#54 (A)

83 5 0
                                    

Di sebuah restoran yang terletak di salah satu mall terbesar di Jakarta itu, Fika dan Raka duduk berhadapan. Satu hari setelah Fika pingsan di sekolah.

"Pesen yang mana?" Raka melirik perempuan di depannya.

"Lo apa?" tanya Fika balik, masih seperti hari kemarin -semangat hidupnya belum sempurna.

"Hm, bingung saya. Ya udah ini aja dah gue, Sea Bass Bone Femme with Spit Confit. Alah tebir banget namanya."

"Ya udah gue samain aja deh!"

"Yeh, jangan gitu dong. Harus beda biar bisa berbagi rasa." omel Raka.

"Gue bingung lagian."

"Makanan Indonesia aja tuh. Di sini enak semua kok."

"Makanan Indonesia di sini tuh memancing kolesterol dini ya," Fika memijat dahinya saat membaca menu makanan dari atas sampai bawah dan menyebutkannya satu per satu. "Iga penyet terasi, iga domba honje, tongseng iga domba, iga bakar parape. Astagfirullah,"

"Iya, ya. Entar lo kena darah tinggi gawat. Coba dibalik menu nya."

"Iya nih," Fika mendesah sambil membalikkan kertas menu. "Nah, ini ajalah. Btw, ini nama menu nya kurang panjang atau gimana."

"Apaan emang?"

"Curry Fish, Glutinous Rice, Roasted Red Chillie, and Balado Cassa Leave. Gue rasa ini disebutin satu-satu material masakannya."

"Material ya Fik? Terserah." Raka menggelengkan kepalanya, tangan kanan menuliskan nama menu di kertas pesanan. "Minumnya?"

"Air mineral aja."

"Serius?"

"Iyalah."

"Baiklah."

"Kok kita yang nulis pesenan sih? Jauh-jauh ke GI tapi pelayanan rasa ayam bakar di pertigaan Cipedak."

Raka mencibir, "Padahal dalem hati mah seneng banget tuh dilayanin sama gue kayak gini."

Setelah pelayan datang dan pergi dari meja mereka, Raka berdeham. "Lo masih sedih ya?"

"Menurut lo aja gimana."

"Gimana ya biar gak sedih lagi, bingung."

"Kenapa jadi lo yang bingung?"

"Gak apa-apa, kangen lo yang ngeselin aja."

Fika melipat kedua tangannya di atas meja. "Omong-omong, ini kan hari Minggu. Lo gak jalan sama Bunga? Malah sama gue."

Satu alis Raka terangkat, ia memandang Fika dengan jahil. "Dia udah tau kalo gue mau jalan sama lo."

"Terus dia bilang apa?"

"Ya, gak apa-apa. Dia juga udah tahu hubungan kita yang asli gimana. Lagian dia juga ada janji sama temen-temennya."

"Oh jadi kalo dia gak jalan sama temen-temennya, lo gak bakal ngajak gue makan nih ya?"

"Yeileh, kaga begitu. Emang udah niat pengin jalan aja ama lo. Kan lo udah janji tuh mau cerita, terus juga ini udah waktu paling efektif. Gue udah siap bersedia dengerin, gak sibuk sendiri."

"Astaga bawel banget sih, Raka."

Menyadari dirinya memang berlebihan, Raka menggaruk pipinya yang tidak gatal. "Iya, iya emang bawel,"

"Ih gue jadi pengin nampol." Fika terkekeh.

"Tampol-able sih selama bisa bikin lo seneng. Neehh," ucap Raka memajukan wajahnya.

"Jangan gitu, malah kissable namanya." Kalimat barusan keluar dari mulut Fika tanpa sadar sebelum ia mengerjap. "Aduh saking lapernya, omongan gue jadi buas."

Dalam sekejap, Raka tersipu dan membenamkan wajah dengan kedua lengannya di atas meja. Ia tertawa tanpa alasan. Kemudian ketika ia mengangkat kepalanya lagi, Fika bisa melihat kedua pipi saudara laki-lakinya itu memerah.

"Fik, gue rasa udah seharusnya kita mengubur benih-benih rasa itu."

"Bahasa lo benih-benih rasa anjir,"

"Gue serius, nyong. Absurd banget gak sih kita begini?"

"Gue doang sih, Ka, yang absurd."

"Ya emang kalo lo udah dari lahir. Back to the topic deh, ceritain masalah anda."

"Jadi gini," Fika menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan sebelum memulai bercerita dari awal sampai akhir.

--

Berlabuh PadamuOnde histórias criam vida. Descubra agora