Sixteen

2.1K 122 0
                                    

Hari Senin yang cerah....

"HAH? NYOKAP LO UDAH BANGUN, GO?!"

"Ssstt!!! Berisik banget sih lo?!" Vigo membekap mulut Raka, memelototinya. Raka yang dibekap hanya mengangguk, berjanji bahwa ia tidak akan berisik lagi. Vigo melepas bekapannya, menatapnya tajam.

"Lo ... serius kan, Go? Gak bercanda kan?" tanya Alvin. Wajahnya campuran antara shock dan antusias sekaligus tak percaya.

Vigo mendelik jutek, "Ya gue serius lah! Hal-hal kayak gini mana mungkin gue bercandain, Peak. Emangnya lo, segala hal dibercandain."

"Kecuali adek lo, hehe," celetuk Alvin, yang membuat Vigo melotot seketika.

"Apa? Adek gue? Ngomong sekali lagi sini depan muka gue!" sentak Vigo. Alvin terbahak, langsung berlindung di belakang Rome. "Lo macem-macemin Kylie, mati lo di tangan gue, Vin."

"Wues! Ampun Bang, bercanda gue. Serius amat lo," sergah Alvin, mulai ngeri. Vigo membuang wajah, tak peduli. Diantara keempat sahabatnya, memang Alvin yang paling genit. Ia yang paling sering menggoda dan menjahili Kylie.

Kylie memang cantik, bahkan Vigo mengakui itu walaupun gengsi. Tubuhnya mungil dan ramping, namun kedua pipinya tembam dan menggemaskan. Hidungnya mancung dan bola matanya berwarna hitam dan jernih, sangat indah. Tatapan yang dimiliki Kylie mirip sekali dengan milik Vigo. Tatapan keduanya sama-sama tajam dan terkesan mengintimidasi. Bulu matanya pun lebat dan lentik alami, sama seperti kedua alisnya yang terbentuk sempurna dan cukup tebal. Rambutnya panjang lurus dan berwarna hitam legam. Bibirnya pink alami tanpa sentuhan lipgloss dan kulitnya putih cerah. Walaupun Kylie sedikit tomboi dan cukup menguasai beladiri, namun seringkali Kylie salah tingkah jika berhadapan dengan lelaki, contohnya adalah keempat sahabat dekat Vigo. Jadi tak heran jika Vigo amat melindungi Kylie dari sahabat-sahabatnya, terutama Alvin.

"Eh, tapi nyokap lo beneran udah siuman? Alhamdulillah.... Akhirnya ya, Go, setelah sekian lama," Rome menimbrung. Reaksinya lebih waras daripada Raka dan Alvin, membuat Vigo refleks tersenyum.

"Iya, akhirnya, Ro. Gue bersyukur banget. Thanks banget ya, kalian udah bantu doa selama ini buat nyokap gue," Vigo berkata dengan tulus.

"Ya elah, Go ... santai kali! Lo kan sohib kita juga, Tante Rania juga udah gue anggep nyokap kedua gue," balas Dean.

"Nah, Dean bener, Go. Gila, gue kangen banget sama nyokap lo. Eh, gimana kalo nanti kita ke rumah sakit jenguk Tante Rania? Boleh kan, Go?" Raka mengusulkan, meminta izin pada Vigo.

Vigo terkekeh pelan, menatap keempat sahabatnya yang menatapnya dengan tatapan memohon campur berbinar-binar. "Ya boleh lah! Sejak kapan gue ngelarang kalian ketemu sama nyokap gue, hah?" Raka, Rome, Alvin, dan Dean bersorak setelah mendengar kata-kata Vigo. "Tapi ... sebenernya ada sedikit masalah," ujar Vigo, teringat sesuatu. Keempat sahabatnya langsung bungkam, kompak menatapnya.

"Hah, masalah? Masalah apaan? Nyokap lo bakal baik-baik aja kan, Go?" tanya Dean.

Vigo menggeleng, "Nyokap gue bakal baik-baik aja kok, tapi bukan itu masalahnya. Masalahnya..." Vigo menghentikan sejenak kata-katanya. Raka, Rome, Alvin, dan Dean menatapnya dengan seksama. "Masalahnya ... nyokap gue nanyain Sherlyn mulu. Dia belom gue kasih tau soal hubungan kita yang sebenernya udah putus sejak dua bulan yang lalu."

********************

Vigo mengintip dari balik dinding, menatap Sherlyn dan Kinta yang berjalan berdampingan sembari mengobrol ringan. 'Apa gue kasih tau dia sekarang aja?' batin Vigo. 'Oke, lebih baik sekarang mumpung si Devon nggak ada,'  Vigo akhirnya memutuskan. Ketika ia hampir keluar dari tempat persembunyiannya, Devon tiba-tiba muncul dari arah lapangan dan tersenyum lebar ke arah Sherlyn. Vigo buru-buru mundur beberapa langkah ke belakang. 'Sial! Kenapa si Devon muncul tiba-tiba gini sih? Kampret, gue kan jadi kaget!' 

EXWhere stories live. Discover now