"Aku harus muji Shani kaya Kinal muji kak Ve?" tanya Viny membuat tawa Kinal dan Veranda pecah, menggema di tengah alunan musik di ruang serba mewah ini.

"Gak, gak perlu. Gak butuh gue." Shani mengambil minuman yang langsung ia teguk sampai habis.

"Ngapain sih muji Shani?"

Shani mengambil minuman lain dan segera ia minum sampai habis untuk ke dua kalinya. Ia berusaha menulikan telingannya tidak ingin mendengar ucapan apapun lagi dari Viny, itu hanya akan menambah rasa kesalnya.

"Semua hal indah di dunia ini kadang gak perlu dapet pujian, kaya senja dengan jingganya, bulan dengan cahayanya, bintang dengan sinarnya, pelangi dengan kilauan warnanya dan Shani dengan kecantikannya. Mereka semua tetap akan menunjukan keindahannya meski tanpa pujian."

Gerakan tangan Shani yang hendak kembali mengambil gelas terhenti saat mendengar suara lembut milik Viny yang melantun indah di indera pendengarannya. Detak jantungnya berpacu keras dan semakin cepat ketika merasakan genggaman lembut yang sudah tidak asing lagi di tangannya.

"Jangan marah cuma karna hal yang gak penting." Viny membalikan tubuh Shani yang semula menghadap ke meja. Ia tersenyum melihat rona wajah Shani yang memerah karena ulahnya.

"Sedaaap!!" Kinal berteriak keras menepuk kedua tangan melihat aksi adiknya yang baru saja meluluhkan hati bidadari ini.

"Nal, jangan bikin huru-hara deh," tegur Veranda mengitari matanya sekeliling pada beberapa orang yang sedang menatap ke arahnya.

"Jangan bikin aku terbang buat kesekian kalinya gara-gara ucapan kamu," bisik Shani tepat di samping telinga Viny.

Viny mempererat genggamannya ditangan Shani lalu mencondongkan sedikit wajahnya pada Shani, "Bidadari terbang bukan hal yang aneh."

"Ah, kak udah." Shani sekuat tenaga menahan senyumannya yang ia yakini tidak akan pudar jika sampai terlepas dari bibirnya. Entah seberapa hebat kuasa Viny untuk mengendalikan hatinya yang semula kesal menjadi bahagia seperti ini.

Acara yang sudah berlangsung sejak dua jam lalu ini berjalan dengan sempurna, semua tamu merasa puas dengan semua suguhan yang sudah disiapkan oleh Fauzi. Beberapa juga ada yang ikut bahagia melihat keberhasilan Fauzi dan Marissa, tak terkecuali dengan anak-anaknya yang sedari tadi tidak berhenti melemparkan canda dan tawa.

"Gimana kalo kita dansa aja sekarang?" Suara dari Mic terdengar, semua menoleh pada arah suara yang ternyata bersumber dari Fauzi. "Anak saya yang paling besar ini jago dansa," lanjut Fauzi berjalan ke arah Veranda lalu merangkul bahunya.

"Ah, Pa. Aku dansa sama siapa? Sendiri? Mana bisa, sama Kin---"

"Julian," panggil Fauzi.

"Iya, Om?" Suara serak yang terdengar gagah itu menyaut panggilan Fauzi diikuti oleh langkah Pemuda tampan dan tinggi yang muncul dari tengah-tengah tamu. Senyuman yang disertai pipi bolongnya ia tunjukan pada Fauzi, gadis manapun sepertinya akan akan terpesona melihat ketampanan pemuda ini.

"Nah, Ve. Ini anaknya temen Papa, namanya Julian," ujar Fauzi memperkenalkan Pemuda itu.

"Julian." Pemuda yang bernama Julian itu mengulurkan tangannya pada Veranda.

Veranda menatap Kinal sebentar seakan meminta izin. Kinal mengangguk pelan memperlihatkan senyuman manisnya. Veranda ikut tersenyum dan menjabat tangan Julian, seolah senyuman itu ia tunjukan pada Julian padahal senyuman itu ada karena senyuman yang terpatri di wajah Kinal.

"Veranda."

"Ya udah gih, kalian dansa. Biar yang lain ngikutin."

Senyuman Kinal perlahan pudar dan hilang dalam sekejap ketika mendengar ucapan Fauzi. Ia membuka mulut hendak berbicara sesuatu tapi urung saat ingat batasannya, ia tidak punya alasan yang masuk akal untuk protes.

CintaWhere stories live. Discover now