#51 COLLECT

85 5 0
                                    

Bisa saja pada hari itu juga, setelah Fika dan Raka telah sampai di rumah masing-masing, Fika memutuskan untuk menjaga jarak dengan Raka barang seminggu saja. Bisa saja.

Fika sempat berharap akan ada perombakkan kelas. Namun nyatanya tidak, mereka akan tetap satu kelas sebagai murid kelas XI IPA 2.

Kembali pada dunia nyata, sekiranya itu yang Fika rasakan sekarang setelah sampai di Jakarta. Merebahkan diri di kasur adalah hal pertama yang ia lakukan saat menjejakkan kaki di rumah.

Sejenak, ingatannya tentang Kiki kembali lagi melayang. Namun satu hal yang Fika tahu, Kiki begitu pengecut.

"Pengecut."

Jalan terakhir yang sudah menjadi pilihan Fika adalah membenci laki-laki itu, apapun alasannya. Mungkin terlihat jahat, tapi tanpa sadar, Kiki tidak kalah jahat.

Fika bangkit dari kasur, menarik kardus kosong yang ada di samping lemari baju. Kemudian ia bersiap untuk menyimpan kenangan Kiki di dalam sana, semua kenangan itu. Semua kenangan itu nyatanya juga berhasil dibiarkan oleh Kiki kan? Padahal selama ini, Fika hanya berharap Kiki berusaha untuk menghubunginya. Setidaknya hanya itu yang Fika butuhkan, tidak lebih maupun kurang.

Satu per satu semua hal berbau Kiki diletakkan ke dalam kardus itu. Tak peduli seberapa letih dirinya, tapi Fika lebih letih bercampur sakit jika harus melihat itu semua.

Foto yang telah dibingkai, bunga yang sudah layu, boneka tazmania, baju, tiket nonton bioskop, tiket timezone, photobox, ukulele, flatshoes, novel, semua pemberian Kiki, semua. Dengan susah payah Fika harus langsung memasukkan itu semua ke dalam kardus.

Saat tangannya menggapain parfum pemberian Kiki, ia ingat bagaimana saat laki-laki itu memberikannya dengan cara yang begitu menyenangkan.

"Fika udah kenyang ya?" tanya Kiki setelah mereka keluar dari restoran makanan jepang di suatu mall yang biasa mereka kunjungi.

"Udah,"

"Yah, gak seru. Nonton juga udah. Kiki gak bisa traktir Fika lagi deh."

Fika hanya tersenyum melihat ketidakpuasan Kiki yang telah menghamburkan uangnya selama lima jam lebih.

"Ah, iya. Ke The Body Shop yuk."

"Mau ngapain sih, Ki?" Fika terkekeh.

"Mau beliin Fika parfum yang itu, biar wanginya sama kayak Mamih." ujar Kiki dan menggenggam tangan Fika dengan bangga. "Biar kalau jalan sama Fika berasa jalan sama Mamih juga." Kemudian senyum Kiki melebar, matanya berbinar-binar menatap Fika, begitu semangat sampai Fika tidak bisa menahannya.

Kemudian, setelah mereka mendapatkan parfum itu. Di dalam mobil, Kiki membahas parfum itu lagi.

"Kiki beliin itu juga, karena Kiki suka cokelat, Fik."

Harum cokelat sudah menjelajari tubuh Fika karena sesampainya di mobil, Fika langsung menyemprotkan parfum itu ke bajunya.

"Makasih ya, Kiki-ku, cintaku,"

Kiki tersenyum "Sayangku,"

"Belahan jiwaku," lanjut Fika sebelum mereka berdua tertawa akan kebiasaan itu.

Kemudian Kiki tidak langsung melajukan mobil. Ia bilang sekali lagi, "Kiki suka cokelat." Lalu meregangkan kedua tangannya lebar, menunggu Fika menghamburkan diri dalam pelukannya.

"Fik," suara Kiki begitu lembut. Cara Kiki memanggil Fika seperti itulah yang membuat Fika semakin mengeratkan pelukannya. Kiki melanjutkan kalimatnya, "Kalau kita gak jodoh, jangan sedih. Fika bisa nari-nari di kepala Kiki, kapanpun, dan juga sebaliknya."

Pundak Fika semakin terasa berat. Dengan pelan, Fika meletakkan parfum itu ke dalam kardus dengan hati-hati. Tanpa sadar, air matanya ternyata masih bisa mengalir tetes demi tetes. Ia mengira, kesedihan itu sudah habis.

"Enggak, Fik. Lo pasti bisa." gumam perempuan itu pada diri sendiri sambil terus berusaha mengubur semua cerita yang memang tidak akan pernah bisa terulang lagi.

Berlabuh PadamuWhere stories live. Discover now