CHAPTER 55

5.1K 260 20
                                    

Jangan lupa berikan vote dan tinggalkan jejak komentar. Oh ya, jangan lupa bagikan cerita ini ke teman-teman kalian!

Happy reading!

*****

Sudah sejam lebih aku menunggu di dalam ruangan rapat kantor kepunyaan Arthur, akan tetapi, rekan kerjanya, pria bernama Leandro, belum juga tiba. Tentunya aku di ruangan dingin ini bersama Arthur Napoleon, teman sekaligus rekan kerjaku.

"Berapa lama lagi aku harus menunggu?" tanyaku yang mulai bosan menunggu kedatangan rekan kerjanya Arthur, yang dimana juga merupakan calon suamiku.

Yeah, kontrak perjodohan kami belum di hanguskan. Jadi, aku dan Leandro masih terikat kontrak perjodohan. Dan tentunya, aku harus menyebutnya calon suamiku. Meski sejujurnya, aku tak mau.

"Apakah kau tak mempunyai makanan ringan?" tanyaku dengan lemas. Menunggu selama dan sebosan ini membuat perutku bergemuruh meminta asupan.

Arthur yang tengah membaca, langsung mengalihkan pandangannya dari kertas yang ia baca sedari tadi. Tatapannya terlihat datar. Dia membetulkan posisi kacamatanya yang mulai turun dan menghela nafas panjang.

"Ini ruangan rapat, Nona Moure. Tak mungkin aku menyimpan makanan disini," kata Arthur yang membuatku langsung mendesah kecil.

Jam berdetak dengan lambat. Beberapa kali mataku ingin tertutup, namun berusaha ku tahan. Angin yang dihembuskan oleh AC di ruangan ini membuatku ingin tertidur pulas.

Aku berdecak kesal. Kenapa rekan kerja alias Leandro, yang kami tunggu tak kunjung datang juga? Apa dia memang orang yang telat waktu? Rasanya ingin ku mencabik-cabiknya. Sampai tak tersisa.

Cklek.

Suara pintu di buka. Aku dan Arthur langsung bangkit dari kursi dan berdiri dengan bahasa tubuh yang sopan. Untung saja, aku dan Arthur duduk sebelahan. Bisa sulit bagiku jika menjauh darinya.

Seorang pria berparas tampan yang mengenakan pakaian formal berwarna hitam, memasuki ruangan bersama dua pria lainnya. Yang satunya berkepala botak, yang satunya berkumis tipis.

Biar ku tebak, dua orang ini adalah orang-orang yang pernah ku temui di acara ulang tahun teman Leandro tempo dulu. Aku hanya memandangnya sekilas.

Ya, pria itu merupakan Leandro. Dia datang bersama dua orang kantorannya dari Boston, Amerika.

"Selamat datang, Tuan Leandro. Senang bertemu dengan Anda!" sapa Arthur sembari mengulurkan tangannya, yang kemudian di sambut oleh Leandro. Begitu dengan dua pria lainnya.

"Ini asisten saya, Moure," ujar Arthur memperkenalkan diriku.

Aku tersenyum dan mengulurkan tangan. Leandro menyambut tanganku dan menggenggamnya dengan erat. Astaga, kenapa dia? Apa dia mengenaliku? Setelah cukup lama berjabat tangan, Leandro pun melepaskan tanganku. Kemudian dua pria itu membalas uluran tanganku. Aku menarik tanganku dan mengipas-ngipaskannya di bawah meja.

Kemudian, mereka pun membahas tentang masalah pekerjaan. Tentunya mereka membahasnya dalam bahasa Italia.

Oh ayolah, aku tak mengerti sama sekali bahasa itu. Bukan sama sekali tak mengerti, hanya saja, otak ku terlalu susah untuk menerjemahkan bahasa dalam waktu singkat.

Tahukah kau? Aku disini hanya sebagai pajangan. Aku tak mengerti sama sekali dunia bisnis. Hanya mengerti sedikit-sedikit saja. Aku berpikir dunia bisnis tak perlu ada di hidupku. Aku malas bergelut dalam dunia bisnis. Bukan malas, tetapi pusing.

Dua jam berlalu, mereka pun selesai membicarakan tentang bisnis yang akan mereka kembangkan kelak.

Ah, aku tak membantu Arthur dengan banyak, hanya saja sesekali menanggapi hal-hal sepele mungkin bagi mereka. Setidaknya, kebahasaanku masih ada tuturan yang sesuai dengan kamus bahasa.

"Terima kasih atas kerja samanya, Tuan Leandro. Saya sangat terhormat Anda mau bekerja sama bersama saya," ujar Arthur senang. Leandro hanya tersenyum tipis dan mengangguk sebagai balasannya.

Cih! Dasar manusia tak punya hati nurani. Pantas saja memilih menjadi seorang psikopat.

Leandro dan kedua anak buahnya pun pergi meninggalkan kami berdua di ruangan dingin ini. Entah kenapa setiap kali kulitku bersentuhan dengan suhu yang dingin, itu membuatku ingin segera membuang air kecil atau pun membuang kotoran.

"Aku akan ke toilet. Kau tunggulah aku di kafetaria depan kantormu," ucapku pada Arthur, tanpa menunggu balasan darinya.

Aku berlari keluar ruangan dan bergegas menuju toilet. Seiring perjalananku, sejumlah karyawan kantor menyapaku dengan ramah dan seperti biasanya juga, aku selalu membalas sapaan mereka. Well, mereka sadar siapa aku disini. Ah, sudahlah aku tak mau memikirkannya.

Sesampainya di toilet wanita, aku segera memasukinya dan mencari bilik yang kosong. Setelah mendapatkannya, aku segera masuk dan membuang semua kegelisahan yang telah menumpuk dan tersimpan di ujung tanduk. Ah, rasanya lebih lega.

Selesai itu, aku keluar dari dalam bilik dan melangkahkan kaki menuju wastafel. Aku mencuci wajahku serta tanganku. Polesan liptint tipis di bibir mungilku terlihat cocok dan sempurna. Aku menepuk-nepuk wajahku dengan spons untuk bedak. Yeah, karena bedak ku sudah luntur.

Ketika aku sedang menambahkan sedikit dandanan pada wajahku, pintu toilet tampak terbuka lalu tertutup kembali. Aku juga tak memikirkannya sebab aku tak peduli.

Ceklek.

Tunggu. Entah telingaku yang salah dengar atau emang betulan. Seseorang yang baru saja memasuki toilet wanita telah mengunci pintu toilet tersebut.

Sesaat itu juga, sebuah suara berjeniskan bass memasuki pendengaranku dan membuatku terkejut.

"Kau sudah besar rupanya sekarang, ya?"

****

To be continued.

MINE IS TERRIBLE [ END ]Where stories live. Discover now