#25

141 11 0
                                    

Empat hari kemudian, pesawat yang ditumpangi Kiki terbang menuju Seoul. Selama di perjalanan, yang ia lakukan hanyalah tidur dan makan. Bahkan lelaki itu belum mengabari Fika tentang keberangkatannya karena ia ingin hal itu menjadi suatu kejutan nantinya. Kiki seringkali merasa haus akhir-akhir ini, ia membuka botol minum dan meminumnya dalam beberapa tegukkan. Namun, selang beberapa menit, ia sudah merasa haus lagi. Ia menghembuskan napas melalui mulutnya yang terasa kering, kemudian memejamkan mata lagi sampai akhirnya tiba di kota yang ia tuju. Ia tiba saat negara tersebut sedang mengalami siklus empat hari hangat setelah tiga hari dingin atau yang disebut Samhansaon.

Paman Choi Sun Woo-atau biasa dipangggil Om Choi oleh Kiki-telah menunggu kedatangan Kiki. Dan setelah bertemu, mereka langsung naik mobil, menuju rumah pria tersebut.

Di dalam mobil, Kiki tidak henti mengeluh pusing sampai-sampai Pamannya menghentikan mobil di pinggir jalan untuk mengecek suhu tubuh Kiki.

"Beli obat di apotek aja, Kiki cuma flu." Kata lelaki itu sambil memijat keningnya.

"Yakin?"

"Iya, om."

"Ya udah, om aja yang beli."

Kiki mengangguk, kedua tangannya memeluk diri sendiri, ia menempelkan kepalanya di jendela mobil. Karena bosan, Kiki memainkan ponselnya sebentar, tapi tetap bosan. Akhirnya ia membuka pintu mobil, melangkahkan kakinya keluar, dan menutup pintu mobil lagi. Tidak lupa, kuncinya sudah ia bawa juga. Kemudian lelaki itu menyebrang ke apotek, menyusul Paman Choi. Setelah berdiri di depan pintu apotek, kenop pintu terbuka, dan perempuan yang berambut sebahu keluar dari sana menggunakan kaos lengan panjang berwarna biru gelap. Kiki mengulurkan tangan untuk membuka pintu yang barusan telah ditutup oleh perempuan tadi, namun lelaki itu terhenti dan berbalik menghadap ke belakang.

"Renata?"

Perempuan yang dari tadi sibuk dengan ponselnya itu menoleh, ia mendongak ke sumber suara, mulut Renata sedikit terbuka setelah mendapatkan Kiki di hadapannya.

"Kiki?"

Kiki berjalan mendekat ke arah Renata Aniski untuk sekedar menyalaminya. Renata sedang menjalani pertukaran pelajar di Seoul.

Lelaki itu tersenyum berat dengan wajahnya yang sayu. "Kabar baik?"

Rena membalas jabatan tangan Kiki dan menangguk. "Lo sama siapa ke sini?"

"Gue dari Jakarta sendiri. Terus di jemput sama Om." Jawab Kiki, tangannya bergerak ke arah apotek, menunjukkan pamannya yang ada di dalam sana.

"Entar main, ya! Makan jjangmyeon di rumah gue."

Rumah Paman Choi dan Renata memang bersebrangan. Itulah kenapa Kiki dan Rena saling mengenal, bahkan pernah menjalin hubungan lebih dari teman. Tentu saja, itu hanya masa lalu bagi Kiki. "Liat entar, ya."

Rena mengangguk. "Oke. Eh, sabar, ya. Di dalem lagi ngantri."

"Iya, banyak yang flu kali."

"Astaga, Ki. Itu idung lo berdarah."

"Hm?" Kiki yang tidak sadar kalau dirinya mimisan, menyentuh hidung bagian bawahnya, dan melihat darah di ujung jarinya. Ia hendak mengusap darah itu asal dengan lengan baju.

"Jangan pake baju ngelapnya!" Rena mengeluarkan kain kecil dari tas selempangnya dan dengan cepat ia membersihkan darah dari bawah hidung Kiki yang kini darahnya sudah berada di bagian pipi, mulut, dan tangan Kiki.

