"Papa denger kamu bolos dari sekolah berkali-kali, kenapa? Kamu gak mau naik kelas?" tanya Fauzi tegas menatap putri bungsunya.

"Kak Ve udah Papa cari?" Bukan menjawab, Shani malah melontarkan pertanyaan itu.

"Papa lagi gak mau bahas kakak kamu."

"Tapi itu yang bakal jadi jawaban atas pertanyaan Papa!" Shani meninggikan suaranya lalu menatap Fauzi. Bola matanya bergetar siap meneteskan cairan yang menunjukan betapa sakitnya kehilangan. "Aku selalu inget kak Ve, kak Kinal sama kak Viny di Sekolah. Aku inget tiap istirahat kita selalu makan bareng di kantin, ketawa-ketawa. Tapi sekarang aku sendiri!" Dahi Shani berkerut berusaha menahan tetesan air mata berikutnya.

"Jadi kamu gak mau belajar cuma karna kamu kehilangan mereka bertiga?!"

"Cuma Papa bilang?!" Shani berdiri dengan satu gerakan lalu menggeleng pelan, menatap Fauzi tak percaya.

Tak lama, Shani langsung berjalan keluar rumah tanpa mendengarkan teriakan Fauzi yang menyerukan namanya dengan lantang. Shani tak peduli, rasa sakit di hatinya hanya akan bertambah jika mendengar semua ucapan Fauzi yang menyakitkan. Sudah cukup ia memikul rasa sakit karena kehilangan ini, ia tidak sanggup jika harus menerima rasa sakit dari pertengkarannya dengan Fauzi yang akhir-akhir ini sering terjadi.

Sepeda Shani berhenti di sebuah taman yang jaraknya cukup jauh dari rumah. Lagi, ia tidak pergi ke Sekolah. Sekolah hanya akan menambah rasa sakit yang ia derita karena semua kenangan tentang mereka bertiga, selalu membayangin ke manapun ia melangkah. Shani tidak peduli jika pada akhirnya ia dikeluarkan dari Sekolah atau tidak naik kelas.

Shani menyimpan tasnya di kursi kemudian duduk di sana. Ia menggenggam erat botol minuman di tangannya, memandang kosong ke depan. Berharap tempat ini bisa mengistirahatkan semua rasa lelah dan sakitnya.

'Aku adalah angin, yang akan menyejukan tubuhmu di saat panas. Aku adalah bulan, yang tidak akan pernah membiarkanmu tenggelam dalam kegelapan. Aku adalah senja, tidak peduli berapa waktu yang aku miliki untuk menghiasi hari-harimu, aku akan selalu hadir. Aku adalah awan, untuk memberikanmu kesegaran dan melepas semua dahagamu dengan hujan, aku rela mengorbankan diriku sendiri'

Nafas Shani tertahan ketika mengingat kalimat yang pernah Viny ucapkan. Ingatan itu membawa rasa sakit dan secara otomatis Shani mengepalkan tangannya berusaha menepis ingatan itu agar hatinya tidak lagi mengecap rasa sakit yang sama.

Aku ingin bernafas tanpa rindu di dalamnya. Namun rindu ini seperti borgol yang melingkar di hatiku, semakin berusaha melepaskannya, aku malah semakin tersiksa oleh ikatannya yang kian mengerat.

Coba urai rindu itu satu persatu, kamu hanya akan menemukan namamu sendiri di sana, bertengger seperti dinding kokoh yang tak bisa runtuh meskipun waktu sudah membuatnya usang.

Katakan, kenapa kamu datang hanya untuk memberikanku cinta semu? Lalu terbang mengepakan sayap tanpa sadar bahwa ada hati seseorang yang telah patah karena kehilangan.

Kenapa kamu menyematkan kesederhanaan dalam cinta jika pertemuan saja begitu mahal? Berapa banyak lagi air mata yang harus jatuh karena menanti sebuah temu yang tak kunjung datang?

***

"Lusa aku kembali ke Austria, Vin." Gio menyesap coklat panasnya, matanya memperhatikan wajah Viny yang sedang menatap kosong ke depan. Gio tau, ada yang Viny sembunyikan darinya. Namun Gio juga sadar diri untuk tidak menanyakan hal itu, ia takut pertanyaannya hanya akan menambah keresahan Viny.

"Aku semalem mimpi, aku ketemu dia," tanpa sadar Viny tersenyum mengingat mimpinya semalam, "dia dateng, senyumannya masih sangat manis."

"Dia?" Alis Gio terangkat tinggi, ia menyimpan gelas dalam genggamannya lalu menatap Viny lebih serius lagi, "dia siapa?"

CintaWhere stories live. Discover now