Thirty Eight

2.3K 105 0
                                    

Sherlyn lagi-lagi menatap jam tangannya. Sudah pukul 12. 30. Ia dan Devon janjian pukul 13.00 nanti. 'Devon udah dateng belom ya?'  Sherlyn bertanya-tanya dalam hati. 'Ah, gue tungguin aja di restorannya. Daripada di sini, panas,'  lanjut Sherlyn. Ia bangkit dan berjalan memasuki restoran itu. Kepalanya menoleh ke sana-kemari, mencari meja kosong. Tak sengaja, pandangannya tertuju ke sebuah meja yang dihuni oleh seorang lelaki dan seorang perempuan yang sedang bercanda-ria sembari menggenggam tangan satu sama lain dengan mesra. Si lelaki pun mengusap-usap rambut perempuan itu, bahkan menciumi punggung tangannya.

Sherlyn menggeram di tempatnya. Kedua matanya panas seketika melihat siapakah lelaki itu. Jantungnya berdegup kencang. Tiba-tiba, kata-kata Vigo kembali terngiang-ngiang di kedua telinganya. Sherlyn berjalan dengan langkah lebar-lebar menuju meja itu. Ia meraih segelas jus jeruk yang ada di meja tersebut dan menyiram wajah lelaki itu dengan jus jeruk tersebut yang isinya masih lumayan penuh. Sebelum lelaki itu sempat menyadari siapa orang yang dengan kurangajar menyiramnya dengan jus jeruk, Sherlyn sudah mendahuluinya.

"Kita putus. Dasar Sampah!" dan setelah itu, Sherlyn langsung pergi keluar dari restoran itu, dihujani oleh tatapan-tatapan penasaran pengunjung lainnya. Lelaki itu menyeringai, dengan santai mengelap wajahnya dengan tisu. Ia sudah cukup puas melihat Sherlyn sempat menitikkan air matanya tadi, walaupun wajah dan bajunya terkena siraman jus jeruk. Gadis di hadapannya ikut membantunya mengelap wajahnya.

"Kamu nggak apa-apa? Dia cewek yang kamu bilang pacar kamu itu kan? Yang bakal kamu putusin? Dasar cewek gila!"

Lelaki itu mengangguk. "Yah, sekarang aku sama dia udah putus. Jadi mulai hari ini, kita resmi pacaran."

Devon menyeringai senang menatap gadis di depannya yang langsung tersenyum lebar.

********************

Sementara itu....

"Jauhin Sherlyn. Jangan sentuh dia ataupun main-main sama perasaannya," Vigo berkata tajam.

David menyeringai, kemudian mengalihkan pandangannya. "Nggak bisa. Gue harus liat dia dan lo sakit terlebih dahulu, terutama lo. Baru gue lepasin dia dari kakak gue," balas David dengan santainya. Vigo menggeram marah. Kedua tangannya terkepal kuat. "Kenapa? Marah? Gak ada yang bisa lo lakuin sekarang. Gue tau Sherlyn nggak percaya sama lo soal Devon, iya kan? Buktinya, siang ini Devon ngajak dia jalan, dan dia mau."

"Bajingan...."

"Gak ada gunanya lo maki-maki gue. Sherlyn bakal tetep sakit, Bro. Gue dan Devon nggak akan ngelepasin dia sebelom dia ngerasain yang namanya dihantem keras ke tanah, ngerti?" kini bukan nada santai lagi yang keluar dari mulut David, melainkan nada suaranya berubah menjadi dingin dan tajam.

Vigo menghela dan menghembuskan napasnya beberapa kali, mencoba untuk rileks. "Gue mohon," Vigo meneguk liurnya. Harga dirinya benar-benar seperti terinjak-injak ketika ia memohon pada 'musuh'-nya sendiri. "Gue mohon, lepasin Sherlyn. Jangan biarin dia disakitin sama Devon. Devon harus selalu sayangin dia, ngejaga dia. Gue mohon, jangan bikin dia sakit."

"Apa untungnya buat gue, hah?" nada suara David meninggi, diakhiri dengan suara tawa. "Lo lupa? Dulu, gue pernah mohon-mohon sama lo untuk nggak nyakitin Aurel, untuk selalu ada di sisi dia. Tapi nyatanya apa? Lo ngebuang dia, Man! Lo nyakitin seseorang yang sangat gue sayang, lebih dari diri gue sendiri. Dan lo malah milih Sherlyn, jadian sama dia! Sama sekali gak mikirin perasaan Aurel yang tulus sayang sama lo. Tau rasanya gimana? Lo tau karma kan?"

Vigo terdiam. Tidak, ia tidak boleh emosi dulu. Bagaimanapun caranya, ia harus bernegosiasi tentang hal ini dengan David. Ia akan berusaha tidak menyerang terlebih dahulu walaupun ia ingin.

EXWo Geschichten leben. Entdecke jetzt