Fifteen

2.1K 126 0
                                    

Tak lama setelah kepergian Kylie, Vigo bersuara pelan, "Mama...."

Tak ada jawaban.

Vigo menghela napas. Walaupun tak pernah ada jawaban untuk kata-katanya, namun Vigo tetap berbicara kepada Rania. Sebenarnya sejak tadi ia ingin curhat kepada ibunya—tentang segalanya. Namun, rencana itu sempat tertunda karena saat ia membuka pintu kamar Rania, ada Kylie di sana. Ia tidak bisa berbicara leluasa dengan Rania jika masih ada Kylie.

Lebih tepatnya, ia malu.

Vigo menggenggam tangan kanan Rania dengan erat. Perlahan ia menegakkan tubuhnya dan menciumi tangan ibunya dengan penuh kasih sayang. "Vigo kangen Mama. Kangen banget, Ma."

Suasana hening beberapa detik, sampai akhirnya Vigo melanjutkan kalimatnya, "Vigo gak tau kapan Vigo bakal kuat nungguin Mama di sini sampe Mama bangun. Vigo kangen. Kylie sama papa juga kangen Mama. Vigo kangen Mama ngomel-ngomel ke Vigo lagi kalo Vigo pulang kemaleman bareng anak ZC atau berantem sama orang lain."

Vigo memejamkan kedua matanya. Ia benar-benar sudah lelah dan hampir putus asa sekarang. Ia tidak bisa bercerita kepada siapapun tentang isi hatinya, kecuali kepada Rania.

"Ma, Sherlyn pergi, Ma. Sherlyn udah pacaran sekarang sama Devon. Dan Vigo gak ngerti kenapa Vigo harus sesedih ini. Vigo belom bisa nerima itu, Ma. Vigo harus apa?"

Hening selama beberapa saat lagi.

"Ma, Sherlyn keliatan bahagia banget sama Devon. Entah Vigo udah bilang begitu ke Mama berapa kali. Vigo seneng ngeliat Sherlyn seneng. Tapi sekarang, susah buat Vigo ikut seneng ngeliat dia seneng. Ma, sekarang Sherlyn bener-bener pergi dari Vigo. Maafin Vigo karena Vigo gak bisa lagi sama-sama Sherlyn, gak bisa lagi jagain dia. Karena sekarang, ada cowok yang lebih baik di sisi Sherlyn yang bakal ngejaga dia, Ma."

Tenggorokan Vigo tercekat. Ia menggenggam erat tangan Rania, menyentuhkannya ke dahinya.

"Ma, Vigo tau Vigo berengsek. Tapi Vigo butuh Mama. Kylie sama papa juga butuh Mama. Bangun, Ma ... Vigo mohon. Vigo butuh Mama sekarang, Vigo bener-bener butuh Mama..." tanpa sadar, air mata itu kembali keluar dari kedua mata elang Vigo. Ia bukanlah anak yang cengeng, karena ia lelaki. Ia bahkan hampir tidak pernah menangis sejak lama sekali. Namun, sekarang ia merasa air matanya sangat mudah untuk terjatuh, membuatnya merasa bahwa dirinya lemah dan tak berguna. Dan rasanya amat sesak di dada. Sakit.

"Ma ... Vigo butuh Mama. Vigo capek, Ma. Vigo capek sama semuanya. Vigo nggak mampu nanggung beban ini sendirian tanpa ada Mama..." Vigo terus terisak dalam diam. Ia berharap Kylie tidak masuk ke kamar rawat Rania dulu sekarang. Bisa malu besar ia di hadapan adiknya karena ketahuan menangis.

Vigo menengadah, menatap wajah ibunya dengan sendu. Dieratkannya genggaman tangannya di tangan Rania. "Ma ... Vigo mau nyerah aja rasanya. Ma, kalo Vigo nyerah, Mama janji sama Vigo, Mama gak akan nyerah. Ya, Ma?" Vigo kembali menunduk dalam. Ia tahu semua perkataannya kepada Rania hanyalah sia-sia. Rania tidak akan bisa mendengarnya. Rania tidak akan bisa menyahuti ucapan-ucapannya. Rania tidak akan bisa bangkit dan memeluknya hangat seperti dulu jika ia sedang ada masalah.

'Semua ini sia-sia....'

Dan saat itulah, di saat harapan hampir habis, di saat langit seakan-akan hampir runtuh menimpa bumi, di saat semuanya seakan-akan berada dalam titik-titik terbawah dalam jurang kehidupan yang curam, keajaiban itu datang. Secepat mata berkedip.

Tiba-tiba saja, tangan Rania yang basah oleh air mata Vigo, yang sejak tadi terus digenggam erat oleh lelaki itu, bergerak pelan. Pelan sekali, sampai Vigo hampir tidak menyadarinya. Namun Vigo menyadari pergerakan itu. Kedua matanya yang memerah terbelalak. Ia menatap wajah Rania lekat-lekat.

EXWhere stories live. Discover now