"Kamu bilang kapan-kapan 'kan waktu ngajak aku ke Garut?" Viny meneguk ludahnya melihat tatapan dingin Shani yang sudah berubah menjadi sedikit tajam. "Kok secepet ini?"

"Aku mau liat hasil panen petani itu mumpung dia baru aja panen kemarin. Aku udah izin sama Mama kamu kok."

"Iya, Mama udah kasih izin." Tiba-tiba Marissa datang dari arah luar dengan membawa tas kerja di tangan kanannya. Ia tersenyum ketika Anggara mencium punggung tangannya.

Shani diam, tenggelam dalam kebingungannya melihat semua ini. Siapa sebenarnya pemuda tampan berkacamata ini? Kenapa bisa terlihat sangat dekat dengan Marissa dan Viny? Shani mengusir pertanyaan yang mengelilingi pikirannya dan buru-buru duduk di samping Boy.

"Kita ikut, yuk?" ajak Shani memeluk lengan Boy. Sepertilah ini sikap yang selalu ia tunjukan jika sedang meminta sesuatu pada Boy. Tampak sangat manja tetapi juga menggemaskan di mata Boy.

"Garut di Indonesia 'kan? Jawa Barat?" tanya Boy pada siapapun orang yang mau menjawabnya. Ia memang berasal dari Indonesia tapi saat umurnya menginjak lima tahun, ia dipindahkan ke Wina jadi ia tidak begitu mengetahui kota di Indonesia.

"Iya, Bro," jawab Anggara, "lo ikut aja, ceweknya udah ngerengek gitu masa gak diturutin?"

"Tapi itu jauh banget, Shan. Kamu mau bolos Sekolah berapa hari?"

"Aaak aku mau ikuut kakak." Shani menarik-narik lengan Boy seperti anak kecil yang sedang merajuk ingin dibelikan es krim pada Ayahnya.

"Ikut aja, ongkos sama makan biar gue yang bayarin." Anggara benar-benar antusias ingin teman barunya itu ikut bersamanya. Karena jika dipikir-pikir memang kurang enak juga pergi hanya berdua bersama Viny, apalagi ke tempat yang jauh seperti ini.

"Ya udah iya, kita ikut." Boy mengacak puncak kepala Shani dengan gemas. Sementara gadis itu langsung memeluk tubuhnya dari samping sebagai ucapan terima kasih dan ungkapan kebahagiaannya karena diizinkan untuk ikut.

Melihat itu, Marissa mencuri pandang pada Viny untuk sekadar melihat ekspresi wajah putrinya itu dan menelisik apakah raut wajah Viny terlihat kesal atau tidak. Namun ternyata Viny malah tertawa memandangi sikap manja Shani pada kekasihnya. Marissa menghela napas lega, satu persatu kecurigaan mulai lenyap dari pikirannya. Ia berharap Viny dan Shani benar-benar sudah mengakhiri hubungannya.

"Makasih ya, Angga," Viny menggenggam tangan Anggara, "karna udah mau ajak adik aku."

Tubuh Anggara tiba-tiba saja membeku melihat senyuman dan merasakan telepak tangan Viny yang halus menyapa tangannya. Susah payah, Anggara meneguk ludahnya lalu menjawab ucapan itu dengan nada yang terdengar sangat gugup, "I-iya sama-sama."

"Ya udah aku beres-beres dulu ya." Viny melepaskan tangan Anggara kemudian berbalik dan kembali berjalan ke arah kamarnya.

***

Kinal memandangi Veranda dengan bibir mengerucut. Hari ini, bidadarinya itu enggan masuk sekolah. Masalahnya hanya karena obrolan sekilas siang kemarin selesai Kinal masak, di mulai dari Veranda yang mempertanyakan kapan Kinal melamarnya dan berakhir diperdebatan panjang karena Kinal tak punya jawaban apapun untuk itu. Kinal hanya memikirkan bagaimana cari uang yang banyak untuk memasukan Veranda ke Universitas yang paling bagus dan untuk menikah, ia sama sekali belum mempunyai bayangan apapun.

Kinal dengan terpaksa tidak ke kebun hari ini karena Veranda masih tak mau membuka suaranya. Gadis itu hanya duduk mematung dengan pandangan lurus ke depan tanpa melakukan apapun, ponselnya pun tidak ia sentuh sama sekali.

"Ve." Kinal menyentuh lembut bahu Veranda tapi dengan cepat Veranda menggeser posisi duduknya menjauhi Kinal hingga tangan Kinal terhempas ke bawah. "Ah, kamu masih marah?"

CintaWhere stories live. Discover now