Setelah merasa wajahnya sudah bersih, Kiki meraih kain itu. "Biar gue aja." Namun secara tidak sengaja, tangannya malah memegang tangan Rena dalam waktu beberapa detik. Dan Kiki baru menyadari bahwa Renata berdiri begitu dekat di hadapannya sekarang.

--

"Pah, Afi jalan, ya." Afika mengikat tali sepatu Vans warna hitamnya.

"Yakin gak sama Raka?"

"Orangnya aja tidur mulu." Kata Fika sambil melirik pintu kamar Raka yang terbuka.

Ia pun turun ke lantai bawah-dengan sepeda di sampingnya. Niatnya hanya ingin bersepeda, menyapa orang-orang, pergi ke toko bunga walaupun tidak membeli, pokoknya kemana saja asalkan tidak di dalam apartment.

Udara sore itu hangat, Fika meregangkan kedua tangannya saat sepeda tetap terus berjalan, seperti beberapa cuplikan drama. Suasana yang sungguh menenangkan hati. Di persimpangan jalan, Fika menghentikan sepedanya saat melihat toko bunga di sana. Ia tidak memarkir sepeda berwarna hitam tersebut tepat di depan toko, melainkan di depan barbershop yang ada di sebelah kanan toko bunga, karena di depan toko bunga ada mobil container.

Perempuan itu turun dari sepeda, membenarkan posisi benda itu, menepuk-nepuk tangannya ke celana. Ia mengamati toko bunga itu dari luar, kemudian memandangi sekeliling toko. Matanya memindai dari toko bunga, barbershop, dan apotek di sebelah barbershop. Ketiga bangunan minimalis yang berwarna itu menarik perhatiannya. Tapi, mata Fika lebih tertarik saat melihat dua orang yang sedang-bisakah dibilang bermesraan? Fika tersenyum. Ya, Fika iri dengan dua sejoli itu, ia berharap Kiki ada di sampingnya sekarang. Hanya dalam hitungan kurang dari lima detik, ia menyipitkan kedua matanya saat merasa ada kejanggalan, perempuan itu memiringkan kepalanya sambil mengira-ngira, kemudian senyum dari wajahnya memudar dan hilang sepenuhnya.

"Ki?!"

--

Dalam hitungan kurang dari lima detik, Kiki melepaskan genggamannya dari tangan Rena. Dan dalam hitungan detik itu juga, suara yang sangat Kiki kenal memekik.

"Ki?!"

Lelaki itu menoleh ke kiri, dan beberapa langkah dari tempatnya berdiri, Fika memandanginya dengan ekspresi yang sulit dideskripsikan. Kiki pun mundur satu langkah lebih jauh dari Rena dan melirik kedua perempuan itu bergantian, kemudian dengan cepat ia menghampiri Fika.

"Fik," Katanya, saat mereka sekarang sudah berhadapan. Kedua tangan Kiki meraih bahu Fika, tapi perempuan itu mundur menghindarinya.

"Fik, lo-"

"Kenapa gak ngabarin?" Potong Fika. Ia menatap nanar lelaki di hadapannya dengan penuh rasa kecewa.

Kiki melangkah lebih dekat dengan Fika, tapi perempuan itu semakin menghindarinya. Fika menggeleng pelan, matanya mulai berkaca-kaca.

"Fik, biar gue jelasin dulu. Jangan kekanak-kanakkan gini, dong."

"Kekanak-kanakkan?" Tanya Fika lirih. Dengan mudahnya Kiki mengatakan hal itu tanpa peduli dengan apa yang dirasakan dirinya saat lelaki itu berhadapan dengan perempuan lain dengan hanya jarak-sejengkal? Bukan hanya itu, Fika melihat mereka berpegangan tangan. Pemandangan paling buruk yang tidak pernah ia harapkan. Ia sudah muak dengan situasi itu, dengan cepat ia meraih sepedanya, tidak memedulikan lelaki yang memanggil-manggil namanya. Fika mengayuh sepeda itu secepat mungkin, ia tidak mengarahkan sepedanya ke arah apartment, ia hanya ingin kemana saja asalkan bisa menangis sepuasnya. Rasa cemburu yang sangat besar bukan? Dari detik itulah akhirnya Fika menyadari kalau rasa cintanya pada Kiki telah terbentuk sejak lama.

Berlabuh PadamuWhere stories live. Discover now