Fourteen

2.2K 123 1
                                    

Malam itu, di tempat lainnya....

Vigo yang menjaga Rania sejak sore tadi terbangun. Tubuhnya terasa pegal-pegal karena tertidur dalam posisi duduk sembari menggenggam lembut tangan kurus Rania, dengan kepala yang menyentuh ranjang Rania. Ia memijat keningnya sendiri, kemudian mengucek-ucek kedua matanya. Vigo melirik jam dinding. Pukul 22.15.

"Ck, udah jam segini lagi," gerutunya. Ia segera bangkit, berjalan menuju sofa dan menyambar tas ranselnya. Sudah waktunya pulang ke rumah. Setelah ia pulang, suster akan bergantian menjaga ibunya.

Vigo kembali menghampiri Rania, duduk di bangku tadi di sebelah ranjang wanita itu. Kedua mata lelahnya memandang Rania dalam. Tangan kanannya terjulur, mengusap pelan rambut kusam Rania. Ia tersenyum lemah, kemudian membuang pandangannya. Bulan September ini adalah bulan ketujuh semenjak ibunya dinyatakan koma sejak bulan Februari lalu. Dan Vigo maupun Jamil dan Kylie tidak pernah berhenti berdoa maupun berharap yang terbaik untuk Rania.

"Ma, sekarang udah masuk bulan September, tanggal 2. Kira-kira, tanggal 9 nanti Mama udah bangun belom ya?" Vigo menatap wajah ibunya dengan sendu. Tenggorokannya tercekat seketika. Ia menghela napas pelan. "Tanggal 9 nanti, tepatnya seminggu lagi adalah hari ulang tahun Vigo, Ma. Mama gak lupa kan? Cuma satu yang Vigo mau untuk hadiah ulang tahun Vigo. Vigo mau Mama bangun dan meluk Vigo, itu aja. Itu bakal jadi hadiah ulang tahun paling spesial dan terindah yang pernah Vigo punya."

Vigo terdiam selama beberapa saat. Mati-matian ia berusaha untuk menahan tangisnya, namun ia tidak bisa. Ia menggenggam tangan Rania erat, menundukkan kepalanya hingga menyentuh tangan kurus itu. Malam ini, lagi-lagi ia menangis sejadi-jadinya untuk ibunya. Malam ini, lagi-lagi ia merasa lelah, letih, bahkan hampir putus asa, padahal hanya untuk berharap dan berdoa. Malam ini, lagi-lagi kerinduan yang menyakitkan itu kembali menyergap tidak hanya hatinya yang rapuh, namun semua bagian dari dirinya. Ia rindu ibunya. Ia rindu semua hal yang menyangkut Rania. Amat sangat dalam kerinduannya.

Vigo mengeluarkan ponselnya. Ia membuka kontak, mencari sebuah nama di dalam kontaknya. Biasanya jika sedang seperti ini, Vigo akan melakukan tindakan di luar kendali. Ia tidak bisa berpikir jernih. Biasanya jika sedang seperti ini, satu-satunya orang yang bisa menenangkannya hanya Sherlyn. Ya, hanya gadis itu. Ia hanya perlu menelepon Sherlyn tanpa berkata apa-apa, maka Sherlyn akan langsung mengerti apa yang terjadi pada Vigo, dan Sherlyn akan langsung berceloteh sepanjang malam, tentang semuanya. Semua hal yang tidak penting akan turut diceritakannya kepada Vigo walaupun Vigo tidak membalas perkataannya sama sekali. Semua lelucon yang ia tahu akan ia katakan pada Vigo, walau terkadang lelucon-leluconnya itu sama sekali tidak lucu.

Namun hanya itu. Hanya itu yang bisa membuat Vigo sedikit merasa terhibur.

Vigo terdiam cukup lama. Air matanya masih menetes dari kedua mata elangnya yang tajam, yang kini sudah tidak lagi terlihat tajam. Tatapannya terus tertuju pada kontak telepon atas nama 'Sherlyn'. Vigo menggeram tertahan. Ia tahu ia tidak akan bisa melakukan itu lagi. Ia sadar Sherlyn tidak akan menghiburnya kembali jika ia sedang dalam kondisi rapuh seperti ini.

Vigo menggenggam kuat ponselnya, kemudian memasukkannya ke saku celana. Ia menatap wajah ibunya lekat-lekat, kemudian mendekatkan wajahnya dan mengecup lembut kening Rania, seperti yang biasa ia lakukan selama beberapa bulan terakhir ini. "Vigo pamit pulang ya, Ma. Semoga Mama mimpi indah. Vigo sayang Mama."

********************

Vigo memasuki kelasnya dengan lemas. Kedua matanya berat sekali. Sangat mengantuk. Baru saja Vigo meletakkan bokongnya di atas bangku, suara Alvin, Raka, Rome, dan Dean—yang entah dari mana mereka beramai-ramai seperti itu langsung mengganggu paginya yang damai.

"VIGOOO!!!"

"VIGO! LO HARUS TAU, LO HARUS TAU!"

"GO, POKOKNYA LO PASTI KAGET BANGET DENGER BERITA INI!"

EXWhere stories live. Discover now