
Via pengen....

Masih ada lagi...
Tetap lanjut dan tunggu yah...

See you...

Taruhan [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang