50. Isn't about Jakarta

15.2K 2.4K 496
                                    

“Kenyataan emang hal menyakitkan yang mau enggak mau harus diterima.

️▪️▪️▪️

Beberapa hari sudah berlalu, Mili sudah mulai sibuk dengan dunia perkuliahannya. Mengerjakan setumpuk tugas dengan deadline yang sudah menunggu, beradaptasi dengan teman dan lingkungan yang sangat berbeda dari sebelumnya, mengerjakan tugas orientasi kuliah yang cukup menguras pikirannya. Semua itu memang cukup melelahkan, tetapi Mili tetap senang menjalaninya karena ia mengambil program studi yang sangat ia sukai dan minati.

Ia terlalu sibuk dengan dunia perkuliahannya, pikirannya begitu penuh dan suntuk sekarang.

Mili menghampiri Tante Kia seraya tersenyum. Tante Kia membalas senyuman Mili. “Mil, kenapa?”

“Tante, Mili izin ke luar sebentar ya? Kebanyakan ngerjain tugas, Mili belum sempet eksplor Paris.”

Tante Kia kembali tersenyum hangat ke arah Mili, tak lama kemudian ia mengangguk bertanda menyetujui permintaan Mili. “Iya, hati-hati tapi, jangan sampai nyasar ya?”

Mili mengangguk lalu berjalan menyusuri jalanan Paris. Ia tersenyum menatap setiap titik dari kota romantis ini.

Ia merasa bahagia bisa berada di kota impiannya, walaupun kini ia berjalan sendirian, tidak lagi berjalan beriringan bersama Arka yang biasanya selalu menemaninya. Ah, sudahlah, rasanya memorinya dengan Arka memang sudah seharusnya ditutup rapat-rapat.

Mili menatap langit biru Kota Paris seraya menghela napas panjang lalu menghembuskannya pelan-pelan.

Mili harap, ini keputusan terbaik yang ia ambil dan ia harap Arka akan berbahagia di sana.

Mungkin, memang ada kisah cinta yang tidak ditakdirkan untuk bersama. Mungkin, ada saatnya di mana pergi adalah jalan terbaik yang harus diambil.

Mata Mili menatap sebuah kafe dengan desain vintage yang ada di ujung sana, kafe itu mengingatkan Mili dengan Blurry Café. Entah apa yang menggerakan Mili, kini kakinya perlahan mendekati kafe itu. Membuka pintu kaca tersebut lalu berjalan mendekati meja barista yang kini tengah menuangkan kopi ke dalam gelas.

“Sorry, may i speak english?” tanya Mili. Mili memang belum terlalu mahir dalam berbahasa Prancis, masih ada beberapa hal yang harus ia pelajari. Untungnya, kampusnya menggunakan bahasa inggris sebagai bahasa pengantarnya, jadi Mili masih bisa memahami.

Lelaki itu tampak menganggukan kepalanya ke arah Mili.

“One glass of ice coffee, please?”

Barista itu tersenyum ke arah Mili. “Okay, just wait for a minute.”

Mili membalas senyuman itu lalu duduk di kursi yang terletak tidak jauh dari jendela. Ponselnya terdengar berdering, Mili mengambil ponsel tersebut di saku celananya. Ia tersenyum, ternyata ada panggilan video yang masuk dari Jovanka. Tak lama kemudian, Mili mengangkat panggilan video tersebut.

“Hai! Gue kangen banget sama kalian!” ujar Mili membuka pembicaraan.

Jovanka tampak bersama Aurel di sana, mereka melambaikan tangannya ke arah Mili.

“Woi, gimana lo di sana? Enggak diculik kan lo?” Suara Jovanka menyahut sapaan Mili.

Mili tertawa. “Ya enggaklah, emangnya lo pikir gue anak kecil yang bisa diculik?”

“Mil, gimana? Lo udah dapet gebetan baru? Lo pasti ngegebet bule yang ganteng-ganteng ya?” tanya Aurel, membuat Mili semakin terkekeh geli dan terbawa ke dalam obrolan dengan teman-temannya.

Broken Memories [Telah Diserieskan]Where stories live. Discover now