8. Hitam Putih

1.3K 131 90
                                    

Bunyi derit pintu beradu dengan lantai membuat Veer memencingkan mata ke arah datangnya suara. Anjana masuk, berjalan gontai tanpa membalas tatapan Veer. Dia mendekati meja kecil disamping kiri ranjang. Meletakkan jaket dan handphone milik Veer.

Masih tak pedulikan tatapan Veer. Dia menarik kursi, duduk menyandarkan punggung.

"Apa yang kau lakukan di sini?" Akhirnya Veer bersuara. Menyadarkan Anjana bahwa ada makhluk yang terlihat di ruangan itu.

"Mengantar pasien dan menunggunya sadar." Anjana melipat kedua lengannya di belakang leher. Menghembuskan nafas perlahan. "Punggungku sampai sakit gara-gara angkat beras sekarung." sindir Anjana.

"Terima kasih!" untuk sekian kalinya ucapan itu keluar dari mulut Veer untuk Anjana. Sejak kecil sampai sekarang.

"Hm." Jawab Anjana sambil mengetuk-mengetuk lantai dengan ujung sepatu.

"Sejak kau datang, ruangan ini terlihat seperti tuts piano."

"Ha?" Anjana menghentikan ketukan sepatunya dan menatap Veer untuk pertama kali sejak masuk di ruangan.

"Iya. Dandanan kamu yang serba hitam bertemu dengan klinik ini yang serba putih seperti tuts piano." Veer tertawa mengejek.

"Dasar bodoh, saat-saat seperti ini dia masih bisa tertawa?" Batin Anjana. Raut wajah Anjana tidak bisa menyembunyikan lengkungan kecil tergaris di bibir. Anjana tersenyum.

"Jangan ganggu Oryn lagi." suara Veer lebih merendah. Tak ada emosi lagi yang tersirat di antara kalimat itu.

"Aku sudah melepaskannya sejak tadi kau membuat kekacauan di atas panggung." "Aah bukan tadi tapi kemarin," sanggah Anjana saat mengintip jam hitam di lengannya sudah pukul 00.00 AM.

"Maaf!" Tambah Anjana.

"Kau menganggu Oryn, apa karena kau dendam padaku sejak kejadian itu? Sungguh kau salah paham Anjana!"

"Cih! F**k! Aku tak ingin membahasnya." Umpat Anjana.

Anjana tiba-tiba berdiri dari kursi. Membelakangi Veer. Memutar tubuhnya ke arah pintu.

"Saat kau diikat dan aku memukul Zelo. Aku melihat Hagel berdiri tepat dibelakangmu yang sedang terikat. Hagel memegang pisau yang akan ditancap dipunggungmu Anjana! Jika aku tidak mengikuti permainan Zelo. Pisau itu sudah benar-benar tertancap." Teriak Veer.

Langkah Anjana berhenti. Dia kembali memutar tubuhnya ke arah Veer. "Maksudmu apa? Permainan apa maksudmu?" Anjana mengernyitkan alis. Pupil matanya membesar.

***

-Flashback-
Veer POV

Waktu itu jam pulang sekolah. Aku berlari sekencang-kencangnya setelah mendapatkan telpon ancaman dari Zelo.

Aku tiba di gedung kosong yang tak jauh dari gedung SMA. Cat tembok yang sudah kusam tercampur coretan sana sini. Lantai penuh puntung-puntung rokok dan botol minuman keras. Gedung kosong ini setahuku selalu dipakai anak muda untuk nongkrong-nongkrong yang tak jelas.

Aku belum melihat Zelo bersama geng. Hinggah akhirnya terdengar suara umpatan dari Anjana. Sial! Akan kubunuh mereka! Aku melepaskan dasi abu-abu dan mengikat pada kepalan tangan. Kemudian berlari menaiki tangga menuju lantai dua.

