Twelve

2.3K 120 1
                                    

"Sherlyn! Berhenti di situ! Lyn, berhenti saya bilang!" Devon terus mengejar Sherlyn yang berlari menuju taman kota tak jauh dari Turner Café. Devon terpaksa mencengkeram pergelangan tangan Sherlyn untuk menghentikan gadis itu.

Dan benar saja, Sherlyn berhenti berlari. Ia terus terisak. Wajahnya sembab oleh air mata. Ia terus membelakangi Devon. Ia tidak berani menatap cowok itu. Atau lebih tepatnya, ia tidak bisa. Dirinya merasa amat sangat bersalah dengan Devon, dan ia merasa bahkan ia tidak bisa memaafkan dirinya sendiri akibat hati, pikiran, dan ulahnya.

"Lyn..." Devon menyentuh kedua bahu Sherlyn dengan lembut, kemudian memutar tubuhnya, menghadapnya. Sherlyn menunduk dalam sembari menutupi kedua matanya dengan tangan-tangannya, tetap menangis keras. "Sherlyn—"

"A-aku bener-bener minta maaf, Kak. Aku nggak sengaja ... hiks, aku nggak bermaksud ngelukain Kakak...."

"Iya, iya. Lagian saya gak kenapa-napa kok, beneran."

"Aku ngerasa bersalah banget sama Kakak. Aku kayak gak punya rasa terima kasih sama sekali sama Kakak. Aku ngelukain Kakak, nggak cuma tangan Kakak aja. Maaf karena aku seemosi tadi, aku juga gak tau kenapa aku langsung ngerasa aneh pas liat Vigo ada di sana sama cewek lain. Aku gak ngerti, aku gak paham sama diri aku sendiri. Aku gak terima," Sherlyn sambil menangis terus saja berbicara, menyebabkan kata-kata yang keluar dari mulutnya jadi tidak terdengar jelas.

Namun Devon masih mampu memahami kata-katanya. Lelaki itu terus mendengarkan Sherlyn dengan sabar.

"Kakak selama ini udah baik banget sama aku, Kakak udah sabar banget ngadepin aku. Tapi aku gak tau kenapa pada akhirnya aku harus balik lagi ke dia! Aku ngerasa aku terkurung di lingkaran yang sama, aku mau keluar dari lingkaran itu dan pergi ke Kakak, tapi nggak tau kenapa aku nggak bisa. Aku tau aku gak tau diri, aku bikin Kakak sakit. Kalo Kakak mau, Kakak boleh pergi dari samping aku, gak usah peduliin cewek yang bilang mau move on tapi nyatanya masih stuck di mantan.

"Aku ngerasa bener-bener bersalah. Aku ngerasa aku gak berguna. Kenapa aku harus marah saat liat dia sama cewek lain sementara aku sendiri udah deket sama cowok lain dan itu Kakak. Aku bener-bener ... ngerasa bersalah. Aku gak tau aku harus apa sekarang. Aku marah, aku kecewa, sama diri aku sendiri! Aku berusaha keras ngelupain dia. Bahkan Kakak dengan baik hati mau nolong aku. Aku pengen banget bisa move on dari Vigo dan beralih ke Kakak. Aku mau Kakak. Aku mau, tapi susah banget buat ngilangin perasaan aku dari Vigo.

"Kakak bener-bener baik sama aku, tapi aku bener-bener jahat sama Kakak. Aku bener-bener gak tau diri, iya kan? Aku gak pantes sama-sama Kakak, aku gak pantes sama sekali dapetin posisi penting di hati Kakak. Yang aku bisa lakuin cuma nyakitin Kakak doang, bahkan di saat kita sama sekali belom ada hubungan! Maaf ... aku, aku bener-bener minta maaf. Kakak boleh benci sama aku, boleh ngejauh dari aku. Aku pantes digituin...."

Devon merasa terenyuh hatinya mendapati Sherlyn berkata sedemikian panjangnya dengan air mata yang deras membasahi wajah cantiknya. Lelaki itu sudah tidak tahan lagi untuk menahan perasaan ingin mendekap erat gadis itu. Devon menyentuh bahu Sherlyn, menariknya ke pelukannya dengan lembut. Didekapnya dengan erat gadis itu yang masih terisak menyedihkan. Dibiarkannya Sherlyn menangis sejadi-jadinya di pelukannya. Dielusnya kepala Sherlyn dengan penuh kasih sayang.

Baru setelah tangisan Sherlyn mulai mereda, Devon berbicara, "Maaf kalo saya tiba-tiba meluk kamu, tapi saya udah gak tahan lagi. Kamu boleh nangis sepuasnya, tapi saya gak bakalan lepasin pelukan saya kalo kamu nggak mau berhenti."

Sherlyn terdiam sesaat, kemudian terisak kembali. Kini ia kembali menangis bukan karena hal tadi, namun lebih karena ia terharu dengan kata-kata dan perlakuan Devon kepadanya. Mengapa Devon bisa sebaik ini padanya?

EXWo Geschichten leben. Entdecke jetzt