CHAPTER 51

5.8K 237 6
                                    

Venesia, Italia.
10 tahun kemudian..

"Jadi, apakah naskahku bisa diterima?" tanyaku pada seorang pria berkacamata tanpa bingkai, yang kini duduk didepanku.

Aku dan pria kacamata itu saat ini sedang bertemu disebuah cafe kecil, yang ada di tengah kota Venesia. Kami telah bertemu sejak sejam yang lalu, membicarakan sesuatu yang banyak. Sebelum akhirnya aku memberikan sebuah map cokelat yang berisikan naskah ceritaku.

"Genre fantasi lagi?" tanya pria berkacamata itu sambil membetulkan letak kacamatanya. Ia terlihat fokus membaca kata demi kata, kalimat demi kalimat yang tertulis dalam kertas ditangannya.

"Aku lebih menyukainya, Arthur," ujarku memberi alasan.

Ya, nama pria berkacamata tanpa bingkai itu adalah Arthur. Dia lumayan tampan, walau tak memakai kacamata sekali pun.

"Apa kau tak berniat membuat satu naskah yang bergenre romantis, Moure?" tanya Arthur yang kemudian mengalihkan pandangan nya dari naskah ke wajahku.

Alih-alih menjawab dengan perkataan, aku hanya tersenyum dan menggelengkan kepalaku tanda tak berniat untuk membuat naskah romantis.

"Kau tau 'kan, kisah cintaku di Venesia selalu berakhir kandas dan menyebalkan?" Aku menyeruput teh hijau hangatku.

"Sudah bukan rahasia lagi," timpal Arthur.

Pria tampan itu melepaskan kacamatanya dan menaruhnya diatas meja. Bola mata birunya selalu menarik perhatianku, sejak awal kami bertemu.

Arthur sudah menjadi temanku sejak aku menginjakkan kaki di Venesia dari 10 tahun yang lalu. Dia selalu menjadi tempat berkeluh kesahku, selain Sakura dan Azkeh.

Selain itu, pria tampan yang selalu memiliki sorot mata yang dingin itu merupakan seorang penerbit buku. Namanya lumayan terkenal di kalangan penulis remaja.

Tetapi dibalik profesinya sebagai penerbit novel, Arthur adalah pria lulusan Universitas de Strasbourg, salah satu universitas terkenal dan beragensi di Perancis. Arthur berasal dari lulusan Hukum Politik. Ya, profesi utamanya adalah seorang pengacara dan profesi penerbit hanyalah pekerjaan tambahannya.

Maka sebab itulah aku selalu mengirim naskah padanya untuk diterbitkan dalam bentuk novel. Tentu saja aku membayar uang terbitnya. Hey, bukan berarti aku temannya, aku tak perlu mengeluarkan sepeser uang pun. Itu sangat licik sekali.

"Hey, Moure!" panggil Arthur yang kini sudah memakai kembali kacamatanya.

"Apa?" tanyaku.

Meski sudah lama tinggal di Venesia, tetap saja, bahasa Italia tak bisa ku kuasai secara menyeluruh. Aku hanya mengerti bahasanya tetapi susah untuk mengucapkannya dalam pembicaraan. Terdengar aneh bukan? Haha, tetapi memang seperti itulah diriku.

Ya, di Venesia, aku memiliki panggilan yang berbeda saat aku di Boston. Aku tak masalah dengan panggilan seperti itu. Justu kedengarannya lebih bagus.

Panggilan "Moure" untuk Venesia dan panggilan "Kaylie" untuk Boston. Ah, terdengar lucu.

Setidaknya dengan nama seperti itu dan perubahan pada penampilanku yang sudah beranjak dewasa saat ini, sedikit membuka lembaran baru. Istilahnya, aku seperti di update menjadi lebih bagus.

Dengan begitu, monster itu tak 'kan bisa melacakku sampai aku kembali lagi ke Boston.

Ya, monster itu.

Aku tak mau menyebut namanya. Terasa haram dilidahku jika menyebutkan namanya. Lagipula, perasaanku padanya sudah berangsur hilang. Dan, jika aku bertemunya lagi, aku takut akan menaruh perasaan lagi padanya.

MINE IS TERRIBLE [ END ]Where stories live. Discover now