"Nal, leher Viny merah tuh." Veranda menghentikan tawanya dan menatap Kinal dengan tatapan menggoda.

Kinal memudarkan tawanya lalu membalas tatapan Veranda sedikit takut karena jika Veranda sudah menunjukan tatapan itu, Kinal tau permintaan apa yang akan terlontar dari bibir Veranda. Kinal menunjukan cengirannya sambil perlahan mundur untuk menjauhi tubuh Veranda yang semakin mendekat ke arahnya.

"Ma-mau apa?" tanya Kinal sedikit menahan nafas saat wajah Veranda hanya berjarak beberapa centi dari wajahnya. Ia bahkan bisa merasakan embusan nafas Veranda menerpa wajahnya dengan kasar. Ludah Kinal tertelan, jantungnya berpacu cepat menatap dua bola mata hitam pekat yang sedang memusatkan perhatian pada bibirnya. "Ve ak-hhhh."

Mata Kinal terpejam ketika merasakan bibir Veranda mulai menjamah bibirnya dengan lembut. Aliran darah Kinal memanas saat itu juga, kedua tangannya langsung melingkar di pinggang Veranda. Mulutnya sedikit terbuka, menyambut kedatangan lidah Veranda ke dalam sana.

Veranda melepas ciumannya sebentar kemudian tersenyum tipis melihat mata Kinal yang masih terpejam karena sentuhannya. Ia meraih tengkuk Kinal dan kembali menautkan bibirnya dengan bibir Kinal. Sesekali desahan lembut lolos dari bibir Veranda saat merasakan hisapan Kinal di lidahnya.

"Teteh punten!!"

"Argh!" Veranda mundur dua langkah kemudian meremas rambutnya frustasi karena lagi-lagi suara pemuda itu mengganggu kesenangannya bersama Kinal.

"Sabar." Kinal mengusap lembut wajah Veranda dari atas sampai bawah kemudian tersenyum manis. "Aku keluar dulu ya."

"Aku ikut, ah." Veranda merangkul lengan Kinal dan melenggang dengan anggunnya ke arah pintu untuk mengetahui maksud dari kedatangan Dimas untuk apa.

"Teh, punten ngaganggu." Dimas tersenyum sopan saat Kinal membuka pintu rumah.

"Teu sawios, aya naon?"

"Teh, kersa dipiwarang teu?"

"Bade miwarang naon?"

"Indonesia oi," ucap Veranda memutar malas bola matanya.

"Ini 'kan waktu kita ke Kota kalian ketemu sama pacar saya. Nah dia cemburu, takut saya ada hubungan yang lebih serius sama salah satu dari kalian. Bisa tolong dijelasin gak lewat telfon?" Dimas melebarkan senyumannya seraya mengangkat ponsel yang baru ia beli itu pada Kinal.

"Jadi lo ke sini cuma buat itu? Astaga!" Veranda meremas wajahnya dan berdecak kesal. Jika kedatangan Dimas penting dan darurat, mungkin ia tidak akan sekesal ini karena Dimas sudah mengganggu paginya yang nyaris saja indah.

"Namanya juga anak muda." Dimas menaik turunkan kedua alisnya.

'Padahal lagi pengen' ucap Kinal dalam hati. Diam-diam ia juga menyimpan kekesalan yang sama pada Dimas. Namun dengan sempurna, ia menyembunyikan kekesalannya itu dan memutuskan untuk membantu Dimas. Tidak enak juga jika menolak, selama ini Dimas sudah banyak membantunya.


Setelah menyelesaikan masalah kecil Dimas, Kinal mengajak Veranda dan kedua adiknya yang baru selesai mandi untuk sarapan bersama. Sesekali Kinal tersenyum tipis mendapati wajah Viny yang terlihat masih tegang, apalagi tak jarang Kinal melihat Viny dan Shani saling pandang bingung karena takut.

"Lucu ya," bisik Veranda menahan tawanya sekuat tenaga melihat Viny dan Shani yang terus menunduk. Biasanya mereka berdua tidak berhenti bicara jika sedang berkumpul seperti ini.

Kinal berdehem pelan sambil mengangguk. Sama seperti Veranda, ia juga sedang dengan susah payah menahan tawanya yang mungkin saja akan membeludak jika Viny dan Shani tidak ada di sini. Mereka seperti seorang maling yang ketahuan mencuri, ada-ada saja, pikir Kinal.

CintaWhere stories live. Discover now