#52

75 5 0
                                    

Suasana pagi itu adalah hari yang sudah lama Fika nantikan. Sekolah. Jarum jam menunjukkan pukul enam lebih sepuluh menit dan sekolah sudah mulai ramai.

"FIKAAAAAAA!"

Tanpa harus menerka-nerka, Fika sudah tahu suara melengking tersebut tidak lain dan tidak bukan adalah milik Liska.

Di koridor sekolah itu, Fika membalikkan tubuhnya. Dan setelah menemukan sosok teman sebangkunya yang selama ini ia rindukan, mereka berpelukkan layaknya teletubbies.

"GUE KANGEN, JAHAT BANGET SIH PERGI LAMA LAMA. GUE KAN JADINYA KE STARBUCKS SENDIRIAN PAS LAGI ADA KUPON LINE PROMO LIMA PULUH PERSEN!!!"

Fika terkekeh dan melepas pelukkannya. Ia memerhatikan wajah Liska baik-baik. Semakin ia memerhatikan, semakin setiap rasa yang selama ini ia pendam ingin tumpah. Kemudian bulir air matanya berjatuhan di luar kendali.

"LAH LO KENAPA NANGIS? KAN KITA UDAH KETEMU, KOK LO SEDIH?" serobot Liska tidak jelas.

Bahu Fika naik turun seiring tangisnya yang menjadi-jadi. "L-lo b-berisik.." Kemudian ia menghamburkan diri di pelukan Liska yang masih memasang muka 'ini ada apa sih?' sambil menepuk-nepuk punggung Fika dengan pelan.

--

Tidak seperti hari yang sudah-sudah, Raka belum sampai di kelas meskipun sudah pukul setengah tujuh. Dapat dipastikan di hari pertama tahun ajaran, kegiatan belajar mengajar tidak akan efektif. Bahkan semua siswa tidak yakin akan kehadiran wali kelas di jam pertama.

Di depan pintu kelas ada Fika, Liska, Anggi, dan Sofi.

"Jangan masuk dulu," ujar Fika lirih.

Anggi dan Sofi sebelumnya juga ikut menyaksikan tangisan Fika yang membingungkan.

Kedua alis Sofi berkutat, "Kenapa?"

"Muka gue keliatan kayak orang abis nangis gak?"

"Ya iyalah. Tomat, tuh?" Anggi menunjuk hidung Fika yang memerah. "Udahlah, masuk aje ape."

Dengan ragu, Fika pun menuruti permintaan teman-temannya. Satu tangan sibuk menutupi hidungnya yang merah dan baru saat ia melangkahkan satu kaki, seseorang menepuk bahunya dengan kencang.

"Yuhu, kita dipertemukan lagi di kelas."

Tidak satupun dari Liska, Sofi, dan Anggi melanjutkan langkahnya. Mereka berhenti dan menoleh, memasang wajah penuh introgasi.

"Hai." Sapa Raka dan ia tersenyum sejenak sebelum melanjutkan langkahnya dan duduk di salah satu bangku pada bagian belakang.

Kedua mata Anggi membulat sebelum ia meremas telapak tangan Fika. "Jadi bener?" bisiknya.

"Bener apaan?"

"Lo bedua debang?"

Alih-alih menanggapi pertanyaan Anggi, Fika memandang Raka dengan lemas.

Udah? Gitu doang? batinnya.

Kesedihan yang lain menggerogoti hatinya, ujian apa lagi yang harus ia terima. Raka bahkan tidak sepeduli dulu -pasti kepedulian itu sudah terbagi untuk Bunga.

Fika benci pada diri sendiri karena seharusnya ia tidak menangis lagi. Tapi ia tidak kuasa menahan semua beban ini sendirian. Mungkin 'pedih' adalah kata yang cukup tepat untuk menjelaskan apa yang Fika rasakan.

"Fik, kok lo nangis lagi sih?" Anggi meregangkan genggaman tangannya. "Sakit?"

Lagi-lagi Fika mengabaikan semua pertanyaan itu. Sorot matanya tidak lepas memandang Raka yang sekarang sedang mengeluarkan ponsel dari saku kemeja.

Fika bisa melihat bagaimana kedua mata Raka seketika membulat saat menatap layar ponsel, kemudian laki-laki itu berdiri dari duduknya dan menempelkan benda itu ke telinga.

"Bunga, jadi sarapan bareng di kantin?"

Kedua mata Fika terpejam, bulir air mata yang ia rasakan terus mengalir deras. Punggungnya naik turun dan napasnya menderu tidak karuan.

Memang begitu sesak rasanya ketika orang yang selama ini kita yakini akan selalu ada, nyatanya sama sekali tidak menyadari hampir setiap sakit yang kita alami. Hati Fika terasa dingin, beku, dan juga tersayat dalam waktu yang sama.

Dan seluruh fondasi yang selama ini Fika bangun, pada akhirnya runtuh juga. Kekuatan yang selama ini ia susun, hari ini hancur. Fika sama sekali tidak kuat menopang semuanya sendirian hingga pada akhirnya ia merasa lebih buruk daripada sekedar 'lelah' dan kehilangan keseimbangan sebelum terkulai begitu saja di lantai.

"Yaa Allah!" Fauzi yang berdiri di samping Raka rupanya dapat melihat kejadian tersebut tanpa sengaja

Sedangkan, Raka baru saja mematikan sambungan ponselnya dan memasukkan benda tersebut ke saku celana. Kemudin ia menepuk punggung Fauzi. "Tumben nyebut. Gue ke kantin dulu ya."

Fauzi terbelalak mendapati Raka yang sama sekali berbeda. "Lo sawan ya?"

"Apaan?"

"Itu Fika pingsan, peleh!"

"Hah?" Kedua alis Raka berkerut, kemudian ia menoleh ke arah depan kelas. Entah sejak kapan kerumunan itu ada, Raka tidak paham kenapa ia tidak dengan cepat menyadari keramaian itu.

"Hah hoh hah hoh. Angkat buruan, kaga bakal ada yang mau angkat kalo pada tau lu udah masuk gini."

"Buruan, bego." ujar Idho pelan.

Raka melangkahkan kakinya dengan cepat. Namun apa yang ingin ia lakukan, ternyata tidak sinkron dengan pikiran yang muncul tiba-tiba.

"Lah kok lo diem sih anying?"

Kali ini Raka menggeleng lemas sebelum kembali. "Kalo gue gotong lewat kelas Bunga, kasian Bunga."

Fauzi, Idho, Andre, dan Arkan sontak ternganga menatap satu sohibnya itu. "Eh, kan lo sodaraan sama dia, bego." Ujar Idho dengan penuh penekanan di akhir kalimat.

"Iya, Bunga juga tahu. Enggaklah pokoknya. Gue harus jaga perasaan Bunga."

"Ah nyolot dah lu, rasanya pengen gue santet." Damprat Fauzi sebelum akhirnya memutuskan untuk menolong teman perempuannya itu.

hmm apalagi ya setelah ini...

Berlabuh PadamuWhere stories live. Discover now