"Dia orang yang aku cintai." Viny menatap Gio kemudian tersenyum lebar. Namun sorot matanya masih memancarkan kesedihan dan kerinduan yang tidak bisa terbaca oleh siapapun. Kecuali orang yang ada dihadapannya ini. "Aku pernah janji buat gak ninggalin dia, aku janji bakal selalu bikin dia bahagia. Dia seneng banget, saking bahagianya dia peluk aku di depan umum, dia cium aku, seolah menunjukan sama semua orang kalo dia orang yang paling bahagia saat itu." Viny meringis ketika pandangannya sedikit tersamarkan oleh cairan yeng memenuhi bola matanya. Sebentar lagi, air mata yang berusaha ia sembunyikan pada semua orang akan jatuh.

Gio masih diam, membiarkan Viny melanjutkan ceritanya. Nafas Viny sedikit tersenggal, bola matanya bergetar, dadanya naik turun.

"Tapi aku ninggalin dia." Luruh sudah air mata yang berusaha ia pertahankan agar tidak jatuh. "Dia mohon supaya aku gak pergi tapi aku tetep tega ninggalin dia." Viny mengantup matanya lalu membuang pandangannya ke depan. Ia menekan dadanya berusaha meminimalisir rasa sakit itu tanpa hasil.

Gio bangkit dari tempat duduknya lalu berlutut di depan Viny yang terus menghapus air matanya dengan kasar meski cairan itu tidak mau berhenti mengalir dari matanya. Gio menangkap ke dua tangan Viny, "Percuma," ucapnya pelan menatap ke dalam mata Viny. Sekarang ia tau apa penyebab dari rasa sakit Viny selama ini.

"Sini." Tanpa memaksa Viny melanjutkan ucapannya, Gio menarik tubuh Viny ke dalam pelukannya. Membiarkan bahunya terisak di bahunya.

"Aku kangen dia, Gi. Aku pengen meluk dia lagi, aku pengen liat senyuman dia." Viny mencengkram baju Gio berusaha mengalihkan rasa sakit yang menghujam dadanya tanpa henti, "Kenapa sakit banget?" Viny meluapkan rasa sakit untuk pertama kalinya pada Gio. Punggungnya bergetar hebat, cukup menunjukan bahwa Viny terisak sangat keras.

Gio mengusap lembut punggung Viny. Dalam hati ia berjanji akan mencari tau siapa pemilik cinta Viny dan akan membuat mereka bersatu, apapun alasannya. Menurutnya tidak ada yang lebih menyakitkan selain melihat orang yang ia sayang terluka apalagi menangis sampai separah ini. Maka dari itu, ia berjanji akan mengembalikan semua kebahagiaan Viny.

***

"Shani, dari mana kamu?!" tanya Fauzi berteriak keras saat melihat Shani masuk ke dalam rumah dengan seragam karatenya. Ia melirik jam yang sudah menunjukan pukul sepuluh malam.

"Karate," jawab Shani singkat tanpa menatap Fauzi yang berjalan menghampirinya. Akhir-akhir ini ia memang sering pulang malam, ia pergi ke Perpustakan atau ke tempat karate. Berusaha menyibukan diri agar terlepas dari kesedihan yang mengikat hatinya sepeninggalan semua orang yang ia sayangi. Rasanya, rumah ini sangat asing bagi Shani.

"Karate jam segini?!" Fauzi masih tidak menurunkan nada bicaranya. Ia menatap wajah putrinya yang dipenuhi oleh keringat. Fauzi tau, Shani pulang menggunakan sepeda. Putrinya itu selalu menolak menggunakan mobil atau motor.

"Aku capek, Pah." Shani meremas kasar wajahnya kemudian mengambil langkah. Namun lagi-lagi Fauzi menahan langkahnya. "Aku mau tidur."

"Besok Papa gak akan izinin kamu ke Sekolah pake sepeda lagi."

"Hal sekecil itu aja, Papa yang ngatur?" tanya Shani mengangkat kepalanya menatap Fauzi dengan nafas yang tersenggal-senggal. "Aku mau ke Sekolah naik sepeda, itu urusan aku," ucapnya tegas.

"Kamu berani ngelawan sama Papa sekarang?!"

"Tampar aku!" Shani mencondongkan pipinya ke arah tangan Fauzi yang tiba-tiba saja terhuyung, "bunuh sekalian! Aku hidup atau mati udah gak ada bedanya," desis Shani.

"Mas udah, ah." Vina yang mendengar pertengkaran kecil itu langsung menghampiri Shani kemudian merangkul pundaknya, "kita ke kamar sekarang."

"Aku capek, Mah." Shani meringis lalu melepaskan rangkulan Vina di bahunya. Matanya masih lurus menatap wajah Fauzi yang sudah memerah karena emosi, "Gara-gara Papa kak Ve pergi!"

