"Tap-" Marissa menggantungkan kalimatnya ketika merasakan sentuhan Viny di tangannya. Ia langsung menatap Viny. Gelengan kepala Viny memberi isyarat agar ia tidak membantah keinginan Kinal. Akhirnya Marissa mengangguk pelan tanpa berani membantah sedikitpun. Sebisa mungkin ia akan memahami apa yang Kinal rasakan saat ini, Kinal sedang memikul kesedihan yang sangat besar.

"Jangan khawatir. Ve udah nikah sama orang lain, aku gak mungkin ganggu dia lagi." Sekali lagi, rasa sakit itu berdenyut dengan keras di dada Kinal ketika disadarkan oleh kenyataan bahwa Veranda sudah resmi menjadi milik orang lain.

Marissa mengusap lembut puncak kepala Kinal, "Dua minggu sekali Mama ke Garut buat cek keadaan kamu. Kamu jaga diri baik-baik ya."

Kinal mengangguk tanpa menatap Marissa. Perlahan, ia memejamkan mata sampai cairan yang sedari tadi menggenang di bola matanya jatuh perlahan membasahi pipi. Kinal menangkupkan sepasang tangan di wajah. Dadanya naik turun pertanda ia sedang berusaha menahan isak tangis itu. Rasanya ia ingin berteriak keras, mengungkapkan rasa sakit dan kesedihannya pada semua orang. Namun, ia tidak bisa. Kinal tak ingin membebani Veranda dengan air matanya. Jika ia tidak bisa bahagia, setidaknya ia bisa melihat orang yang ia cintai bahagia.

Viny berbalik, bersiap untuk melangkah, tetapi terhalang oleh Shani. Matanya bergetar menatap kekasihnya itu, ia menggeleng pelan seolah tengah mengatakan ia tak bisa melihat keadaan Kinal yang seperti ini.

Shani mengusap cairan yang baru saja jatuh dari sudut mata Viny. Setelah itu, ia mendekap erat tubuh Viny. Viny menggigit bibir bawahnya dengan kuat, berusaha menahan tangisannya agar tidak terdengar oleh Kinal.

"Jangan nangis." Shani berbisik pelan lalu mengecup pipi Viny.

"A-aku mau masuk." Veranda yang sebelumnya sedang memperhatikan Kinal dari luar, kini beralih pada Fauzi. "Boleh?"

Fauzi menatap Veranda selama beberapa detik. Wajah Veranda tampak memerah, pun dengan matanya. Gadis itu, tengah menatapnya penuh harap. Hati Fauzi nyeri melihat Veranda. Di saat semua orang berbahagia di hari pernikahannya, Veranda malah merasakan kesedihan yang teramat besar. Fauzi merasa sangat bersalah meski ia tau, ini keputusan yang terbaik untuk Veranda.

"Setelah ini, Papa gak akan izinin kamu ketemu Kinal."

Dengan berat hati Veranda mengangguk kemudian masuk ke dalam ruangan Kinal. Pandangannya langsung tertuju pada Kinal yang sedang menghapus air mata ketika melihat keberadaannya di sini. Percuma saja air mata itu dihapus, Veranda masih bisa melihat kesedihan itu dari tatapan mata Kinal. Kinal tidak bisa menyembunyikan apapun darinya.

"Aku pengen ngobrol berdua boleh gak?" tanya Veranda pada Marissa, Viny dan Shani. Mereka hanya mengangguk kemudian berjalan pergi meninggalkannya dengan Kinal.

"Aku baik-baik aja." Kinal memaksakan senyumannya pada Veranda.

"Bohong."

"Aku bahagia liat kamu bahagia."

"Bohong."

"A-aku sakit." Kinal tak bisa menahan air matanya lebih lama lagi. Dalam satu kedipan saja, air mata itu turun membasahi pipinya.

"Aku lebih sakit!" Veranda memukul dadanya yang terasa sangat perih. Menikah dengan orang yang tidak ia cintai dan melihat orang yang paling ia cintai menderita, rasa sakit apalagi yang lebih besar dari ini?

Veranda maju satu langkah dan segera menarik tubuh Kinal ke dalam pelukannya. Isak tangis mereka langsung terdengar seakan tengah berlomba siapa yang paling keras. Mereka hanya diam, saling memeluk dan menikmati pelukan itu untuk yang terakhir kalinya karena mereka yakin, setelah ini tidak ada lagi pertemuan. Semua kebahagiaan mereka hanya tinggal kenangan, takdirnya untuk berduka telah tiba sekaligus menjadi akhir dari kebahagiaan itu.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Mar 17, 2018 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

CintaWhere stories live. Discover now