Twenty One

2.4K 108 0
                                    

Sejam kedepan, yang dilakukan Vigo hanyalah duduk diam di tempatnya. Satu-persatu, teman-temannya mulai pulang ke rumah masing-masing, hanya menyisakan beberapa anggota ZC di sana termasuk Vigo dan keempat sahabatnya. Kedua mata Vigo memandang kosong paper bag bermotif batik cokelat itu. Ia terngiang-ngiang kata-kata Alice sejam yang lalu. Rasa bersalah lagi-lagi menyerang hatinya, tidak hanya pada 1 wanita, kini bertambah menjadi 3 wanita; Rania, Sherlyn, dan Alice. Apa yang harus ia lakukan?

Persis ketika basecamp ZC hanya tersisa dirinya dan keempat sahabatnya, Raka, Rome, Alvin, dan Dean menghampirinya, menepuk pundaknya bergantian. Vigo hanya diam, terus terngiang kata-kata Alice.

"Bro! Alice udah pulang?" Raka berbasa-basi. Vigo hanya diam.

"Wuih, apaan nih? Hadiah dari Alice ya? Isinya apaan? Udah lo liat?" Alvin-seperti biasa, banyak bertanya. Lagi-lagi Vigo hanya terdiam, membiarkan keempat sahabatnya duduk di sekitarnya.

"Udah hampir jam 11, Nge. Balik yok?" ajak Rome. Vigo tetap tak bergeming.

"Besok gue bolos aja kali ya? Males banget dah gue sekolah," Dean meminta saran. Rome, Alvin, dan Raka langsung mencemoohnya.

"Ngajak-ngajak kali kalo bolos mah!" sindir Alvin. Dean hanya cengengesan.

Raka, Rome, Dean, dan Alvin yang tadinya bercanda-ria, langsung terdiam menyadari Vigo yang tidak merespon candaan-candaan mereka. Wajahnya ditekuk, terlihat amat kesal. Diam-diam, Vigo sedang menebak-nebak siapakah yang memberitahu Alice soal Sherlyn dan ibunya. Dan sekarang ia rasa ia tahu jawabannya.

"Go, kok lo diem aja sih? Kesambet, heh?" Raka iseng bertanya sembari mengguncang bahu Vigo. Rome, Alvin, dan Dean menahan tawa mereka.

Vigo memutar kedua bola matanya. Ia menepis tangan Raka dengan kasar, lalu bangkit dari duduknya dan mencengkeram kerah anak itu, memaksanya berdiri dan menatap wajahnya yang penuh emosi. Rome, Alvin, dan Dean refleks ikut berdiri, terkejut mengapa tiba-tiba Vigo jadi seemosi ini. Mereka berusaha melerai Vigo yang memberi Raka tatapan ingin membunuh. Raka tak kalah kagetnya, ia memandang Vigo takut-takut.

"Go, tenang, Go!" hardik Dean-posisinya paling dekat dengan Vigo dan Raka.

"Go, lo kenapa? Tenang dulu!" Rome menimbrung, berusaha melepaskan cengkeraman tangan Vigo di kerah jaket Raka.

"Jangan emosi, omongin baik-baik! Raka bercanda doang kali, gak biasanya lo kayak gini," ujar Alvin. Vigo mana mau mendengarkan. Lagian alasannya menjadi seperti ini bukan karena gurauan Raka.

"Argh, sakit, Go!" rintih Raka, berusaha lepas. Ia yakin setelah ini rahangnya akan memar atau bibirnya akan sobek karena cepat atau lembat Vigo pasti akan memukul wajahnya, entah karena alasan apa.

Vigo menahan nafsunya untuk tidak memukul sahabatnya itu. Ia melotot tajam, membuat Raka bergidik. Vigo jago dan sering bertengkar, tidak seperti Raka. Walaupun Raka memaksakan diri pun, ia tidak akan menang jika melawan Vigo. Bang Ipul yang sedang ke kamar mandi pun tidak menyadari kejadian itu.

"Lo kan yang bilang sama Alice soal nyokap gue dan Sherlyn?" tanya Vigo tajam. Raka mengernyit seakan tak mengerti, membuat Vigo ingin sekali menghantam wajah lelaki itu. "Lo kan yang cerita semuanya ke dia? Jawab!"

Raka mengerjapkan kedua matanya beberapa kali. Ia mulai mengerti apa yang dibicarakan oleh Vigo. Tatapannya ikut menajam. Memberanikan diri, ia menjawab pertanyaan sinis Vigo, "Gue nggak akan ngebiarin sahabat gue sendiri nyakitin orang lain, apalagi cewek. Cewek cuma butuh kejujuran, keseriusan, dan kepercayaan dari orang yang dia sayang, Go. Sadar."

"Bajingan!" dan detik itu juga, Vigo meninju keras wajah Raka, mengerahkan seluruh kekuatannya hingga Raka terhuyung-hampir terjatuh. Dean dan Alvin menahan tubuh Vigo agar tidak menyerang Raka lebih jauh lagi, sementara Rome membantu Raka menyeimbangkan tubuhnya agar tidak terjatuh. Ketiga lelaki itu sama sekali tidak mengerti duduk permasalahannya.

EXWhere stories live. Discover now