#12

194 16 0
                                    

Setelah pertemuan dengan Fika dua hari yang lalu, Raka dan cewek itu belum mengeluarkan sepatah katapun. Hari ini berarti menjadi hari ke tiga mereka ujian akhir semester. Bel yang mengakhiri jam sekolah hari itu berbunyi. Dengan cepat, Raka mengumpulkan LJK nya dan diikuti oleh teman-teman yang lain.

"Bisa gak ngerjainnya?" Tanya Pak Nas sambil menunduk melirik Raka melalui sela kacamatanya.

"Alhamdulillah, Pak." Jawab Raka santai. Kemudian ia mengambil tas ransel hitamnya yang ada di bawah papan tulis. Belum sampai meraih tas itu, tangannya tersenggol oleh tas milik orang lain yang juga baru disambar oleh pemiliknya. Karena senggolan itu cukup menjengkelkan bagi Raka, ia pun menoleh ke atas dan mendapatkan Fika di sana.

"Pake misi, dong." Gumamnya.

"Iya, sorry." Kata Fika yang tetap berdiri di tempatnya.

Karena bingung melihat Fika yang masih berdiri di situ, Raka berdiri dan memandangi cewek itu dari atas sampai ke bawah.

"Lo nungguin gue?"

Fika tidak menjawab pertanyaan Raka. Setelah keduanya salam dengan Pak Nas, mereka berjalan keluar kelas beriringan dengan langkah yang lamban.

Masih belum ada kalimat keluar dari bibir mereka sebelum akhirnya Raka berdehem.

"Ehem."

Fika masih bergeming.

"Gue mau tanya nih, bener kan isu-isu yang bilang lo udah jadian sama Kiki?"

"Kalo iya kenapa, dan kalo enggak juga kenapa?"

"Jawab aja, sih. Berbelit banget."

Fika mengangkat bahunya. "Tau, deh."

"Itu cincin apaan?" Tanya Raka melirik cincin yang dipakai Fika dengan ogah-ogahan.

"Cincin dari Kiki."

Raka tertawa terbahak-bahak seperti dibuat-buat. Sikapnya membuat Fika menyesali telah menjawab pertanyaannya.

"Tapi gue belom mau pacaran." Lanjut Fika tanpa ditanya.

Sekarang mereka berdua berada di perpustakaan. Entah apa yang mendorong mereka masuk ke sana. Keduanya duduk di kursi yang terletak di bagian tengah ruangan. Di depan mereka ada meja kaca bundar.

Raka pun melanjutkan pembicaraan mereka, "Oh ya? Bullshit kali."

"Bukan maksud gue curhat, ya. Tapi nyokap emang gak ngizinin gue pacaran dulu."

"Gue maunya lo jelasin cincin itu dan Kiki."

Mendengar perkataan itu, Fika mulai merasa bingung. "Apa urusannya? kayaknya Raka pengen tau banget."

Menyadari perkataannya barusan, Raka menyesal dan mengumpat dalam hati, "Konyol banget dah gue ngapa jadi begini. Ini kenapa juga gue sama dia ada di perpus sekarang?"

Baru saja Fika ingin mengutarakan perkataannya, suara Raka yang pelan dan cepat mendahuluinya, "Kalo isu-isu itu gak bener, gue mau nganterin lo pulang sekarang."

"Hah?"

"Tolol. Gue tolol banget. Gue ngomong apa barusan sampe Fika langsung pucet begitu?" Batin Raka.

"Gue tau lo bisa denger apa yang gue bilang barusan."

"Eng-gue bisa pulang sendiri."

Susana pun jadi tidak nyaman. Raka memainkan jemarinya di atas meja. Merasakan ketidaknyamanan itu, Fika bangkit dari kursinya.

"Gue anter." Kata Raka yang pandangannya teralihkan dari meja ke Fika. Kemudian ia ikut berdiri di samping cewek itu.

"Gak usah, deh."

"Takut ke-gep Kiki? Iya?" Tanya Raka pelan tapi dengan nada yang menggebu.

"Lo kenapa sih, Ka?"

"Lo yang kenapa tadi sampe kita di sini?"

Hening. Sebenarnya mereka memang menginginkan satu sama lain dengan cara-cara aneh seperti itu. Sampai akhirnya saling menyalahkan.

"Udah, nurut aja sih." Raka pun menarik tangan Fika keluar menuju parkiran. Perasaan campur aduk menggerogoti dada Fika. Ia merasa sangat bersalah pada Kiki. Tapi di sisi lain, ia tidak bisa membohongi perasaannya. Ia tidak pernah berharap Kiki sebaik itu padanya. Tidak, Fika tidak menganggap Kiki terlalu baik untuknya. Tapi sikap Kiki yang sangat perhatian dan menyayangi dirinya itu menimbulkan perasaan bersalah yang selalu.

"Jangan bengong! Pake, nih." Perintah Raka sambil memberikan helm berwarna hitam pada Fika.

"Gue gak mau pulang." Gumam Fika setelah memakai helm. Raka yang sudah menyalakan gas motornya kini menatap Fika, "Iya lo mau ke mana? Gue juga gak mau pulang."

Berlabuh PadamuWhere stories live. Discover now