I Was My Asensiorekta, Arc 08

57 15 0
                                    

Itu... Bohong kan?

"Petunia...?" Gumamku pelan, tak percaya. "Kau..."

Petunia menangis, menangis dan terus menangis, menitikkan air mata. Senyum gila di bibirnya sayu dimakan waktu. Dia tertunduk, pasrah. Rambutnya yang tak normal meringkuk lemas. Tak ada kata-kata yang keluar selain isakan belaka.

"Aku... tak tahu apa yang terjadi..." Dia masih terisak "Semuanya... terjadi begitu saja..."

"Tenang, tenang!" Splendid mendekat, mencoba merangkul Petunia dengan lengannya yang pincang. "Ceritakan detailnya perlahan saja..."

"Detail apa... darimana...?" Petunia bingung "Apa yang harus kuceritakan...?"

"Semuanya, Petunia. Apa yang sudah kau sembunyikan dari kita...?" Jawab Splendid

"Aku menyembunyikan sesuatu? Aku..." Dia kebingungan "Aku tak ingat"

"Kau tidak ingat?" Tanya Splendid lagi "Menga-"

Aku cepat-cepat menarik kerah jaket pemuda itu kebelakang, dia terhentak jatuh, mengaduh kesakitan. Dia setengah berteriak padaku "Apaan sih!?"

"Jangan dekati dia! Petunia... Petunia adalah..." Aku tercengang "Dia adalah Anak Ularnya!"

"ANAK ULAR!?" Semprot Splendid "Jangan konyol, Petunia itu kawan kita! Dia bukan penjahat!"

Tentu aku ingin berpikir begitu... Tapi... Tapi...

"Petunia... yang membunuh Mr.Lumpy... Toothy, Mr.Sniffles, dan yang lain... semuanya adalah kau, bukan? Kau yang melakukan kejahatan...?"

"Hoi, Flippy! Jangan ngawur! Sekali lagi kau bilang begitu, kutinju kau!" Teriak Splendid, diserobot dengan perkataan Petunia.

"Tidak! Dia benar, Splendid... meskipun tak seluruhnya. Diantara seluruh kasus, akulah yang membunuh Mr.Lumpy dan Mr.Sniffles... Lalu aku pulalah juga yang telah membunuh Handy..."

Matanya melirik jenazah sang kekasih. Terbujur kaku, muram, tak bergerak sedikitpun. Gelombang kegelapan, rasa terpuruk menyelimuti kami. Seolah tenggelam dalam kegelapan, suasananya begitu mencikik. Kami susah bernafas. Dipenuhi oleh putus asa yang mendalam. Lidah kami terkutuk kaku, tersegel dalam kegundahan tiada tara. Hanya terdiamlah yang kami lakukan saat Petunia mulai angkat bicara.

"Akulah anak ular generasi selanjutnya..." gumam Petunia lirih

"Sejak kapan, Petunia! Sejak kapan kau menjadi pengikutnya!?" Aku maju, dipenuhi kekecewaan.

"Aku tak tahu..."

"Mengapa kau membunuh ayah Flaky!?" Aku melangkah kedepan, suaraku makin meninggi

"Aku tak tahu..."

"Mengapa kau juga membunuh Mr.Sniffles!?"

"Aku juga tak tahu..."

"Mengapa kau membunuh pacarmu, juga mengkhianati kita semua!? Kau membunuh ayah Flaky, juga membuatnya menderita! Padahal dia sahabatmu! Flaky percaya kau adalah sahabatnya! Aku juga percaya padamu sejak kau bilang aku tak pernah membunuh orang! Tapi mengapa... kini kau justru menjadi pembunuh...?" Kucengkram pundaknya erat-erat

"AKU JUGA TIDAK TAHU!!" Petunia menjerit "KAU PIKIR AKU MAU MENJADI PEMBUNUH! Semuanya terjadi begitu saja, begitu tiba-tiba! Entah sejak kapan, aku mulai melepaskan ular dari kandangnya... aku mulai menaruh ular-ular itu kedalam jok mobil... aku tak mempedulikan keselamatan Giggles, Cuddles, maupun Flaky jika misalnya mereka ikut menumpang. Yang kurasakan saat itu hanyalah hampa..."

"Begitu pula dengan kejadian Mr.Sniffles, kepalaku gelap ketika dia hendak menembakku... tiba-tiba saja Handy datang menolong. Dia melompat dan menerjang Mr.Sniffles dari belakang. Kurasa Mr.Sniffles sudah curiga aku 'Anak Ular' bahkan sebelum diriku mengetahuinya... saat Handy membantingnya keluar mobil. Jariku mengambil pistol di kursi lalu... DOR" Petunia berhenti, memperagakan suara pistol

I Was My AsensiorektaOnde as histórias ganham vida. Descobre agora