"Dia anak pembangkang makanya dia pergi dari rumah ini! Papa cuma mau yang terbaik buat kalian!" Fauzi memijat pelipisnya yang berdenyut hebat karena sudah sangat pusing dengan sikap Shani yang akhir-akhir ini sulit diatur.

"Terbaik?" Shani tersenyum miring, matanya sudah berkaca-kaca. "Liat aku, apa sekarang aku baik-baik aja? Aku bisa senyum? Ketawa? Ngga 'kan? Itu yang Papa bilang terbaik?" Shani menengadahkan wajahnya berusaha menahan cairan yang melinang di bola matanya. "Aku kehilangan kakak aku sendiri, aku kehilangan orang yang aku cintai. Mana mungkin aku bisa baik-baik aja?" Shani kembali menatap Fauzi. Air mata itu akhirnya luruh, membasahi pipinya dengan perlahan.

"Jangan pernah bilang kalo dia orang yang kamu cintai! Menjijikan!"

Shani mengantup matanya, kalimat Fauzi seakan berubah menjadi sebilah belati yang menusuk ke dalam dadanya, sakit. Shani membuka mata bersamaan dengan setetes air mata yang kembali mengalir dari matanya.

"Aku emang menjijikan! Aku gak peduli sama penilaian Papa!" Satu tamparan benar-benar mendarat di pipi Shani setelah mengucapkan itu.

Shani memegangi pipinya sendiri, tangannya bergetar memandangi Fauzi yang tengah menatap nanar tangannya sendiri tak menyangka bahwa ia sudah melukai putrinya sendiri.

"Papa gak akan pernah ngerti sebesar apa rasa sakit aku kehilangan orang yang Papa benci itu. Aku gak bermoral? Menjijikan? Iya, aku bahkan gila!" Shani sudah tidak bisa lagi menahan emosinya, "hati aku udah mati sekarang! Papa cuma liat anak bungsu Papa bernafas tapi dia sama sekali gak hidup!" Shani langsung berjalan cepat meninggalkan Fauzi yang terpaku karena ucapannya.

Shani membantingkan pintu kamar lalu memandang pada figura foto Veranda, Kinal, Viny dan dirinya sendiri yang diambil saat Viny berhasil menjadi juara ke 2 Anggar. Shani langsung mengambil figura itu kemudian membantingkannya ke dinding hingga pecah.

"Kenapa kalian tega ninggalin aku di sini?!" Tangis Shani pecah, ia bersandar lemas di dinding lalu terduduk seketika karena lututnya sudah tak mampu menopang berat badannya. Shani menutup matanya lalu menekan kuat dadanya sendiri yang terasa sangat sakit. "Kalian semua egois," gumamnya sambil terus menekan dadanya itu berharap rasa sesaknya menghilang.

Tiba-tiba tubuhnya tertarik ke dalam dekapan seseorang. Shani menangis sejadi-jadinya di sana karena tidak sanggup lagi menahan semua kesedihannya.
"A-aku mau pergi, Mam. Aku gak mau ketemu sama Papa dulu."

"Cukup kakak kamu yang bikin hati Mama hancur, Shan." Vina memeluk erat putrinya yang sudah terisak-isak. Tangan Vina bergetar, hatinya tersayat-sayat mendengar tangisan Shani yang kian menjadi.

Shani bangkit dari duduknya lalu menatap Vina dengan mata yang sudah memerah, "Aku mau pergi dari rumah ini, aku mau pindah sekolah! Semua hal yang ada di sini cuma bisa ngingetin aku sama kak Viny, Kak Ve, Kak Kinal!"

"Kita kirim dia ke Austria." Fauzi ternyata sedari tadi berdiri diambang pintu kamar Shani, "biar dia tinggal sama tantenya di sana."

"Mas," Vina menatap Fauzi sendu seakan mengatakan ia tidak siap jika harus berjauhan dengan satu putrinya lagi.

"Shania pasti bisa didik Shani di sana. Anak kecil ini bisa kabur kaya kakaknya kalo tetep di sini." Fauzi menatap Shani dengan tegas lalu keluar dari kamarnya.

Shani tak peduli dengan keputusan itu, sekalipun Fauzi mengirimnya pergi ke Negara paling jauhpun ia tidak akan peduli. Hatinya sudah mati, sakit yang bersemayam di sana sudah mampu melumpuhkannya. Shani bergerak lalu menghempaskan tubuh di kasur tanpa berniat berganti baju atau mencuci wajah seperti biasanya.

"Aku mau tidur sendiri," ucap Shani membelakangi ke dua orang tuanya itu.

Vina hanya bisa menatap nanar punggung Shani yang bergetar pertanda gadis itu kembali menangis. Ia mengembuskan napas kasar kemudian berjalan ke luar kamar dengan langkah lemas. Kebahagiaan sepertinya sudah tidak ingin lagi berpijak di rumah ini. Veranda sudah pergi entah ke mana, begitupun dengan Shani yang sebentar lagi akan meninggalkannya.

CintaWhere stories live. Discover now