"Kita punya Cindy, Shan," ucap Kinal yang sedari tadi diam, tak bergerak sedikitpun dari tempatnya.

"Cindy biar aku sama kak Viny yang urus." Shani menepis tangan Viny di bahunya kemudian menatap Kinal yang tiba-tiba saja berdiri dengan tatapan meruncing ke arahnya. "Apa? Kamu mau marah? Aku gak takut!"

Kinal mengantup matanya sejenak berusaha meredakan emosinya. Bagaimanapun juga saat ini ia sudah bukan anak SMA, tidak seharusnya ia menyelesaikan masalah dengan emosi apalagi yang dihadapannya kini adalah adiknya sendiri.

"Kalian udah bersama selama bertahun-tahun, kalian hidup bahagia bersama, sedangkan aku sama kak Viny pisah. Kalian bisa ketawa bahagia sementara aku cuma bisa nangis. Sekarang, kalian masih gak mau ngalah?"

Veranda menggeleng membayangkan jika nanti ia yang harus berpisah dengan Kinal. "Aku gak bisa, Shan. Untuk masalah ini aku gak bisa ngalah."

"Kalo gitu kenapa kalian pulang?!" Shani kembali berteriak keras membentak kedua kakaknya itu. "Harusnya kalian gak nampakin diri lagi di depan kita semua kalo akhirnya kalian misahin aku sama kak Viny! Tanpa kalian, aku bisa nyelesein masalah aku sendiri! Kalian harusnya gak pernah kembali!"

"Shani!" bentak Viny lalu menarik tangan Shani agar kembali menghadap ke arahnya. Mata Shani terlihat berapi-api, gadis itu sangat emosi, Viny tau itu.

"Mereka egois, kak!" Shani menepis kasar tangan Viny kemudian melirik ke arah Veranda dan Kinal yang masih sama-sama meredam emosinya. "Mereka egois," desis Shani lalu berjalan cepat meninggalkan ruangan itu.

Fauzi menahan tangan Vina yang hendak menghampiri mereka berempat. "Gak usah dipisahin."

"Mereka berantem." Vina menatap Fauzi.

"Mereka akan bertengkar, saling memenangkan diri sendiri dan akhirnya mereka akan memutuskan untuk sama-sama berpisah karena itu yang paling adil." Fauzi tersenyum pada Marissa dan Vina yang menatapnya bingung. "Mereka gak akan bisa bahagia di atas penderitaan sodaranya."

"Jadi ini rencana kamu?" tanya Marissa tak percaya. "Gimana kalo akhirnya mereka punya keputusan sendiri? Salah satu dari mereka harus kita nikahkan."

"Aku terima apapun yang akan mereka putuskan, tapi menurut aku mereka akan sama-sama memilih untuk berpisah." Fauzi tetap percaya diri dengan rencananya dan ia berharap rencana itu berhasil. Entah kenapa ia masih tidak ikhlas jika salah satu dari putrinya menikah dengan seorang perempuan.

Tiba-tiba sebuah tepukan mendarat di kaki Fauzi. Fauzi menunduk, alisnya berkerut melihat seorang gadis kecil yang sedang menatap ke arahnya. Fauzi langsung menatap Vina, "Dia-"

"-Iya." Vina mengangguk pelan tanpa membiarkan Fauzi melanjutkan ucapannya. Gadis kecil itu ia ketahui bernama Cindy, anak angkat Veranda dan Kinal.

"Kakek," panggil Cindy tersenyum lebar lalu merentangkan kedua tangannya.

"Hay, cantik." Dengan cepat Fauzi mengangkat tubuh Cindy ke dalam gendongannya. "Siapa yang nyuruh kamu manggil saya kakek?"

"Oma." Cindy menunjuk pada Marissa.

Fauzi tersenyum lebar, "Pinter," komentarnya lalu memberikan satu kecupan lembut di pipi Cindy. Setelah itu, ia memeluk erat tubuh Cindy. Ingatannya tiba-tiba saja melayang kepuluhan tahun lalu saat Veranda masih kecil, gadis itu sekarang sudah makin dewasa bahkan berani membangkang kepadanya demi sebuah perasaan yang bernama cinta.

"Aku gak dikasih makan sama Bunda." Cindy memeluk leher Fauzi kemudian menyandarkan kepalanya di bahu kakeknya itu. Cindy tidak berani menghampiri Veranda atau Kinal, meski tak mengerti masalahnya, Cindy tau keadaan sedang tidak baik.

CintaWhere stories live. Discover now