#26

129 10 0
                                    

Fika menghentikan sepedanya di taman yang terdapat kolam besar di dalamnya. Taman itu begitu sepi. Fika meletakkan sepedanya dengan asal dan berlari ke pinggir kolam, menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan, menangis sendirian. Isak tangisnya terdengar samar, bahunya naik turun, pikirannya masih mengingat saat pemandangan buruk tadi ada di depan matanya.

Kenapa gak ngabarin?

Sengaja gak ngabarin biar gue gak tau kalo lo udah ada di sini?

Janjian sama yang lain?

Kenapa harus sama cewek lain, Ki?

Kenapa bukan gue yang liat lo duluan?

Kenapa lo gak minta gue buat jemput di bandara?

Kenapa sekarang gue nangis tanpa tau sama apa yang lo pikirin sekarang?

Kenapa gue nangis, tapi lo enggak?

Kenapa lo bikin gue sayang kalo ujung-ujungnya sakit?

Kenapa harus gue?

Kenapa lo harus sok-sok cemburu kalo nyatanya lo begitu ke gue?

Kenapa ya, Ki?

Kenapa keliatannya lo sayang banget sama gue tapi malah kayak gini?

Afika merasa dirinya menjadi perempuan yang sangat cengeng. Sudah dua kalinya ia menangis. Tangan kirinya meremas rumput yang ada di sampingnya, dengan tangan kanan dan kaki yang ditekuk menjadi tumpuan kepalanya untuk menangis. Lama kelamaan isak tangisnya berhenti, tetapi ia belum mau mengangkat wajahnya, karena ia yakin pasti hidungnya sudah merah seperti tomat.

"NAAAHH!!"

Suara yang sangat keras dibarengi guncangan hebat di bahu Afika, membuat perempuan itu menahan napas. Kaget, kesal, dan bingung harus bagaimana karena wajahnya sekarang sangatlah menyedihkan.

"Ini dia nih, yang maling sepeda gue." Kata Raka yang tiba-tiba datang, lelaki itu kemudian duduk di sebelah Fika. "Parah lo, gak ngajak. Main bawa sepeda orang."

Aduh gimana, nih. Suara gue pasti serak, ingus gue mau ngalir terus, masa gue diemin?

"Woy, kesambet lo ya?"

Fika masih tidak menjawab.

"Astagfirullah. Woy, jangan horror apa!"

Fika pun menarik ingusnya dari dalam hidung. Srot. Entah, begitulah bunyinya.

Raka bergeming.

Perempuan itu mengelap wajahnya asal dengan baju lengan panjangnya.

"Kok lo nangis, sih?"

Fika masih belum menjawab dan menghapus air di wajahnya sampai kering semua. Kemudian ia menoleh menghadap Raka dan memamerkan senyum lebarnya.

"He he he."

Melihat itu, Raka tetap memasang muka datar. "Jawab kalo ditanya."

Perempuan itu malah tertawa. "Hahaha, kepo lo."

"Dih, lo udah sinting ya?"

Sekarang senyum di wajah Fika memudar, ia mengangguk.

"Ya udah, kalo gak mau cerita. Gue mau nyari makanan." Raka pun beranjak dari duduknya dan mengambil alih sepeda itu.

"Ih apaan sih, entar gue baliknya gimana?"

"Lah, sepeda gue ini."

"Is! Tapi kan lo cowok, bisa jalan kaki." Fika sekarang sudah berdiri.

"Gak mau ah."

"Ngeselin banget sih?"

"Ya bodo."

"Terserah deh." Perempuan itu menyerah dan kembali duduk, membuang muka.

"Ya udah ini, buruan naik." Raka memerintahkan Fika untuk berdiri di belakang pengemudi-tempat boncengan yang modelnya untuk berdiri, bukan duduk.

"Gue harus banget berdiri gitu?" Fika menoleh.

"Ya udah kalo mau jalan kaki."

Refleks, perempuan itu memutar kedua bola matanya dan berdiri, menghampiri Raka dan menuruti perintahnya untuk naik ke sepeda. Kedua tangan Fika bertumpu pada pundak Raka.

"Udah belom?"

"Udah."

Detik berganti menit, Raka sengaja mengulur waktu sebelum ia mengarahkan sepedanya ke tempat makanan ringan yang biasa ada di sudut jalan. Karena niatnya memang ingin membuat suasana hati adiknya itu membaik, walaupun ia belum tahu apa penyebab Fika menangis sendirian di taman. Raka mengayuh sepedanya dengan kencang saat jalanan sedang kosong. Hembusan angin menerpa wajah mereka. Sesekali laki-laki itu ikut berdiri sambil meregangkan kedua tangannya, dan saat ia kembali duduk mengemudi, ia menoleh ke belakang sebentar dan tersenyum melihat perempuan yang ada di belakangnya itu. Rambutnya menjadi agak berantakkan karena tertiup angin, kemudian pandangannya beralih lagi ke depan.

"Udah seneng belom?" Tanya Raka.

Fika mengangguk dan tersenyum, entah Raka melihatnya atau tidak. "Hm."

"That what's a brother for."

Berlabuh PadamuWhere stories live. Discover now