"Aku udah cukup bahagia dengan kamu dan Cindy. Tolong, kita pergi dari sini." Veranda menyentuh lembut bahu Kinal yang bergetar dari belakang.

"Aku bukan pengecut," desis Kinal setelah mengumpulkan semua keberaniannya. "Ini udah waktunya kita pulang, aku bakal minta restu sama orang tua kamu."

"Kalo mereka gak ngasih restu?!" Suara teriakan Veranda menggelengar. "Gimana kalo Mama sama Papa jauhin aku dari kamu?!!!"

"Itu akan jadi hari terakhir hati aku hidup," jawab Kinal pelan. "Apapun yang akan terjadi, seenggaknya aku udah ngebuktiin sama diri aku sendiri kalo aku mampu jadi penjaga kamu dan aku bisa ngadepin kerasnya Papa kamu meskipun akhirnya aku gak bisa dapetin apa yang aku mau."

"Aku gak mau!" Veranda memeluk erat tubuh Kinal dari belakang, kepalanya terkulai lemas di bahu tegap Kinal. "Tolong, Kinal. Aku mohon sama kamu, puter balik mobilnya."

Kinal menggeleng mantap kemudian membalikan tubuhnya menghadap Veranda. Ia menangkupkan sepasang tangannya di pipi Veranda, ibu jarinya mengusap lembut air mata yang sudah menganak sungai di pipi Veranda. "Percaya sama aku, ya? Kamu selalu bilang aku pahlawan kamu, aku jagoan. Jadi jangan raguin keberanian aku. Kita masuk ke dalam tanpa rasa takut sedikipun, percaya kalo kita akan tetap berjalan di tempat yang sama dan mengukir kebahagiaan bersama."

Bola mata Veranda bergetar, menatap wajah Kinal yang sangat meyakinkan. Dengan berat hati ia mengangguk pelan lalu menarik tubuh Kinal ke dalam pelukannya.

"Jangan berantem, Cindy takut."

Kinal terbelalak karena baru menyadari keberadaan Cindy yang duduk di jok belakang. Kinal mengusap punggung Veranda yang masih bergetar lalu menatap pada Cindy yang sedang memeluk lututnya sediri dengan wajah yang ditenggelamkan di sana. Kinal tersenyum, kedua bidadarinya kini tengah bersembunyi dengan dua ketakutan yang berbeda. Entah sebesar apa rasa sakit yang akan Kinal rasakan jika ia kehilangan mereka berdua, Kinal tak ingin membayangkannya.

"Ih, Boy lama banget sih nyebelin," gumam Shani pelan menghentak-hentakan kakinya berkali-kali.

Dirasa bosan menunggu kekasihnya yang tak kunjung datang, Shani memutuskan berjalan menyusul Boy ke arah lantai dua. Matanya menatap sebal dua orang pria bertubuh kekar yang berjaga di bawah tangga. Siapa sebenarnya yang akan bertunangan ini? Kenapa pengawalannya sangat ketat seperti pertunangan pejabat besar? Shani berdecak kesal lalu mengeluarkan undangan berwarna emas yang menunjukan bahwa ia salah satu tamu penting di acara ini.

Dua orang pria itu perlahan bergeser, menyisakan ruang untuk Shani melangkah. Shani berjalan cepat menaiki anak tangga yang dilapisi oleh karpet merah satu persatu. Matanya lagi-lagi menyelusuri sekeliling, kemewahan gedung ini masih terlihat sampai ke lantai dua meski sepertinya lantai dua hanyalah ruang untuk keluarga beristirahat. Di sini terlihat sangat sepi, tidak ada orang yang berlalu lalang.

Langkah Shani yang sebelumnya cepat kini semakin lambat ketika melihat punggung seorang gadis yang sedang berdiri. Punggung itu bergetar, gadis berambut pendek itu sepertinya tengah menangkupkan sepasang tangan di depan wajah. Detak jantung Shani tiba-tiba saja terpompa sangat cepat saat langkahnya berhenti tepat di belakang gadis itu. Tubuhnya membeku, ia tidak bisa bergerak sedikitpun saat daun telinganya dilesaki oleh suara isak tangis yang sangat ia kenali.

Mulut Shani terbuka hendak memanggil namanya. Namun entah kenapa tenggorokannya seperti tercekat, suaranya hanya sampai di ujung lidah dan tak mampu ia ucapkan dengan lantang padahal selama ini ia sangat merindukan nama itu terucap dari bibirnya. Mata Shani mengantup sejenak berusaha menetralisir rasa sesak di dadanya karena rindu yang seakan meraung keras ingin segera disampaikan pada pemiliknya. Dengan tangan bergetar, Shani menyentuh lembut bahu itu.

CintaOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz