Thirty Three

2.4K 129 0
                                    

Ya, Vigo memang menderita hipotermia semenjak ia masih balita. Ia tidak pernah tahan dengan suhu dingin. Bahkan ia akan cepat menggigil jika berenang lama-lama. Sherlyn pun tahu soal itu, tanpa sengaja. Tadinya Vigo menyembunyikannya, namun ketika ia dan Sherlyn pulang hujan-hujanan sembari berlari-larian saat masih SMP dulu—tepat ketika mereka sampai di depan gerbang rumah Vigo, tiba-tiba lelaki itu menggigil hebat dan napasnya memburu sangat cepat. Sherlyn saat itu sangat panik, mengira Vigo memiliki riwayat penyakit asma. Apalagi ketika makin lama napasnya semakin melemah beserta detak jantungnya, tiba-tiba saja Vigo jatuh pingsan, membuat Sherlyn semakin panik. Untung saja saat itu mereka berdua sudah ada di depan gerbang rumah Vigo.

Entah Vigo masih mengingat kejadian itu atau tidak. Pasalnya, setelah siuman, ia sama sekali tidak membahas masalah hipotermianya. Sherlyn yang saat Vigo masih pingsan sempat berbincang-bincang dengan Rania tentang hipotermia yang Vigo derita pun memutuskan untuk tutup mulut. Ia tahu Vigo tidak akan suka bila Sherlyn mengungkitnya. Walaupun Vigo tahu bahwa Sherlyn pasti sudah tahu tentang hipotermianya.

Dan kini, mimpi buruk yang membuat Sherlyn takut setengah mati kembali terulang. Ia tak bisa menahan tangisannya melihat Vigo yang tersengal seperti itu. Lelaki itu menggenggam tangan Sherlyn kuat—kuat sekali, berusaha agar napasnya kembali normal.

"Vigo ... hiks, Vigo liat gue! Vigo, lo bakal baik-baik aja, oke?" Sherlyn menyentuh pipi Vigo yang dingin. Vigo meringis kembali. Bahkan pandangan matanya sudah ke mana-mana sekarang. Ia seakan-akan tidak bisa melihat keberadaan Sherlyn di hadapannya walaupun torch lamp menerangi mereka berdua dalam gelapnya hutan Gunung Semeru.

Sherlyn berpikir cepat. Akhirnya ia melepas mantel milik Vigo yang ia kenakan dan menyampirkannya ke tubuh lelaki itu. "Lo sih nyuruh gue make mantel lo! Hipotermia lo jadi kambuh kan gara-gara gue?! Lo kenapa suka banget bikin gue ngerasa bersalah sih, Go?! Gue gak suka!" masih sempat-sempatnya Sherlyn mengomel dalam keadaan seperti ini. Vigo tidak merespon. Ia benar-benar menggigil.

Sherlyn memutar otaknya, perlahan memakaikan Vigo mantel itu. Ia tahu penderita hipotermia tidak boleh disentuh tiba-tiba, karena bisa berakibat fatal pada jantungnya. Sherlyn pun melepas syalnya, mengaitkannya ke leher Vigo. Vigo—yang masih setengah sadar, berusaha keras tetap bernapas dan menatap Sherlyn walaupun pandangannya mulai kabur.

"S-She..." Sherlyn sedikit terlonjak mendengar Vigo menggumamkan namanya. "She...."

"Lo bakal baik-baik aja, oke?" Sherlyn terus menangis. Ia merengkuh tubuh lelaki itu, mendekapnya hangat. Sherlyn juga menggosok-gosokkan kedua tangannya agar hangat, lantas menempelkan tangannya itu di dahi dan kedua pipi Vigo. "Tarik napas pelan-pelan ... lo harus bisa. Tarik napas ... buang. Jangan buru-buru. Lo bisa napas, oke?"

Vigo menggeleng pelan. Semakin lama, kesadarannya semakin hilang.

"Bisa! Lo pasti bisa," Sherlyn memekik. Nada suaranya lebih terdengar seperti orang memohon daripada menyemangati.

Vigo lagi-lagi meringis. Walaupun sulit, namun ia tetap melakukan apa yang Sherlyn katakan. Ia tidak ingin gadis itu tambah menangis dan mengkhawatirkannya. Sherlyn tidak kehabisan akal. Ia memakaikan tudung mantel Vigo di kepalanya, lantas memeluk lelaki itu erat dan membenamkan kepalanya di lehernya yang hangat. Deru napas Vigo yang dingin dan mengenai lehernya itu membuat Sherlyn sedikit merinding, namun ia tidak peduli. Mungkin posisi mereka sekarang agak tidak enak untuk dilihat, tetapi masa bodoh. Sherlyn sungguh ketakutan sekarang.

"She ... maaf. Maaf ... gara-gara gue lo jadi nangis dan khawatir gini," terdengar suara serak Vigo yang hampir tidak jelas terdengar.

Sherlyn menggeleng. "Jangan minta maaf. Yang gue mau sekarang lo kendaliin diri lo sendiri. Gue bakal berusaha biar—minimal, hipotermia lo berkurang."

EXWhere stories live. Discover now