29

307 35 6
                                    

Setelah menunggu lama, akhirnya Eyang Delina bangun dari koma. Tidak ada hal yang lebih membahagiakan bagi Zoya selain mendapati eyang kesayangannya sadar kembali. Buliran air mata tak henti-hentinya menetes. Genggaman erat tak sekalipun dia lepas dari tangan sang malaikat terbaik. Seukir senyum serta ekspresi penuh kelegaan tak henti-hentinya memudar dari wajah manisnya. Wanita tua ini, betapa Zoya sangat mencintainya lebih dari apapun.

Seukir senyum terbit dari wajah sang Eyang tercinta. Dia begitu merindukan cucu kesayangannya. Dia yakin kedua cucunya pasti sangat mencemaskan dirinya selama dia terbaring tidak berdaya. Pada Tuhan, dia hanya meminta satu hal selama sisa hidupnya. Dia meminta agar diberi kesempatan untuk hidup sedikit lebih lama lagi. Dia masih ingin merangkul kedua cucunya Zoya dan Satya. Dia juga ingin menyaksikan kedua cucunya nanti hidup dengan bahagia.

"Eyang.." Zoya menggenggam erat tangan Eyangnya seolah-olah tidak ingin melepaskannya.

"Kamu jelek kalau nangis begitu.." kata Eyang lirih. Dengan kekuatan yang dia miliki, dia dengan perlahan menyeka air mata Zoya.

"Zoya minta maaf karena selama ini Zoya tidak tahu kalau Eyang sakit. Bahkan Zoya meninggalkan Eyang di rumah. Harusnya Zoya merawat Eyang, ada disamping Eyang. Zoya merasa jadi anak yang buruk Eyang.."

Zoya begitu menyesali ketidaktahuannya tentang penyakit yang selama ini di derita Eyangnya. Dia bahkan tidak henti-hentinya menangis. Hal itu tentu saja membuat Eyang tidak enak hati. Dia tidak bermaksud menyembunyikan penyakit dari cucu-cucunya. Hanya saja dia tidak ingin membebani kedua cucunya dengan penyakitnya. Dia tahu bagaimana keadaan Zoya dan Satya selama ini. Maka dari itu, dia tidak ingin lagi menambah beban pikiran kedua cucunya.

"Maafkan Eyang..Maaf kalau selama ini Eyang tidak cerita. Sampai kapanpun kamu tetap cucu terbaiknya Eyang, bersama Satya...kalian berdua cucu terbaik yang pernah Eyang miliki. Jadi...berhenti menyesali diri kamu seperti ini..Eyang tidak suka.." Dengan nafas yang masih tersendat, Eyang mencoba menghibur Zoya.

Langkah kaki seseorang terdengar jelas dari luar kamar tempat Eyang dirawat. Dalam hitungan detik pintu kamar terbuka. Sosok pria berjas hitam dengan nafas yang ngos-ngosan serta peluh yang memenuhi wajah serta tubuhnya masuk begitu saja dan berjalan mendekati Eyang. Dialah cucu tertua Eyang Delina, siapa lagi kalau bukan Satya.

"Eyang, Eyang sudah sadar.." Satya menggenggam tangan Eyang Delina yang satunya. Terlihat jelas dari wajahnya kalau dia begitu menghawatirkan Eyang.

Eyang tersenyum menatap Satya. "Wajah kamu kenapa dekil begitu?"

Seperti anak kecil, Satya menggeleng dan mengecup tangan Eyang berkali-kali. Sama seperti Zoya, Satya juga menyesali ketidaktahuannya tentang penyakit Eyang. Sebagai cucu tertua, harusnya dia lebih memperhatikan Eyang, bukannya sibuk bekerja.

"Hei...kamu belum jawab pertanyaan Eyang..wajahmu itu kenapa?" tanya Eyang.

Satya mengusap tangan Eyang dengan sayang. "Apa yang Eyang rasakan sekarang?"

"Kamu jalan kaki kesini?" tanya Eyang tiba-tiba.

Satya tersenyum. "Eyang tidak usah memikirkan hal itu. Yang terpenting sekarang ini kondisi eyang. Eyang harus cepat pulih."

Zoya mengangguk setuju mendengar ucapan kakaknya, memang yang terpenting sekarang adalah kondisi kesehatan Eyang.

"Satya janji setelah ini akan lebih memperhatikan Eyang. Satya tidak mau lagi hal buruk terjadi sama Eyang. Satya janji.." Satya berucap dengan penuh keyakinan.

Eyang mengangguk lalu membalas genggaman Satya. Tidak lama kemudian Dirga dan Laren datang. Meski selama ini sibuk, Zoya bisa merasakan ada kelegaan yang terpancar dibalik wajah kedua orang tuanya, khususnya papanya.

Kin & Zoya [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang