"Liat deh! Pake jaket sama masker buat apa coba? Mau nutupin muka?"

"Atau engga, dia lagi pura-pura sakit. Biar dapet perhatiannya Leon kayak biasa. Dia kan kesayangannya cowok cowok sekolah."

Aksa berjalan menunduk. Menatap tugas prakarya yang sekarang memenuhi kedua tangannya. Aksa tau segerombolan siswi kelas IPS barusan tengah membicarakan dirinya. Bagaimana tidak? Hanya Aksa yang menggunakan jaket dan masker di pagi buta ini.

Pagi ini mendung dan lorong lorong kelas cukup sepi untuk dilewati seorang diri. Tidak seharusnya di jam ini siswa-siswi belum datang. Hanya ada beberapa yang baru datang, atau beberapa siswa  yang memandangnya aneh.

Aksa hampir saja berbelok ke kanan. Lorong terakhir sebelum sampai di depan pintu kelas XI IPA 5. Sesaat, langkahnya terhenti ketika netra bening Aksa menangkap sosok Sania di belakang tiang. Bersama..., Frans? Entahlah, Aksa tidak begitu yakin.

Dan di sudut koridor ini adalah gudang dengan bangku-bangku bekas bertumpuk. Rapi memang, tapi tetap saja. Namanya gudang pasti terkesan tidak terawat.

Dan Sania, ada di dalamnya.

Ia tau ini salah. Tapi kaki Aksa tidak mau diajak kerjasama. Gadis itu mendekat. Ingin rasanya mencari tau apa yang tengah Sania bicarakan dan dengan siapa.

"Kenapa?"

Aksa kenal suara itu. Sangat kenal. Tangan kanan Aksa yang memegang miniatur kapal di atas laut gemetar hebat. Haruskah mereka berbicara di tempat yang begitu tersembunyi seperti inj?

"Biar semua orang tau aslinya dia kayak gimana."

"Tapi nggak gitu juga caranya."

"Kenapa? Lo belain dia?"

Tidak ada jawaban yang Aksa dengar dari mulut Frans. Rambutnya yang diikat kesamping serasa menggelitik leher. Aksa merasa aneh. Tapi dia terus saja berjalan mendekat. Dengan bersembunyi di balik tiang dan diantara bangku-bangku yang bertumpuk, Aksa bisa lihat dari sini. Frans yang tengah bersandar di tembok sudut koridor. Sedangkan Sania berdiri di hadapannya dengan rambut tergerai.

"Jawab!"

"Bukan gue belain. Tapi gue rasa lo kelewatan. Kalau ada yang liat gimana?"

"Nggak bakal ada."

"Tetep aja, gue khawatir sama lo."

Aksa bisa mendengarnya. Sangat dengar. Bukan hanya kata, tapi kekhawatiran Frans memanglah sangat nyata. Dulu, Aksara selalu mendapati nada khawatir itu tertuju padanya. Seolah dunia Frans hanya tentang Aksa, Aksa, dan Aksa.

Sekarang, itu semua sudah tak lagi sama.

"Gue kemarin ngikutin lo."

"Kenapa?"

"Gue kecewa tau nggak, sih? Kita tiga hari nggak ketemu dan pas balik, lo inget kan sikap lo ke gue kayak gimana?"

"Maaf," ucap Frans. "Gue nggak bermaksud kayak gitu."

"Dan lo pikir gue nggak tau lo ke tempat itu ngapain? Gue kecewa, Frans. Gue kecewa lo lebih peduli sama dia daripada sahabat lo sendiri."

"Jadi itu alasan lo manipulasi foto di mading? Ngebuang semua pengumuman dari OSIS, dan ngeganti sama foto yang bikin heboh seantero sekolah?"

"Iya!"

Otak Aksara tidak memiliki cukup IQ untuk paham kemana arah pembicaraan mereka. Tangannya sudah tidak lagi gemetaran. Beberapa siswa siswi yang berlalu masih saja menatap Aksa aneh.

"Gue minta maaf. Gue beneran nggak bermaksud kayak gitu."

"Kasih gue penjelasan!"

"Apa?" Tanya Frans pura pura bodoh.

FRASA [✓]Where stories live. Discover now