Before The Day Least : Selagi Hari Terang

72 12 1
                                    

Selagi hari masih terang, empat orang berkemas-kemas. Yang paling terlihat tingkat kesibukannya adalah Flaky. Ada saja barang keluar masuk dari kopernya. Satu masuk, satu dikeluarkan lagi. Begitu sudah tertata, dia dengan rempongnya memporak-porandakan susunan barang tersebut bertebaran di lantai demi memastikan apa ada barang yang tertinggal. Dan kali ini, sudah mencapai lima kali dia melakukan hal yang sama.

"Apa aku sudah memasukkan sisir!??" Jeritnya panik, tangannya dengan kacau membongkar koper kembali.

"Stop, ketombe, stop!" Petunia turun tangan, menghentikan pergerakan jemari Flaky "Kamu menaruhnya di saku"

Flaky terdiam, menengok ke sakunya. Kemudian dia nyengir "Hehe, makasih"

"Sini, biar aku yang beresin. Kamu gak usah ikut beres-beres apa-apa, ntar bikin lama packingnya" Petunia yang cekatan segera membenahi perlengkapan Flaky yang maha-menakjubkan. Dia memasukkan panci kedalam koper, sungguh tidak berfaedah.

"Nanti buat aku masak Telur goreng Oncom lagi, jadi gak repot" Flaky membela diri

"Oncom-oncoman itu bisa diatur, tapi ya jangan dimasukkan koper keleuss.." Petunia makin bete ketika menemukan tiga set peralatan masak dimasukkan kedalam koper secara beringas oleh Flaky.

"Hoiii... cewek-cewek, sudah selesai belum beres-beresnyaa!!??" Seru Splendid dari bawah tangga, suaranya terdengar hingga kamar.

"Sebentar lagi...!!!"

Mereka sibuk, hari ini Flaky akan pindahan. Tidak hanya Flaky; Flippy dan Splendid ikut serta dalam pindahan tersebut, rumah mereka masing-masing akan ditinggalkan oleh penghuninya, lalu mereka akan tinggal seatap.

"Aku tak bisa mengurusi rumah besar ini jika sendirian, apalagi ditambah adik-adikku..." Curhat Flaky tanpa diminta. "Mendingan rumah ini dijual saja... Harganya lumayan... Juga gak usah pusing dengan pajak"

"Aku paham kok, kamu pasti pusing dengan pajak. Urusan masak mie aja masih gosong" Sindir Petunia bertahan dengan ke-bete-annya.

"Seandainya saja ayah tidak meninggal, pasti... pasti..." Flaky menatap rumah besar bercat putih tersebut. Kenangannya, kenanangan keluarga masa lalu, gaya rumahnya, seberapa tinggi tiang-tiang dan ukiran ornamen tidak membentuk yang dikoleksi Mr.Lumpy membuatnya terkenang. Apalagi dapur pribadi kesayangan Flaky, yang sudah tak terhitung berapa kali meledak.

Mr.Lumpy tewas akibat kecelakaan lalu lintas. Kota ramai memuat beritanya dalam koran.

Adik-adik Flaky, saat ini hanya luka ringan dan dirawat di rumah sakit terdekat. Mereka masih bisa makan dengan gembira. Tapi sudah menjadi rahasia umum bahwa Mr.Lumpy dipatuk Ular' Kesaksian bahwa hewan melata tersebut ada sangat jelas, bahkan hewan tersebut ditemukan melingkari Mr.Lumpy saat sosoknya diangkat oleh petugas keselamatan.

Petunia memandangi Flaky, tak ada yang bisa menebak perasaannya. Perempuan bodoh itu hanya tersenyum, memandangi rumahnya dalam beberapa saat. Dia yang paling sedih saat Mr.Lumpy meninggal, tapi paling cepat menerima keadaannya pula. Petunia menilai Flaky itu sangatlah tegar.

Petunia saja masih sumringah menerima kenyataan tersebut, tapi Flaky sudah ikhlas. Wajahnya tak memiliki penyesalan sedikitpun.

"Untung aja Dokter Sniffles mau memberikan kita penginapan untuk tinggal. Agak jelek sih, tapi biarlah... ketimbang hidup mewah tapi susah" Flaky membawakan Petunia apel merah yang sudah dikupas.

"Wah, tumben perhatian" Petunia memakan satu, dan terasa anyir. Petunia melihat jemari Flaky yang dikelilingi banyak hansaplast. Dia sudah berusaha.

Mungkin sebagai teman yang baik, Petunia harus menghiburnya. Setidaknya berusaha memakan apel 'berdarah-darah penuh perjuangan' buatan Flaky cukup. Pasti dia berusaha keras memotong apel itu hingga jarinya terluka sana-sini. Kasihan.

I Was My AsensiorektaWhere stories live. Discover now