31. Too Hard

29.2K 3.1K 297
                                    

[Kalau bisa, bacanya sambil denger multimedia ya]

▪️▪️▪️

Keesokan paginya, jenazah Papa Mili dikuburkan di salah satu pemakaman yang ada di Ibu Kota. Kini yang dapat Mili lihat hanyalah sebuah gundukan tanah yang tak dapat lagi ia ajak bicara. Beberapa orang datang ke pemakaman ini, mereka terlihat mendoakan Papanya. Tatapan Mili masih kosong, air matanya juga masih mengalir di pipinya meskipun ia tak bersuara.

Disana juga ada Jovanka dan Aurel yang menemani.

Jovanka menepuk pundak Mili. “Gue yakin lo pasti kuat.”

Aurel tersenyum seraya mengangguk. “Jangan sedih terus ya? Lo nggak sendiri, lo punya kita.”

Mili mengangguk lemah, disana juga ada Ditto, namun Mili sama sekali tak menghiraukannya. Satu persatu orang yang datang pergi, kini hanya ada Mili, Melo, Vena—Mamanya, Tante Anggi, dan juga Arka.

Setelah beberapa lama, keluarganya juga ingin kembali. Namun Mili masih saja terdiam di tempatnya.

“Mil, ayo kita pulang,” ajak Vena.

Mili menggeleng. “Mama duluan aja.”

Melo menatap adiknya. “Mil, ayolah. Mau sampai kapan lo ada disini?”

“Duluan aja, gue bisa pulang sendiri.”

Melo menghela napas sejenak. “Mil, emang kalo lo terpuruk kayak gini Papa bisa balik lagi? Bisa nggak sih nggak usah kayak anak kecil?”

Mili tertawa miris. “Gue emang anak kecil yang nggak bisa apa-apa, nggak kayak lo yang bisa dibanggain semua orang.”

Tante Anggi tersenyum seraya memeluk Mili. “Nggak papa kalo kamu mau disini, kita pulang duluan ya?”

Lagi-lagi, mereka pergi dan meninggalkan Mili berdua dengan Arka.

Mengapa mereka bisa semudah itu melepaskan Papanya? Apakah mereka tidak bisa merasakan seberapa kehilangan dirinya akan Papanya? Mili tau ini tidak dewasa, Mili paham ini kekanakan, tetapi ini adalah hal paling berat yang harus Mili hadapi. Mili harus kehilangan seseorang yang paling mengerti dirinya, menerimanya tanpa banyak kata, dan selalu menerima apa adanya dirinya.

Arka menghela napas lalu duduk di samping Mili. “Kemarin, lo bilang lo mau bikin bokap lo bahagia.”

Mili menghela napas sejenak, ia meraup wajahnya lalu menatap Arka dengan tatapan sendu. “Ternyata gue nggak sekuat itu, Ka.”

“Gue nggak siap kehilangan bokap.” Air mata Mili kembali mengalir deras. Arka menarik napas lalu mengangguk.

Setelahnya, ia menarik Mili ke dalam dekapannya. Ia tak berbicara apapun, hanya membiarkan Mili menumpahkan air mata yang masih terpendam.

Setelah beberapa lama, isak tangis Mili berhenti. Ia menatap Arka sejenak lalu menatap makam Papanya seraya tersenyum lirih. “Maaf, Pa, Mili belum bisa bahagiain Papa.”

“Tapi Mili sayang sama Papa.”

“Mili pulang, Pa.”

▪️▪️▪️

Akhirnya Mili kembali ke rumahnya bersama Arka.

Beberapa jam berlalu dan sekarang sudah malam, namun sedari Mili kembali dari pemakaman Papanya, ia belum juga keluar dari kamarnya. Ia membuka sebuah kotak yang berisi foto-fotonya dengan Papanya.

Ia mengusap wajah Papanya, beriringan dengan itu semua kenangan yang telah ia lalui bersama Papanya melintas di benaknya.

Waktu itu Mili masih berusia 8 tahun, namun Mili sudah menyukai desain. Mili suka menggambar di kertas beberapa rancangan baju dan busana lainnya.

Broken Memories [Telah Diserieskan]Onde as histórias ganham vida. Descobre agora