Kalian pernah merasakan gejala-gejala akan pingsan? Seperti itulah Aksa sekarang.

Aksa menangis. Iya. Satu persatu bulir air dari kedua mata jernihnya mulai berjatuhan. Jika biasanya Aksa benci dikasihani, kali ini tidak.

Aksa berharap dengan menangis, Frans akan berhenti berbohong. Berharap dengan memelas, Frans akan mengatakan bahwa berita yang sudah tersebar sejak pagi tadi hanyalah sebuah lelucon. Berharap dengan menunjukkan kelemahan, Frans akan mengasihaninya dan kembali menjadi Frans-nya.

"Becanda, kan?"

Frans lagi lagi menggeleng. Dengan wajah datar tanpa ekspresi dan mata tajam sejak lahir, Frans juga enggan angkat suara. Gerakan tubuh ia rasa sudah cukup untuk menjawab semua. Siapa sangka, jika dalam kedua saku celananya, tangan Frans terkepal begitu kuat tanpa alasan.

"Kamu bercanda." Aksa berusaha mengelak fakta. Mengulang pola kalimat yang ia gunakan pada Leon kemarin sore.

Kali ini bukan hanya gesture tubuh, Frans juga mengeluarkan suara berupa helaan nafas berat. Tangannya ia keluarkan secara perlahan. Lantas tiga detik kemudian sudah mendarat pelan di kedua bahu Aksa.

"Maaf kalo gue harus jujur. Tapi apa yang lo denger, itu semua bener."

Aksara menggigit bibirnya kuat-kuat. Menahan isakan. Yang nyatanya tidak berguna sama sekali.

Ketika sadar tidak akan ada yang jadi lebih baik dengan menahan isak, siswi kelas sebelas yang terlihat cukup berantakan itu cepat-cepat mengusap pipinya. Menghapus air lengket yang menjadi bukti bahwa sekarang Aksa sedang tidak baik-baik saja.

Ia tersenyum. Mencari sasaran lain untuk ditatap. "Oke," katanya. "Makasih udah dijawab."

Tidak ada respon yang ia terima dari pemuda amnesia itu. Padahal Aksa sangat sangat sangat berharap Frans akan memberikan penjelasan lebih lanjut. Ternyata tidak. Ia menertawakan dirinya sendiri.

Bodoh.

"Ngg, enggak ada yang mau kamu omongin lagi? Aku udah pusing soalnya. Kalo kelamaan berdiri bisa pingsan." Aksa masih berharap dengan beberapa kata terlalu jujur miliknya. Dan Frans masih tidak berminat memberi penjelasan.

"Iya udah. Kalo gitu aku mau ngomong dikit lagi, ya?"

Frans masih menatap datar tanpa respon. Menandakan bahwa dirinya siap mendengar ucapan Aksa berikutnya.

"Aku benci kamu."

Mata Frans membola. Ucapan teman sekelasnya ini benar benar di luar topik pembahasan. Refleks, Frans mundur satu langkah. Menjauhkan kedua tangannya dari bahu Aksa yang terkulai lemas. Dengan netra yang masih setia menyelami sepasang mata bening di hadapannya ini, Frans dibuat mematung.

Detik berikutnya, Aksa sudah mengambil langkah, tapi segera diurungkan oleh wanita itu. "Oh iya, Frans. Satu lagi, deh."

"Long last, ya!" Aksa menyumbangkan senyuman. Berusaha ikhlas.

Sungguh, dua detik setelah itu Aksa tak lagi kuat berdiri. Kesadarannya hilang di tengah tatapan belasan murid Lunar.

Kalau saja tangan Frans tidak sigap menangkap tubuhnya, bisa dipastikan kepala Aksa sudah terbentur pembatas balkon yang terbuat dari besi.

"Minggir, lo!" Nata terlihat sangat kesal. Merepotkan.

"Gue mau bawa dia ke UKS."

"Terus lo pikir gue mau bawa dia ke rumahnya Donald Bebek?" sarkasnya. "Pacar kesayangan lo itu masih di UKS. Mikir dikit kalo mau bawa Aksa ke sana," lanjutnya terlihat sangat geram. Padahal beberapa detik lalu masih cengengesan dengan monopoli kebanggaannya.

FRASA [✓]Where stories live. Discover now