Eleven

2.7K 132 10
                                    

Devon berdiri di ujung koridor kelas 10 IPS dekat tangga dengan tidak tenang. Kedua mata sipitnya memandang jauh ke kelas Sherlyn; X IPS 2. Sherlyn tidak kelihatan sejak tadi. Padahal bel pulang sekolah sudah berbunyi sekitar 5 menit yang lalu dan koridor kelas 10 pun mulai ramai oleh adik-adik kelasnya.

Namun Sherlyn tidak juga menunjukkan batang hidungnya.

Beberapa anak kelas 10 yang melewatinya menyapanya dengan sopan, dan Devon—seperti biasa, merespon mereka dengan sopan pula. Mumpung hari ini ia tidak ada rapat OSIS, Devon rencananya ingin mengajak Sherlyn pulang bersama, sekalian meminta maaf kepadanya soal kejadian di kantin tadi.

Dan tepat setelah Devon melemparkan pandangannya kembali ke arah kelas X IPS 2, kedua matanya menangkap sosok Sherlyn dengan Kinta di sebelahnya yang berhenti tak jauh darinya.

"Ah! Gue duluan ya, Lyn? Byeee..." Kinta berlari kecil melewati Devon sambil melambai kepada Sherlyn yang tadinya hendak menahannya. Kinta sadar suasana.

Sherlyn menghela napas kesal. Ia menatap Devon yang berjalan mendekatinya dan berhenti tepat di depannya, menatapnya dengan canggung.

"Ehm, duluan Kak—"

"Bentar," Devon menahan langkah Sherlyn, menggenggam pergelangan tangannya. Cowok itu menatap Sherlyn serius, tepat di mata. "Kamu marah?"

Sherlyn terdiam beberapa saat. Bahkan ia tidak tahu mengapa ia harus marah kepada Devon.

"Pulang sama saya ya? Ada yang mau saya omongin soal obrolan kita tadi di kantin," ucap Devon lagi. Sherlyn hanya bisa mengangguk pasrah.

********************

Di parkiran....

Devon memutar tubuhnya, menghadap Sherlyn. Sherlyn ikut menghentikan langkahnya. Ia menunduk, tidak berani menatap Devon. "Kamu marah?" Devon mengulang pertanyaannya.

Sherlyn menghembuskan napas lelah. "Kenapa aku harus marah?" balas Sherlyn.

Kini gantian Devon yang menghembuskan napas lelah. "Saya lagi ngomong sama kamu, Dek," Devon menyentuh dagu Sherlyn dan memaksanya agar kepala Sherlyn menengadah untuk menatapnya. "Oke, saya bakal kasih tau apa aja yang saya omongin tadi sama mantan kamu."

Sherlyn menatap Devon, menunggu kelanjutan kalimatnya. Mengapa ia sepenasaran ini?

"Saya cuma ngegertak dia, bilang supaya dia gak usah ganggu kamu lagi apalagi bikin kamu nangis. Saya manas-manasin dia dan bilang kalo dia sayang sama kamu seharusnya dia nggak ngelepasin kamu. Yang terakhir, saya minta izin ke dia untuk ngambil kamu dari dia karena sekarang dia udah gak punya hak atas kamu, jadi saya lebih leluasa untuk ngedeketin kamu. Itu inti dari obrolan saya sama dia." Kedua mata anjing Sherlyn membulat mendengar penuturan Devon. "Saya minta maaf kalo saya bikin kamu badmood."

"K-kakak bilang begitu?" tanya Sherlyn memastikan.

Devon mengangguk, "Iya. Saya cuma nggak tahan ngeliat kelakuan dia yang masih sok perhatian dan ngedeketin kamu padahal kamu sama dia udah nggak ada apa-apa lagi, ditambah kamu nggak nyaman kan sama dia dan pengen ngejauh dari dia? Kamu pernah cemburu gak?"

"K-kak Dev—"

"Ini bukan confess. Lebih tepatnya, belum. Saya cuma marah dan gak suka aja sama dia, jadi saya bilang begitu ke dia. Boleh kan?" lanjut Devon. Namun tetap saja, di telinga Sherlyn semua perkataan Devon terdengar seperti confess baginya. "Kamu masih marah?"

Sherlyn terkelu. Ia benar-benar tidak tahu harus berkata apa.

"Saya bener-bener minta maaf."

"Kakak gak usah minta maaf," jawab Sherlyn akhirnya. Ia tidak suka dengan orang yang terus-menerus meminta maaf padanya. Ia tidak marah kepada Devon, ia hanya marah dengan dirinya sendiri. Seharusnya ia tidak perlu lagi peduli dengan segala yang menyangkut Vigo. "Aku gak marah sama Kakak. Aku ... cuma kesel aja sama diri aku sendiri, kenapa aku harus peduli padahal aku nggak mau."

EXOn viuen les histories. Descobreix ara