46. A Feeling That Can't be Described

17.5K 2.6K 421
                                    

Percuma bertahan, jika yang didapat hanyalah luka.

▪️▪️▪️

Satu bulan sudah berlalu, seperti yang dikatakan Vena sebelumnya, Mili akan semakin dekat dengan Ujian Nasional. Ketika bel istirahat berbunyi, Mili bergegas menuju perpustakaan untuk mempelajari beberapa materi yang akan diujikan nanti. Mili tahu ia tak akan bisa untuk mendapatkan nilai sempurna seperti Melo, tetapi setidaknya ia sudah berupaya untuk Mamanya dan dirinya sendiri.

Ia pergi ke perpustakaan sendiri tanpa Jovanka dan Aurel karena kedua sahabatnya kini harus mengurus nilai seni budaya mereka. Mili berjalan menyusuri koridor perpustakaan, ia mulai berjalan menatap buku-buku yang tertata rapi di dalam rak. Matanya membola ke buku kimia. Perlahan, tangannya mencoba untuk meraih buku tersebut. Namun, ada tangan lain yang mencoba untuk mengambil buku tersebut.

Mata Mili membola ke arah sosok tersebut. Sosok itu juga tengah menatap Mili sehingga mata mereka bertemu untuk beberapa saat. Setelah itu, Mili membuang pandangannya dan melepaskan buku itu dari genggaman tangannya. Pemilik mata itu adalah Arka, Arka Narendra. Sosok yang Mili jauhi beberapa saat terakhir ini.

“Ambil aja.”

“Enggak usah, makasih.” Mili menggeleng lalu segera berjalan untuk keluar dari perpustakaan.

Mili berjalan menuju kantin, langkahnya terhenti di kedai siomay. Ia duduk di kursi yang disediakan. “Ibu, Mili mau siomaynya satu ya?”

“Iya, Neng Mili tumben sendirian aja?”

Mili tertawa. “Iya, Jovanka sama Aurel lagi mau ketemu guru dulu.”

Bu Mia, pemilik kedai siomay itu tersenyum seraya meletakkan satu porsi siomay pesanan Mili di atas meja. “Emangnya, Neng Mili enggak sama pacarnya?”

Mili tertawa. “Ibu enggak usah ngeledek deh, Mili kan enggak punya pacar.”

“Tapi saya calon pacarnya, Bu.” Suara itu membuat Mili memutarkan bola matanya malas. Iya, dia Ditto. Sosok yang dahulu menjadi dambaan untuk Mili Anindhita, tetapi benar jika Tuhan bisa membolak-balikan hati seseorang dengan begitu cepat. Kini, Ditto justru menjadi sosok yang sangat menyebalkan untuk Mili.

“Pesen satu juga ya, Bu!” Ditto lalu duduk di depan Mili, tersenyum menatap gadis yang tengah memakan seporsi siomay.

“Hai.” Suara Ditto membuat Mili menolehkan kepalanya, menatap Ditto dengan begitu malas.

“Ngapain sih lo di sini?”

Ditto terkekeh mendengar pertanyaan Mili. Sedangkan Mili justru semakin sebal dengan tingkah Ditto. “Mil, kantin kan tempat umum. Jadi, siapa pun juga boleh makan di kantin kali.”

“Ya tapi kan lo bisa duduk di kursi yang lain!” ketus Mili, “enggak usah duduk di sini.”

“Ini siomaynya.” Bu Mia memberikan siomay pesanan Ditto, lalu kembali berbalik ke kedainya.

“Lo kenapa sih ketus banget, Mil? Gue perhatiin juga, kayaknya lo lagi sedih akhir-akhir ini.”

Mili menarik napas kesal. “Bukan urusan lo juga.”

“Lo sedih kenapa? Lo sedih karena ucapan gue tentang Arka itu bener?” tanya Ditto yang seketika seakan menohok perasaan Mili. Kedua bola mata Mili langsung membola ke arah Ditto.

“Lo sedih karena sebenernya Arka cuma sekadar hutang budi sama keluarga lo? Karena selama ini lo cuma jadi beban buat dia? Karena sebenernya dia masih sayang sama mantannya?” lanjut Ditto lagi, membuat emosi Mili semakin menjadi.

Broken Memories [Telah Diserieskan]Where stories live. Discover now