"Kamu ganteng banget," puji Shani menatap Boy kemudian tersenyum sangat manis.

Untuk beberapa detik Boy mematung melihat senyuman Shani juga kedipan matanya yang bergerak sangat lambat, sangat mempesona. Boy tersenyuk kikuk lalu mengangguk pelan, "Kamu juga cantik."

"Iyaaa." Shani mempererat rangkulannya dan menatap risih pada beberapa orang yang masih belum berhenti memandanginya. Namun meski begitu, Shani tetap memasang wajah tenang dan berjalan anggun menyelusuri karpet merah yang tergelar sangat panjang.

"Kamu mau tunggu di sini atau ikut aku ke lantai atas?" Boy menghentikan langkahnya di meja VIP yang hanya boleh ditempati oleh keluarga dekat. Kebetulan Gio sudah mempersiapkan kursi itu untuknya.

"Aku di sini aja deh," jawab Shani sambil meraih minuman yang sudah disediakan lalu meneguknya sedikit. Ia masih belum duduk karena sibuk memandangi sekeliling, entah kenapa matanya tak bisa berhenti melihat-lihat setiap sudut ruangan ini yang terlihat sangat mewah.

"Tunggu ya? Aku gak lama kok." Boy langsung berjalan menghampiri sahabatnya ke lantai dua tanpa menunggu jawaban Shani selanjutnya.

"Kinal," seru Veranda tepat saat pintu mobil terbuka. Dadanya bergemuruh hebat, keringat dingin muncul di pelipisnya. Keraguan itu mulai muncul, mengikis keyakinan yang sudah ia bangun selama seminggu terakhir ini.

Kinal memahami apa yang Veranda rasakan saat ini karena ia pun merasakan hal yang sama. Tangannya dengan cepat menggenggam tangan Veranda dan menatapnya dalam. Kinal mengangguk pelan berusaha meyakinkan Veranda, tetapi Veranda membalasnya dengan gelengan kepala. Kinal mempererat genggamannya, menatap Veranda seakan menanyakan 'kenapa?'

"A-aku takut." Suara lirih yang terdengar sangat bergetar itu lolos dari bibir Veranda. Mata Veranda berkaca-kaca menatap Kinal, berharap Kinal akan memutar balik mobilnya dan pergi meninggalkan kota ini. Entah kenapa sesuatu yang aneh melingkupi perasaan Veranda saat ini, sesuatu yang sukar Veranda jelaskan lewat lisan. Namun detak jantungnya yang bergemuruh cepat cukup menunjukan bahwa perasaannya tidak enak, Veranda mengkhawatirkan sesuatu.

"Kita pasti bisa pulang tanpa harus kehilangan apapun." Kinal tersenyum berusaha menguatkan Veranda kemudian mengusap lembut pipinya. Satu ciuman lembut, ia berikan tepat di dahi Veranda.

"Kita gak tau apa yang akan terjadi di dalam, Nal. Setelah seribu cara mereka lakuin buat misahin Viny dan Shani, kamu pikir mereka akan ngasih kita restu?"

Tangan Kinal bergetar dalam genggaman Veranda membayangkan jika orang tuanya masih akan tetap berusaha memisahkannya dengan Veranda.

"Buat sampai di titik ini gak gampang, Kinal. Kita harus merangkak dari awal dan sekarang, setelah kita mampu buat berdiri, aku gak mau kita berjalan ke tempat yang berbeda." Cairan yang menggenang dipelupuk mata Veranda akhirnya jatuh menyelusuri pipinya dengan perlahan. "Jangan pernah bilang ini adalah kepulangan kita berdua karena cuma kamu rumah aku. Aku gak akan mampu buat tinggal di satu rumah tanpa kehadiran kamu di dalamnya. Tolong ngertiin ketakutan aku."

"Kita turun sekarang." Kinal melepaskan genggaman Veranda kemudian membuka pintu.

"Kinal!" bentak Veranda memandang punggung Kinal yang malah membelakanginya di saat ia sedang mengucapkan sesuatu. "Tolong ngertiin ketakutan aku, perasaan aku gak enak."

Kinal mengatur nafasnya yang tiba-tiba saja tersengal tanpa tau apa alasannya. Ketakutan melingkupi perasaannya saat ini, keyakinannya ikut hilang karena keraguan yang sudah Veranda lontarkan. Tanpa sadar setitik cairan jatuh di sudut matanya ketika bayangan perpisahan itu datang. Jauh sebelum Veranda mengatakan itu, Kinal sudah mengetahui bahwa mereka berdua akan berjalan di tempat yang berbeda jika tetap memaksakan diri untuk masuk ke dalam. Bagaimanapun juga, kerasnya Fauzi dan Marissa tidak akan pernah bisa Kinal hancurkan.

CintaWhere stories live. Discover now