#54 (B)

92 4 0
                                    

Raka menancapkan garpu pada daging yang ada di hadapannya sebelum ia melahap makanan itu dan tetap melanjutkan pembicaraan dengan mulut yang penuh. "Tapi, Fik. Emang jalan pikiran orang beda-beda sih."

"Ya, gitu deh." Makanan yang Fika pesan belum sampai, jadi sekarang perempuan itu memainkan sedotan dengan jemarinya.

"Kenapa gak cerita dari dulu, siapa tahu masalahnya jadi cepet selesai kan."

"Abis gue bingung juga sih ceritanya gimana. Sekarang aja gue masih ngerasa kosong gitu. Padahal udah berusaha banget buat gimanapun caranya lupa. Bahkan semua barang pemberian dia udah gue masukkin semua ke kardus, gue simpen di gudang."

"Terus?"

"Ya, ya gitu."

"Sejujurnya cerita lo sama Kiki tuh rada drama gitu ya."

Kedua bahu Fika terangkat.

"Kalo gue jadi Kiki, mungkin gue bakal ngelakuin hal yang sama sih, karena sayang itu. Tapi mungkin kalau Nando ada yang di posisi itu, bakal beda ceritanya." Raka melirik Fika seraya memajukan piring makanannya ke arah perempuan itu. "Coba dah, enak."

Sambil menarik piring tersebut, Fika menatap Raka bingung. "Kenapa jadi bawa-bawa Nando,"

"Kan gue cuma bikin perbedaan,"

"Raka, gue gak butuh perbedaan, bodo amat."

"Iya itu kan intro dulu. Sebelum masuk ke inti; menyembuhkan suasana hati lo supaya seperti semula. Itu kan tujuannya?"

Fika hampir tersedak setelah mendengar ocehan Raka. Ia sekarang agak ragu, apakah sosok yang sedang duduk di hadapannya adalah benar-benar Raka? Karena Fika merasa hal-hal seperti itu lebih cocok dikatakan oleh Liska atau mungkin Anggi.

Laki-laki itu melanjutkan, "Caranya harus ada yang ngisi hati lo."

Dangdut banget sih Raka, batin Fika. Di sela-sela waktu seperti ini, keberadaan Raka cukup menenangkan hati Fika. Dengan omongan Raka yang terkadang lebih menjurus ke humor dan nyinyir. "Emangnya perut? Diisi," Fika mengembalikan piring tersebut kepada laki-laki di hadapannya, kemudian seorang pelayan perempuan datang membawakan makanan yang ia pesan. "Makasih," ujar Fika sebelum pelayan tersebut tersenyum dan pergi.

"Kalo gue jadi lo sih, gitu. Ya siapa tahu aja di luar sana ada yang bisa kembaliin senyum adek gue yang macem tai ini."

"Ngomul ih Raka, bau."

Raka menelan pelan-pelan makanan yang baru ia lahap dari garpunya. "Gue mah sesuai pengalaman aja. Kalo mau blak blakkan ya, sekarang kan kita udah sodaraan nih. Jadi gue ngomong apa adanya aja."

"Enak nih, Ka. Mau gak?" Makanan tersebut memang enak adanya sampai mampu mengalihkan perhatian Fika.

Raka menggeleng pelan, melanjutkan kalimatnya. "Contohnya kayak gue deh, gak usah jauh-jauh. Lo nyadar gak tuh pas dulu gue lihat lo sama Kiki tiap pulang sekolah, gue rasanya gimana? Well, posisi lo saat itu emang bukan seperti posisi Kiki sekarang."

Fika menarik gelas berisi air mineralnya supaya lebih dekat, kemudian meneguknya. Kepalanya sedang berpikir, kenapa Raka masih terus tidak bosan membicarakan hal-hal yang kurang nyambung dengan masalahnya sekarang ini.

"Mungkin emang kelihatan gak nyambung ya? Tapi perhatiin deh posisi gue saat itu, sama kayak lo."

"Beda, ah."

"Sama dong, di situ jalan keluar satu-satunya emang harus ngelupain kan?"

"Tapi lo gak ngelupain gue tuh,"

Berlabuh PadamuWhere stories live. Discover now