Tiba di sana benar sesuai dugaanku. Zelo tak pernah main-main dengan ancamannya. Sejak SD Anjana sudah dibully oleh Zelo. Kini aku melihat tubuh Anjana penuh memar dan darah. Mereka mengikatnya pada kursi. Aku berlari kearah Zelo meninju rahangnya. Namun tiba-tiba Zelo tertawa.

"Sudahlah Veer, kita sudah selesai syuting. Tidak usah berakting!"

"Maksudmu apa brengsek! Lepaskan Anjana sekarang jika kalian ingin hidup." Aku berteriak, saking kencangnya, urat-urat pada leher, dahi dan samping pelipis mata begitu jelas terukir.

Anjana yang tadinya tertunduk lemas hinggah darahnya meleleh lolos melewati dagu. Kini mengangkat wajahnya menatapku. Dia tersenyum senang karena dia tahu aku datang menolongnya.

Namun, aku tak menyangkah ada skenario lain yang dibuat mereka. Mataku menangkap hagel berdiri di belakang Anjana yang sedang terikat. Hagel memegang pisau. Tangannya mengarahkan pisau tepat di punggung Anjana.

Deg!

Aku membelalak kaget. Kaku sekujur tubuhku. Sedang Anjana yang tak tahu apa yang sedang terjadi di belakangnya masih saja melemparkan senyum padaku.

Zelo mendekat. Membisikkan sesuatu.

"Ikuti alur permainanku, maka aku tak akan menganggu Anjana lagi."

Aku masih berdiri kaku. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan sekarang. Untuk sementara aku akan mengikuti permainan Zelo.

"Terima kasih Veer! Sudah berpura-pura bersahabat dengan Anjana. Kamu memang kaki tangan terbaik. Kerja bagus Veer!"

Tiba-tiba Zelo berucap keras, sengaja agar Anjana mendengar. Sekarang aku mengerti. Inikah permainannya? Baik, aku memang bodoh dalam hal berakting. Tapi kali ini aku harus lolos casting agar pisau itu tak tertancap dipunggung Anjana.

"Sama-sama Zelo. Anjana terlalu bodoh, berpikir bahwa aku mau berteman dengannya. Lihatlah akhirnya, dia berada di gedung ini karena kebodohannya." Aku tertawa dan kuusahakan tawa itu senatural mungkin. Walapun dadaku sesak rasanya seperti pisau ditangan Hagel itu sudah tertancap dihatiku. Sakit.

Aku menatap kearah Anjana yang kebingungan. Dia mengucapkan namaku. Walaupun tak terdengar suaranya karena tak berdaya lagi untuk mengeluarkan suara setelah dipukul berulang kali, aku tahu mulut itu melafalkan kata "Veer". Setelah itu, dia membuang muka dariku. Dada ini makin sesak.

"Lihat kan? Kau pikir setelah meninggalkan kami semua di panti asuhan dan mengikuti mereka yang mengadopsimu, kau bisa bahagia dan memiliki semuanya? Orang tua, teman, pakaian, hidup yang mewah. Kau bisa menikmati makanan apa saja setelah kau pergi dari panti, tapi kami masih terus harus berbagi sepotong roti pabrik yang sudah kadaluarsa. Dan kau-"

Suara Zelo tertahan. Aku melihat matanya berkaca-kaca. Dari kata-kata Zelo tadi, aku akhirnya tahu asal usul Anjana dan alasan Zelo yang jahat sejak kecil pada Anjana. Tapi bukannya semua orang berhak bahagia kan? Ah sudahlah, pertama-tama Anjana harus keluar dari sini dulu.

Aku mendekati Zelo. Menagih janji ucapannya tadi.

"Aku sudah selesai berakting, mana janjimu?"

Zelopun menyuruh Hagel dan dua orang sahabat lainnya untuk bebaskan Anjana.

Sejak saat itu, Anjana tak lagi mendekatiku. Aku seperti orang asing baginya.

***

"Duduklah, akan kuceritakan semuanya." kata Veer.

Rasa Oryn Veer (SELESAI) Where stories live. Discover now