"Jessica!" Kinal berdiri menarik tangan Veranda kemudian menggenggam kedua tangannya dengan erat, "Kamu sama sekali gak nyusahin aku, Ve!" ucapnya keras karena tidak tau lagi bagaimana caranya untuk mengendalikan amarah Veranda.

"Kamu pikir aku tega liat kamu kerja buat Sekolahin aku? Hah?! Kita sama-sama kerja di sini, buang semua ijazah sama rapot aku!"

Kinal memejamkan matanya berusaha mengendalikan emosi karena sadar, masalah tidak akan pernah selesai jika bertumpu pada emosi. Dirasa cukup, Kinal membuka matanya lalu menatap Veranda jauh lebih lembut lagi, cengkramannya diregangkan.

"Aku bakal tanggung jawab sama semua kebutuhan kamu di sini." Kinal mencium punggung tangan Veranda secara bergantian, "Aku sanggup jadi Ibu, Ayah dan pacar kamu dalam waktu bersamaan. Tangan aku selalu siap ngejagain kamu, ngerawat kamu," Kinal menyalipkan anak rambut ke belakang telinga Veranda, "suatu saat nanti kita mungkin bakal pulang dan aku mau ngebuktiin sama orang tua kamu, kalo aku juga bisa jadi penjaga kamu. Tenaga aku bisa lebih kuat dari laki-laki dan hati aku bisa lebih lembut seperti perempuan lainnya. Aku mohon, Ve. Jangan bikin aku lemah dengan amarah kamu."

Dada Veranda terasa sesak mendengar semua kalimat Kinal. Ada kebahagiaan dan rasa sakit. Bagaimanapun juga ia tidak akan tega melihat Kinal berjuang sendiri tapi ia juga tidak siap jika harus pergi dari sini. Veranda menundukan wajahnya ketika sadar setitik airmata sudah mengenang di pipinya. Detik berikutnya, tubuhnya tertarik ke dalam dekapan hangat Kinal.

"Jangan nangis, kita udah sama-sama janji gak akan nangis lagi." Kinal mengusap lembut kepala belakang Veranda, "Buka kehidupan baru kita sama tawa ya? Tugas kamu belajar yang rajin. Bukan cuma Sekolah, aku juga pasti bisa kuliahin kamu. Pegang janji aku."

"Aku cinta kamu," bisik Veranda lalu menyandarkan pipi di bahu tegap Kinal seraya membalas pelukan Kinal. Entah harus berapa ratus kali ia merasa beruntung karena memiliki Kinal. Mulai detik ini, Veranda juga berjanji apapun rintangan yang menghalanginya untuk bersama Kinal, ia tidak akan pernah takut sedikitpun dan akan melewati itu.

"Kita makan ya." Kinal mengakhiri pelukannya dengan kecupan singkat di pipi Veranda. Ia menggenggam tangan Veranda dan menuntunnya untuk kembali duduk di karpet, "Aku beliin jengkol buat kamu."

"Ah, ngga." Veranda menggeleng mantap sambil menuangkan air yang Kinal bawa ke dalam gelasnya.

"Loh," gerakan tangan Kinal yang hendak membuka plastik berisi jengkol jadi terhenti, "kenapa?"

"Kalo aku makan jengkol tar mulut aku bau. Kamu gak bisa cium bibir aku."

Kinal tertawa mendengar jawaban Veranda yang menurutnya sangat konyol. Ia mengacak rambut Veranda sekilas lalu membuka bungkus jengkol itu dan dituangkan ke dalam piring Veranda. "Mulut kamu bau apapun itu gak masalah. Bibir aku akan selalu mendarat di sini." Kinal menunjuk bibir Veranda.

Veranda yang memang pada dasarnya jail langsung menggigit jari tangan Kinal kemudian tertawa melihat Kinal meringis kesakitan padahal gigitannya tidak kuat.

"Ah, lebay." Veranda menepis tangan Kinal, "Aku makan ya?" ucapnya sambil melahap nasi yang Kinal sodorkan.

Kinal tersenyum melihat Veranda yang makan dengan lahapnya, pasti gadis itu sangat lapar karena belum makan seharian. Kinal menghela napas kasar lalu berbaring di karpet memandang langit-langit rumah barunya yang bercat putih.

CintaNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